Ilmu ternyata mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam membentengi maksiat. Karena semakin seseorang berilmu dan makin mengenal agungnya Rabb yang telah menciptakan dan memberikan berbagai nikmat untuknya, maka tentu ia akan semakin punya rasa takut pada Allah. Rasa takut inilah yang dapat membentengi dari maksiat.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Seorang hamba bisa menerjang yang haram karena dua sebab:
1- Suuzhon (berprasangka jelek) pada Allah. Karena seandainya seseorang mentaati dan mendahulukan perintah Allah, tentu ia hanya mau melakukan yang dihalalkan.
2- Hawa nafsunya mengalahkan sifat sabar dan menutupi akal, dalam keadaan ia tahu yang dilakukan itu haram. Padahal jika seseorang meninggalkan sesuatu karena Allah, Dia akan mengganti yang lebih baik.
Sebab yang pertama di atas disebabkan karena sedikitnya ilmu. Sedangkan yang kedua dikarenakan kurangnya akal dan bashiroh (cara pandang).” (Al Fawaid karya Ibnul Qayyim, hal. 78).
Itulah yang terjadi di saat kita mudah berbuat maksiat. Itu semua disebabkan karena kurangnya ilmu dan kurangnya akal. Karena ilmu itulah yang dapat membuat kita punya rasa takut pada Allah, sebagaimana disebutkan dalam ayat,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan takut yang sebenarnya adalah para ulama (orang yang berilmu). Karena semakin seseorang mengenal Allah Yang Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati dengan sifat dan nama yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna, maka ia akan lebih memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 308).
As-Sa’di berkata, “Semakin seseorang berilmu tentang Allah, semakin besar pula rasa takut kepada-Nya. Rasa takutnya kepada Allah menyebabkannya meninggalkan kemaksiatan serta mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Dzat yang dia takuti. Ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, karena ia akan menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Orang-orang yang takut kepada-Nya adalah orang-orang yang mendapatkan kemuliaan-Nya, sebagaimana firman-Nya,
“Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Hal itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (al-Bayyinah: 8) (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu yang hakiki, yang akan memberi manfaat kepada pemiliknya, adalah yang menumbuhkan rasa takut seorang hamba kepada Allah. Semakin bertambah ilmu yang bermanfaat yang dimiliki oleh seorang hamba, semakin besar pula rasa takutnya kepada Allah. Oleh karena itu, para nabi, orang-orang saleh, para shiddiqin, dan para syuhada, memiliki rasa takut kepada Allah yang lebih daripada selain mereka yang tingkat keimanannya lebih rendah.
Tumbuhnya rasa khasy-yatullah dalam diri seorang hamba akan memberikan pengaruh pada keimanan dan amalannya. Di antara pengaruh tersebut adalah:
1. Ia akan semakin giat menjalankan ibadah dengan penuh rasa takut dan berharap.
2. Ia akan meninggalkan kemaksiatan baik di keramaian maupun saat sendirian.
3. Senantiasa mengingat Allah dengan berzikir, membaca al-Qur’an, dan yang semisalnya.
4. Tidak memasukkan ke dalam perutnya sesuatu yang diharamkan oleh Allah.
5. Merasa yakin dengan apa yang dijanjikan oleh Allah berupa kenikmatan bagi orang yang bertakwa dan siksaan bagi yang durhaka.
6. Tidak berkata tanpa ilmu dalam urusan agama.
Para ulama berkata,
من كان بالله اعرف كان لله اخوف
“Siapa yang paling mengenal Allah, dialah yang paling takut pada Allah.”
Semakin seseorang berilmu, semakin ia memiliki rasa takut pada Allah. Rasa takut inilah yang membentengi seseorang dari maksiat. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu dalam mengenal Rabbnya.
Seringkali pula para ulama berkata -di antaranya Asy Sya’bi-,
إنَّمَا الْعَالِمُ مَنْ يَخْشَى اللَّهَ
“Orang yang berilmu, itulah yang punya rasa takut pada Allah”. Ibnu Mas’ud pernah berkata,
كَفَى بِخَشْيَةِ اللَّهِ عِلْمًا وَكَفَى بِالِاغْتِرَارِ بِاَللَّهِ جَهْلًا
“Cukup rasa takut pada Allah disebut ilmu dan cukup orang yang terbuai dengan karunia Allah disebut bodoh.” (Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 3: 333)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَإِذَا كَانَ أَهْلُ الْخَشْيَةِ هُمْ الْعُلَمَاءُ الْمَمْدُوحُونَ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ لَمْ يَكُونُوا مُسْتَحِقِّينَ لِلذَّمِّ وَذَلِكَ لَا يَكُونُ إلَّا مَعَ فِعْلِ الْوَاجِبَاتِ
“Jika orang yang takut pada Allah adalah para ulama, lalu mereka inilah yang terpuji dalam Al Qur’an dan mereka pun tidak dicela, maka merekalah yang biasa menjalankan kewajiban.” (Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 21)
Gelar Bukan Ilmu
Sebagian orang menyangka bahwa tanda seorang yang berilmu adalah jika dia memiliki banyak hafalan dan riwayat. Sebagian lagi ada yang menyangka bahwa tanda seorang alim adalah jika dia memiliki gelar akademis seperti Lc, MA, doktor, profesor, dan yang lain. Ini adalah pemahaman yang keliru.
Jika seseorang memiliki semua yang disebutkan, namun ilmu yang dimilikinya tidak menumbuhkan rasa takut kepada Allah dalam dirinya dan tidak memberikan perubahan ke arah yang baik dalam kehidupannya—dengan menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman hidupnya—, dia bukanlah seorang yang berilmu. Ilmu yang dimilikinya justru akan menjadi hujah yang dapat membinasakannya. Wallahul musta’an.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau berkata, “Ilmu itu bukanlah dengan banyak meriwayatkan hadits, namun ilmu adalah khasy-yah.”
Al-Imam Malik t berkata, “Ilmu itu bukan dengan sekadar banyak menghafal riwayat, namun ilmu adalah cahaya yang diletakkan oleh Allah pada hati seorang hamba.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/555)
Abu Hayyan at-Taimi berkata, “Ulama itu ada tiga:
(1) seorang yang berilmu tentang Allah dan tentang perintah Allah,
(2) seorang yang berilmu tentang Allah, namun tidak berilmu tentang perintah Allah, dan (3) seorang yang berilmu tentang perintah Allah, namun tidak berilmu tentang Allah.
Yang berilmu tentang Allah l dan perintah-Nya, dialah yang takut kepada Allah, sekaligus mengerti tentang sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya.
Adapun yang berilmu tentang Allah, namun tidak berilmu tentang perintah Allah, dia adalah orang yang takut kepada Allah, namun tidak mengerti tentang sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya.
Sementara itu, yang berilmu tentang perintah Allah, namun tidak berilmu tentang Allah, adalah orang yang mengerti sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya, namun dia tidak takut kepada-Nya.” (Jami’ Bayani Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Barr, 2/47)
Al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengingatkan para pelajar yang belajar agama di bangku universitas, “Hal yang menyedihkan di zaman kita sekarang ini adalah yang menjadi tolok ukur menentukan keilmuan manusia adalah gelar-gelar. Anda punya gelar, maka Anda akan diberi pekerjaan dan jabatan sesuai dengan gelar tersebut. Bisa jadi, seseorang bergelar doktor lalu diberi pekerjaan sebagai pengajar di sebuah universitas, padahal dia adalah orang yang paling jahil.
Sementara itu, ada seorang pelajar setingkat sekolah menengah yang jauh lebih baik darinya, dan ini kenyataan. Sekarang ini, ada orang yang bergelar doktor namun dia tidak mengerti ilmu sedikit pun. Bisa jadi, dia lulus dengan cara menipu atau lulus dalam keadaan ilmu tersebut belum melekat pada dirinya. Namun, dia tetap diangkat sebagai pegawai karena memiliki ijazah doktor. Di sisi lain, ada seorang penuntut ilmu yang baik, lebih baik daripada manusia lainnya dan lebih baik seribu kali daripada doktor ini, namun dia tidak diberi jabatan. Dia tidak mengajar di perguruan tinggi. Mengapa? Karena dia tidak berijazah doktor.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 3/436). Wallahul muwaffiq.
—
[rumaysho.com dan majalah Asysyariah.com]
No comments:
Post a Comment