Mohon maaf kalau pembahasan kali ini berasa dan beraroma sufi. Memang cinta, kata yang hari ini dibajak oleh kaum hedonis untuk menghalalkan zina dan kemungkaran, pada masa lalu dibajak oleh sebagian kaum sufi yang sesat untuk menghalalkan perbuatan zindiq dengan salut kesufian.
Cinta berlawanan kata dengan benci, maka tiada cinta tanpa benci pada lawannya. Cinta kepada Allah pasti beriringan dengan benci pada thaghut, cinta pada Islam pasti berdampingan dengan benci kepada kekafiran.
Namun hari ini, sebagian dai lebih akrab dengan bahasa benci. Penekanan pada sikap anti dan benci kerap kali berlebihan, sementara penekanan sikap cinta pada kebaikan kerap kali jadi berkurang atau bahkan menghilang.
Ini masalah komunikasi, cinta dan suka adalah kata yang berkonotasi positif. Sementara benci dan anti berkonotasi negatif. Jiwa manusia menyukai yang pertama, sementara berlebihan pada yang kedua membuat mereka lari menjauh.
Ada tiga contoh yang bisa mewakili berlebihannya penggunaan bahasa benci. Pertama Syi’ah, kedua komunis dan ketiga kelompok takfiri yang serampangan.
Syi’ah menggunakan kebencian pada para sahabat dan istri Rasulullah sebagai dasar aqidahnya. Kebencian mereka pada Abu Bakar, Umar, Utsman, Muawiyah dan Aisyah radhiyallahu’anhum membuat mereka menjadi sesat dalam memahami dienul Islam yang hanif dan seimbang.
Aqidah menjadi ekspresi politik. Keyakinan Syi’ah dianut sebagai sikap politik mendukung Ali dan Husain. Sebuah sikap yang berlandaskan emosi nan sentimentil.
Tak beda jauh dengan sikap para groupies yang memuja band, klub sepakbola dan penyanyi terkenal karena suka dan benci. Suka pada pujaannya dan benci pada lawan atau rivalnya.
Berlumur Darah
Contoh kedua adalah komunis. Kebencian pada penguasa feodal, pemilik modal dan orang kaya, beserta seluruh instrumen pendukungnya terutama gereja, melandasi ideologi pertarungan kelas yang diramu Marx. Mirip dengan Syi’ah yang memuja Ali sebagai kaum tertindas, komunis memuja proletar atau kaum miskin dan wong cilik sebagai etos utama mereka.
Di sisi lain, mereka begitu membenci penguasa, orang kaya dan pemilik modal. Meski ada nuansa cinta, nuansa benci lebih kuat dalam pemikiran revolusi komunis. itulah sebabnya, setiap revolusi komunis pasti diiringi banjir darah dari Rusia sampai Kamboja dan lndonesia.
Subjek amatan ketiga adalah kelompok takfiri sebagai titisan kaum khawarij. Diawali sikap benci pada ketidakadilan, namun luput dari ilmu dan kecintaan pada Rasulullah SAW, Dzul Khuwairashirah menuduh Rasulullah SAW berlaku tidak adil dan taqwa dalam pembagian ghanimah.
Khawarij muncul lagi pada era Perang Shiffin. Bergabung dengan Ali namun belakangan membelot darinya dan bahkan membunuh Ali.
Kebencian pada kekufuran, dalam hal ini Tahkim AIi mereka pandang menyimpang dari hukum Allah, berpadu dengan kebodohan dan hawa nafsu membuat mereka keluar dari Islam secepat melesatnya anak panah dari busur.
Hari ini kelompok takfiri modern juga menggunakan pola yang sama. Membenci kekufuran tanpa Ilmu dan menjadikan kebencian sebagai timbangan utama, kalau bukan satu-satunya, dalam menjatuhkan vonis kafir pada siapapun yang tak mereka sukai. Karena tak mau bersikap seperti mereka.
Kelompok Syukri Musthafa di Mesir mengkafirkan Presiden Nasser karena tak berhukum dengan hukum Allah, lalu mereka juga mengkafirkan penulis buku Tafsir wal Mufassirun -mantan Menteri Wakaf Dzahaby karena tak mau mengkafirkan Nasser seperti keinginan mereka.
Lalu, karena nafsu kebencian |ebih kuat daripada cinta mereka pada kebenaran, mereka pun membunuh Dzahaby.
Dakwah Cinta
Berpijak pada kebencian sebagai manhaj atau ideologi bukanlah karakter dakwah Islam. Rasulullah SAW memberi teladan yang seimbang. Beliau membenci kekufuran dan pelakunya, namun memaafkan dan memberikan kasih sayang pada saat beliau bisa dan sah-sah saja membantai mereka.
Lihatlah peristiwa Futuh Makkah, saat Quraisytakluk di bawah keperkasaan Rasul dan para sahabat. Meski menang mutlak, beliau tak melampiaskan dendam dan kebencian pada kaum taklukannya.
Bahkan kepada Hindun yang mengoyak dan mengunyah jantung paman kesayangan beliau, Hamzah, dalam Perang Uhud.
Maka kemenangan Islam yang gemilang tak diwarnai pembantaian berlumur darah seperti kemenangan Jenghiz Khan, Revolusi Perancis ataupun Phnom Penh. Kemenangan Islam justru diwarnai indahnya ampunan, sikap bijak dan keadilan.
Perang-perang Rasulullah bukanlah dilandasi kebencian, melainkan upaya melindungi dakwah dari tekanan musuh-musuhnya. Terbukti, begitu kemenangan diraih, beliau tak menjadikan pembalasan dendam sebagai program.
Bahasa dakwah adalah bahasa cinta. Kecintaan pada sesama manusia agar maka mendengar kebenaran dan mendapat kesempatan memilih.
Dakwah tak pernah memaksakan kebenaran, tetapi membuka peluang manusia melihat yang haq dan berpikir dengan jernih. Sebuah upaya yang tak mungkin berjalan tanpa dilandasi cinta kasih sesuai tuntunan Allah Ta’ala.
Meski bahasa jihad dan perang juga bagian dari islam, bahasa cinta menegaskan kesucian niatnya. Bahwa semua itu dilakukan justru dilandasi kecintaan pada umat manusia agar tak terhalang dan kebenaran dan petunjuk.
Kelihatannya kontradiktif, perang yang isinya membunuh kok diwarnai dengan cinta? Itulah indahnya Islam. Bahkan membunuh musuh pun Rasulullah SAW mengajarkan untuk dengan cara yang ihsan, tak menyiksa dan menyakiti dengan kejam.
Sama halnya seperti dalam menyembelih hewan yang hendak dimakan, pisau harus ditajamkan agar ia cepat mati dan tak tersiksa dalam sekaratnya.
Rasulullah SAW juga melarang siksaan kejam seperti membakar musuh hidup-hidup. Seandainya menghukum mati perlu dilakukan, beliau melakukannya dengan cepat tanpa siksaan.
Inilah kontradiksi teladan beliau dengan perbuatan sebagain orang hari ini yang justru menimbulkan kebencian manusia terhadap islam.
Belum terlambat bagi para dai dan mujahid untuk memberi sentuhan cinta pada amalamal mereka. Hal ini akan menghapuskan pencitraan Islam itu kejam dan zhalim yang selalu dihembus-hembuskan oleh musuh-musuhnya. Saatnya kembali membahasakan cinta!
Sumber : Majalah An-Najah Edisi 112 Rubrik Sekitar Kita
Penulis : Togar
No comments:
Post a Comment