"Mengapa akhir-akhir ini tak kulihat engkau di majelisku?", tanya Sa'id ibn Al Musayyib, mahaguru para Tabi'in di Madinah pada 'Abdullah ibn Abi Wada'ah.
"Istriku baru meninggal karena sakit wahai Syaikh", ujar anak muda itu, "Aku sibuk mengurusnya hingga tak sempat duduk menadah ilmumu. Maafkan aku." Wajahnya kuyu dan lelah. Setiap yang melihatnya akan langsung mengenali tanda-tanda kefakirannya.
Seusai mengajar, Imam Sa'id ibn Al Musayyib menggamit lengan 'Abdullah dan berbisik padanya, "Sebaiknya engkau segera menikah lagi agar dirimu terjaga dan hidupmu tertata."
"Siapakah yang akan mau menikahkan putrinya dengan duda fakir sepertiku?", sahut 'Abdullah dengan senyum jujur. "Hanya ada dua atau tiga dirham yang jadi kekayaanku."
"Aku", sahut Sang Imam.
Sang pemuda terenyak takjub. Bukankah masyhur bahwa beliau hanya punya seorang putri dan lamaran pada gadis itu dari Khalifah 'Abdul Malik ibn Marwan bagi putranya pun telah ditolak Sang Syaikh?
"Jangan mencandaiku wahai Guru", kata 'Abdullah.
Tapi Sa'id ibn Al Musayyib bukanlah 'Alim yang suka bercanda. Hari itu juga 'Abdullah diakadkan dengan putrinya. Masih setengah tak percaya, si mempelai pria pulang ke rumahnya. Maghrib tiba dan diapun bersiap ifthar dari puasa sunnahnya. Hanya ada sekerat roti keras, garam, dan minyak di sana. Dan tetiba pintu diketuk.
"Siapa di luar?"
"Sa'id."
Tak ada Sa'id lain yang dikenalnya selain guru yang sekaligus kini adalah mertuanya. Maka dia bergegas membuka pintu.
"Jika kau ada perlu, mengapa tak kaupanggil aku saja wahai Guru?"
"Tidak. Demi Allah. Ke mana engkau wahai 'Abdullah? Mengapa tak kaubawa istrimu ke rumahmu? Sungguh tak baik seorang lelaki melewatkan malam tanpa seorang istri. Inilah dia kuantarkan putriku padamu."
Dengan begitu kikuknya, 'Abdullah masuk dan menyilakan istrinya duduk. Dengan gugup dia menyembunyikan menu makan malamnya yang sangat membuatnya malu. Lalu dia menyelinap memberitahu beberapa tetangga.
"Sa'id ibn Al Musayyib telah menikahkanku dengan putrinya, dan kini gadis itu telah berada di rumahku. Celaka aku. Apa yang harus kulakukan?"
"Celaka engkau", sahut seorang Ibu paruh baya tetangga baiknya, "Jangan kau mendekat padanya sebelum aku mendandani dan menghiasnya. Dan kau pergilah mandi serta pakai pakaian yang layak."
"Aku akan menyiapkan hidangan ala kadarnya agar dapat kauundang para tetangga dan mengumumkan pernikahanmu dalam walimah sederhana", ujar tetangga yang lain.
Maka berlalulah malam-malam pertama 'Abdullah ibn Abi Wada'ah dengan begitu indah. "Satu pekan kulewati hidup baru bersama istriku seakan diriku berada di taman-taman surga. Lalu di hari ketujuh, akupun meminta izin pada istriku untuk keluar."
"Mau ke mana wahai suamiku tersayang?"
"Ke majelis ilmunya guruku, Sa'id ibn Al Musayyib."
"Tetaplah di rumahmu", sahut istrinya sembari memeluknya, "Karena semua ilmu Ayahku telah ada pada diriku. Hari ini kau mau belajar apa?"
'Abdullah pun tersenyum bahagia.
Monday, March 19, 2018
Salim A Fillah
No comments:
Post a Comment