Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Monday, March 19, 2018

    Beragama; Taat dan Adab

    Dari yang kita amati dan rasakan, ada 2 pendekatan besar yang dilakukan ummat ini dalam menghayati Diin-nya. Yang pertama taat, yang kedua adab.

    Ada saudara kita yang amat kokoh berpijak pada taat, sehingga segala sesuatu dari Rasulullah ï·º terimalah demikian adanya, 'amalkanlah dan tak usah merepotkan diri dengan menambahinya berdasar duga-duga. Misalnya, jika lafazh shalawat yang beliau ajarkan adalah "Allahumma shalli 'ala Muhammad", bacaan demikian pulalah yang paling utama.

    Bagi kita, ini sebuah sikap yang selamat dan harus dipandang sepenuh hormat.

    Tetapi ada pula saudara kita yang merasa bertatakrama lebih patut didahulukan dibanding sekedar taat. Maka dengan bersemangat, mereka akan menambahkan misalnya "Allahumma shalli 'ala Habibika wa Nabiyyika, Sayyidina wa Maulana wa Syafi'ina wa Qurrati A'yunina Muhammad."

    Tak ada perbedaan pendapat tentang kebolehan menambahkan predikat yang layak bagi Nabi ï·º dalam shalawat di luar bacaan shalat, kecuali soal mana yang lebih afdhal. Yang dibicarakan kemudian yakni apakah tambahan "Sayyidina" dalam tasyahud diperkenankan.

    Hari-hari ini, ada yang meruncingkan kembali perbedaan "taat" dan "adab" ini melampaui ikhtilaf sesuai proporsi. Padahal masyaallah, kita dapat menyimak bagaimana para sahabat membersamai Rasulullah ï·º dengan keduanya.

    Madinah di hari-hari itu sendu, karena purnamanya telah beberapa waktu tak terbit ke Masjid.

    Shubuh itu, Sayyidina Abu Bakr Ash Shiddiq seperti telah diperintahkan sebelumnya maju mengimami kaum muslimin. Ketika shalat hendak dimulai, adalah Sayyidina ‘Abbas dan Sayyidina ‘Ali memapah sosok yang diringkihkan demam itu. Maka tetiba sergapan kebahagiaan menyusup ke dada semua orang dan mencerah-cahayai wajah mereka. Inilah Rasulullah ï·º. Inilah Rasulullah kembali hadir di tengah-tengah mereka.

    Menyadari junjungannya bergabung dalam barisan di shaff pertama meski sembari duduk, Abu Bakr memundurkan diri. Tapi Nabi mendorong kembali Abu Bakr untuk maju mengimami. Mentaati dorongan Rasulullah ï·º, Abu Bakr maju sejenak sejauh tolakan tangan Sang Nabi. Tapi setarik nafas kemudian Ash Shiddiq mundur lagi. Demikian berulang hingga tiga kali.

    Akhirnya Abu Bakr berundur lalu duduk di sebelah kanan Sang Nabi ï·º, kemudian diberinya isyarat agar semua yang hadir shalat turut duduk. Demikianlah mereka memahami, sebab Sang Nabi yang akan mengimami shalat dalam keadaan duduk, merekapun bersembahyang dengan cara duduk.

    Selesailah shalat itu dan Nabipun menanyai Ash Shiddiq. “Ya Aba Bakr”, sabda beliau sembari tersenyum meski wajah agungnya tampak pucat, “Telah kuperintahkan agar kau tetap menjadi imam, mengapa engkau mundur?”

    “Ya Rasulallah”, jawab Abu Bakr sembari menunduk dengan bulir bening di matanya, “Lebih baik tanah di depanku terbelah lalu aku jatuh ke dalamnya, kemudian bumi menutup dan menghimpitku hingga binasa, daripada aku harus menjadi imam, sementara ada Baginda di belakangku.”

    Andai dia tetap menjadi imampun, Abu Bakr sama sekali tidak bersalah. Dia akan ternilai sebagai orang yang mentaati Rasulullah ï·º, satu ketaatan yang sebenarnya tak dapat ditawar sebab ia gambaran ketaatan kepada Allah. Namun Ash Shiddiq memilih adab.

    Maka adab, terkadang adalah wujud paling indah dari buah akhlaq yang manis, harum, dan lembut di pohon iman yang berakar kokoh dalam hati. Maka kita mendapatinya pada Ash Shiddiq, seorang yang oleh Rasulullah ï·º dipersaksikan, “Andai iman seluruh manusia diletakkan pada satu anak timbangan, sedang iman Abu Bakr ditaruh pada dacing yang lain, niscaya iman Abu Bakr lebih berat.”

    Dengan cinta di hati ahlinya, adab kadang juga "keterlaluan". Adalah Malik ibn Sinan, ayahanda Abu Sa'id Al Khudzri melihat bahwa luka di pelipis Rasulullah yang tertusuk cincin rantai pada Perang Uhud masih mengucurkan darah dengan deras, padahal Abu 'Ubaidah ibn Al Jarrah sudah terpatah-patah giginya untuk mencabut keling besi itu. Maka segera dihisapnya kuat-kuat bagian luka hingga tampak belulang Rasulullah yang putih. Tiap kali mencucup darah Sang Nabi ï·º, Malik menelannya.

    "Muntahkan darah itu!", perintah Nabi ï·º.

    "Demi Allah tidak ya Rasulallah."

    "Muntahkanlah!"

    "Takkan pernah Ya Rasulallah!", tolaknya sambil berkaca-kaca.

    Malik ibn Sinan "membangkang" pada junjungannya, sebab sungguh karena cinta pada beliau. Maka dengarlah sabda Rasulullah ï·º seperti dikisahkan Ath Thabarani, Ibn Ishaq, Al Qadhi 'Iyadh, dan lainnya, yang membuat Malik ambruk bahagia, "Jika kalian ingin melihat salah seorang lelaki ahli surga, inilah orangnya!"

    Tetapi, mari kita catat ini; setelah melewati batas tertentu, adab memang akan sangat merepotkan.

    Di mimbar Masjid Nabawi yang terataknya berundak tiga, dulu Rasulullah ï·º berdiri di tingkat teratas setiap kali beliau berkhuthbah. Ketika Sang Nabi wafat, Abu Bakr Radhiyallahu ‘Anh dengan adabnya yang tinggi tak berani berdiri di tempat kekasihnya itu dahulu bertegak. Beliau turun ke undakan kedua. Demikian pula ketika Ash Shiddiq wafat, ‘Umar ibn Al Khaththab merasa tak pantas setingkat dengan Abu Bakr. Maka Al Faruq turun satu teratak lagi, beliau berkhuthbah di undakan pertama.

    Mari bayangkan apa yang akan terjadi jika semua pengganti merasa tak patut berdiri sederajat dengan pendahulunya? Niscaya kian ke zaman kita, Khathib di Masjid Nabawi harus menggali berdepa-depa ke bawah demi menyesuaikan diri.

    Adab yang para manusia agung ini contohkan, berpeluang menyusahkan.

    Maka inilah Sayyidina ‘Utsman ibn ‘Affan begitu menerima bai’at kaum muslimin untuk menjadi pengganti Khalifah ‘Umar sesudah kesyahidan Al Faruq di mihrab, beliau menggenggam tongkatnya dan menuju mimbar. Ketika sampai di depan teratak, beliau berhenti sejenak kemudian bergumam dengan suara lirih yang dapat didengar sebagian hadirin. “Sungguh perkara ini akan berkepanjangan”, ujarnya. Lalu dengan memantapkan hati sang Dzun Nurain mendaki mimbar hingga ke puncak tertinggi. Dengan gemetar dia berdiri di tempat yang dahulu Rasulullah ï·º bertegak di sana. Lalu diapun berkhuthbah.

    Semoga Allah meridhai dan merahmati mereka semua; yang meneladankan pada kita adab & taat pada tempatnya, dengan hati yang selalu berpadu dalam agamaNya.

    No comments:

    Post a Comment