Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (Al Baqarah 214)
Ada sebuah energi yang luar biasa dari cerita yang kudengar beberapa hari yang lalu dari sahabat Muslim Srilanka yang berkerja di Riyadh. Ia adalah chef (juru masak) yang bekerja di InterContinental Riyadh Hotel bersamaku.
Banyak para pekerja yang datang ke negeri ini. Di hotel tempat saya bekerja saja ada sekitar 700 orang dari 17 Negara berbeda..
Saya mengenal banyak dari mereka. Ada beberapa dari Palestina, Bahrain, Jordan, Syiria, Pakistan, India, Srilanka dan kebanyakan dari Mesir dan Saudi Arabia sendiri.
Ada beberapa dari mereka dari suku Arab yang tinggal dibenua Afrika. Salah satunya adalah teman dari Negara Sudan, Afrika. Saya mengenalnya dengan nama Ammar Musthafa, dia salah satu Muslim kulit hitam yang juga bekerja di Hotel ini.
Beberapa bulan ini saya tidak lagi melihatnya berkerja. Biasanya saya melihat ia bekerja bersama pekerja lainnya menggarap proyek renovasi hotel di tengah terik matahari kota riyadh yang membakar kulit.
Hari itu Ammar tidak terlihat. Karena penasaran, saya coba tanya kepada Iqbal tentang kabarnya. Iqbal adalah teman saya, seorang Muslim dari Srilanka.
“Oh kamu tidak tahu?” jawab Iqbal balik bertanya, memakai bahasa Ingris khas India yang bercampur dengan prononsiasi urdhu yang pekat.
“Iyah beberapa minggu ini dia gak terlihat di Mushola ya?” Jawab saya.
Selepas itu, tanpa saya duga, Ikbal mulai bercerita panjang lebar tentang Ammar. Ia menceritakan tentang hidup Ammar yang pedih dari awal hingga akhir, semula saya keheranan melihat matanya yang menerawang jauh. Seperti berusaha memanggil kembali sosok teman yang beberapa waktu tinggal menumpang dikamar apartemennya.
Saya mendengarkannya dengan seksama.Ternyata Amar datang ke kota Riyadh ini lima tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 2004. Ia datang ke Negeri ini dengan tangan kosong, dia nekad pergi meninggalkan keluarganya di Sudan untuk mencari kehidupan di Kota ini.
Saudi arabia memang memberikan free visa untuk Negara Negara Arab lainnya termasuk Sudan, jadi ia bisa bebas mencari kerja disini asal punya Pasport dan tiket.
Sayang, kehidupan memang tidak selamanya bersahabat.
Do’a Ammar untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di kota ini saat itu belum terkabul. Dia bekerja berpindah pindah dengan gaji yang sangat kecil, uang gajinya tidak sanggup untuk membayar apartemen hingga ia tinggal di apartemen teman-temannya.
Meski demikian, Ammar tetap gigih mencari pekerjaan untuk keluarganya di Sudan. Ia tetap mencari celah dan kesempatan agar bisa mengirim uang untuk keluarganya di Sudan.
Bulan pertama berlalu kering, bulan kedua semakin berat…Bulan ketiga hingga tahun-tahun berikutnya kepedihan Ammar tidak kunjung berakhir.
Waktu bergeser lamban dan berat, telah lima tahun Ammar hidup berpindah pindah di Kota ini. Bekerja dibawah tekanan panas matahari dan suasana Kota yang garang.
Amar tetap bertahan dalam kesabaran.
Kota metropolitan akan lebih parah dari hutan rimba jika kita tidak tahu caranya untuk mendapatkan uang, dihutan bahkan lebih baik. Di hutan kita masih bisa menemukan buah buah atau seteguk air dari sungai..
Kota adalah belantara penderitaan yang akan menjerat siapa saja yang tidak mampu bersaing.
Riyadh adalah ibu kota Saudi Arabia. Hanya berjarak 7 jam dari Dubai dan 10 Jam jarak tempuh dengan bis menuju Makkah. Dihampir keseluruhan kota ini tidak ada pepohonan untuk berlindung saat panas. Disini hanya terlihat kurma kurma yang berbuah satu kali dalam setahun..
Amar seperti terjerat di belantara Kota ini. Pulang ke Sudan bukan pilihan terbaik, ia sudah melangkah, ia harus membawa perubahan untuk kehidupan keluarganya di negeri Sudan.
Itu tekadnya.
Ammar tetap tabah dan tidak berlepas diri dari keluarganya. Ia tetap mengirimi mereka uang meski sangat sedikit, meski harus ditukar dengan lapar dan dahaga untuk raganya disini.
Sering ia melewatkan harinya dengan puasa menahan haus dan lapar sambil terus melangkah, berikhtiar mencari suap demi suap nasi untuk keluarganya di Sudan.
Tapi Ammar pun Manusia.
Ditahun kelima ini ia tidak tahan lagi menahan malu dengan teman temannya yang ia kenal, lima tahun sudah ia berpindah pindah kerja dan numpang di teman temannya. Tapi kehidupannya tidak kunjung berubah.
Akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke Sudan.
Tekadnya telah bulat untuk kembali menemui keluarganya, meski dengan tanpa uang yang ia bawa untuk mereka yang menunggunya.
Saat itupun sebenarnya ia tidak memiliki uang, meski sebatas uang untuk tiket pulang. Ia memaksakan diri menceritakan keinginannya untuk pulang itu kepada teman-teman terdekatnya. Dan salah satu teman baik Ammar memahaminya, ia memberinya sejumlah uang untuk beli satu tiket penerbangan ke Sudan.
Hari itu juga Ammar berpamitan untuk pergi meninggalkan kota ini dengan niat untuk kembali ke keluarganya dan mencari kehidupan di sana saja.
Ia pergi ke sebuah Agen di jalan Olaya- Riyadh, utuk menukar uangnya dengan tiket. Sayang, ternyata semua penerbangan Riyadh-Sudan minggu ini sulit didapat karena imbas konflik di Libya, Negara tetangganya.
Tiket hanya tersedia untuk kelas executive saja.
Ammar pun beli tiket untuk penerbangan minggu berikutnya. Ia memesan dari saat itu supaya bisa lebih murah. Tiket sudah ditangan, dan jadwal terbang masih minggu depan.
Ammar sedikit kebingungan dengan nasibnya. Tadi pagi ia tidak sarapan karena sudah tidak sanggup lagi menahan malu sama temannya, siang inipun belum ada celah untuk makan siang. Tapi baginya ini bukan hal pertama. Ia hampir terbiasa dengan kebiasaan itu.
Adzan dzuhur bergema… Semua Toko-toko, Supermarket, Bank, dan Kantor Pemerintah serentak menutup pintu dan menguncinya. Security Kota berjaga jaga di luar kantor-kantor, menunggu hingga waktu Shalat berjamaah selesai.
Ammar tergesa menuju sebuah masjid di pusat kota Riyadh. Ia mengikatkan tas kosongnya di pinggang, kemudian mengambil wudhu.. memabasahi wajahnya yang hitam legam, mengusap rambutnya yang keriting dengan air.
Lalu ia masuk mesjid. Shalat 2 rakaat untuk menghormati masjid. Lalu ia duduk menunggu mutawwa memulai shalat berjamaah.
Hanya disetiap shalat itulah dia merasakan kesejukan. Ia merasakan terlepas dari beban Dunia yang menindihnya, hingga hatinya berada dalam ketenangan ditiap menit dalam sujudnya.
Disanalah ia biasanya mengadu kepada kekasihnya… Pemilik Alam Semesta.
Ia mewarnai setiap sujudnya dengan isakan ketulusan, menghambakan dirinya kepada Allah azza wajala..
Shalat telah selesai. Ammar masih bingung untuk memulai langkah. Penerbangan masih seminggu lagi. Ditangannya hanya ada selembar tiket. Sakunya telah kering dari minggu lalu. Semua uang yang ia dapati dari hasil kerjanya satu bulan terakhir dikirim kerumah untuk makan anak anak dan istrinya.
Ia terdiam.
Dilihatnya beberapa mushaf al Qur’an yang tersimpan rapi di pilar pilar mesjid yang kokoh itu. Ia mengambil salah satunya, bibirnya mulai bergetar membaca taawudz dan menikmati al Qur’an hingga adzan Ashar tiba menyapanya. Selepas Maghrib ia masih disana. Beberapa hari berikutnya, ia memutuskan untuk tinggal disana hingga jadwal penerbangan ke Sudan tiba.
Ammar memang telah terbiasa bangun awal di setiap harinya. Seperti pagi itu, ia adalah orang pertama yang terbangun di sudut kota itu.
Ammar mengumandangkan suara indahnya memanggil jiwa-jiwa untuk shalat, membangunkan seisi kota saat fajar menyingsing menyapa.
Adzannya memang khas. Hingga bukan sebuah kebetulan juga jika Prince di kota itu juga terpanggil untuk shalat Subuh berjamaah disana.
Adzan itu ia kumandangkan disetiap pagi dalam sisa seminggu terakhirnya di kota Riyadh. Hingga jadwal penerbanganpun tiba.
Ditiket tertulis jadwal penerbangan ke Sudan jam 05:23am, artinya ia harus sudah ada di bandara jam 3 pagi atau 2 jam sebelumnya.
Ammar bangun lebih awal dan pamit kepada pengelola masjid, untuk mencari bis menuju bandara King Abdul Azis Riyadh yang hanya berjarak kurang dari 30 menit dari pusat Kota.
Amar sudah duduk diruang tunggu dibandara. Penerbangan sepertinya sedikit ditunda, 15 menit sudah berlalu dari jadwal ia terbang. Kecemasan mulai meliputinya.
Hatinya pilu, ia harus pulang kenegerinya tanpa uang sedikitpun. Padahal lima tahun ini tidak sebentar, tapi ia tidak gentar. Lima tahun itu ia lalui dengan sisa sisa kesabarannya, ia lega karena sudah berusaha semaksimal mungkin. Ia memahami bahwa dunia ini hanya persinggahan.
Ia tidak pernah mencemari kedekatannya dengan pemilik Alam semesta ini dengan keluhan. Ia tetap berjalan tertatih memenuhi kewajiban kewajibannya, sebagai Hamba Allah, sebagai Imam dalam keluarga dan ayah buat anak anaknya.
Diantara lamunan kecemasannya, ia dikejutkan oleh suara yang memanggil manggil namanya.
Suara itu datang dari speaker dibandara tersebut, rasa kagetnya belum hilang Ammar dikejutkan lagi oleh sekelompok berbadan tegap yang menghampirinya.
Mereka membawa Ammar ke mobil tanpa basa basi, mereka hanya berkata “Prince memanggilmu”.
Ammarpun semakin kaget jika ia ternyata mau dihadapkan dengan Prince. Prince adalah Putra Raja, kerajaan Saudi tidak hanya memiliki satu Prince. Prince dan Princess mereka banyak tersebar hingga ratusan diseluruh jazirah Arab ini. Mereka memilii Palace atau Istana masing masing.
Keheranan dan ketakutan Ammar baru sirna ketika ia sampai di Mesjid tempat ia menginap seminggu terakhir itu, disana pengelola masjid itu menceritakan bahwa Prince merasa kehilangan dengan Adzan fajar yang biasa ia lantunkan.
Setiap kali Ammar adzan, Prince selalu bangun dan merasa terpanggil… Hingga ketika adzan itu tidak terdengar lagi, Prince merasa kehilangan. Saat mengetahui bahwa sang Muadzin itu ternyata pulang kenegerinya Prince langsung memerintahkan pihak bandara untuk menunda penerbangan dan segera menjemput Ammar yang saat itu sudah mau terbang..
Ammar sudah berhadapan dengan Prince. Prince menyambut Ammar dirumahnya, dengan beberapa pertanyaan tentang alasan kenapa ia tergesa pulang ke Sudan?
Amarpun menceritakan bahwa ia sudah lima tahun di Kota Riyadh ini, tapi tidak pernah mendapatkan kesempatan kerja dengan gaji yang cukup untuk menghidupi keluarganya.
Prince mengangguk nganguk, ia bertanya: “Berapakah gajihmu dalam satu bulan?”
Amar kebingungan, karena gaji yang ia terima tidak pernah tetap. Bahkan sering ia tidak punya gaji sama sekali, bahkan berbulan bulan tanpa gaji dinegeri ini.
Prince memakluminya. beliau bertanya lagi: “Berapa gaji paling besar dalam sebulan yang pernah kamu terima?”
Dahi Ammar berkerut mengingat kembali catatan hitamnya selama lima tahun kebelakang. Ia lalu menjawabnya dengan malu: “Hanya SR 1.400″, jawab Ammar.
Prince langsung memerintahkan sekretarisnya untuk menghitung uang. 1.400 Real itu dikali dengan 5 tahun (60 bulan) dan hasilnya adalah SR 84.000 (Setara Rp. 184. 800.000).
Saat itu juga bendahara Prince menghitung uang dan menyerahkannya kepada Amar.
Tubuh Amar bergetar melihat keajaiban dihadapannya. Belum selesai bibirnya mengucapkan Al Hamdalah…
Prince baik itu menghampiri dan memeluknya seraya berkata: “Aku tahu, cerita tentang keluargamu yang menantimu di Sudan… Pulanglah temui istri dan anakmu dengan uang ini. Lalu kembali lagi setelah 3 bulan. Saya siapkan tiketnya untuk kamu dan keluargamu kembali ke Riyadh. Jadilah Bilall dimasjidku.. hiduplah bersama kami di Palace ini”
Ammar tidak kuasa lagi menahan air matanya.
Ia tidak terharu dengan jumlah uang itu, uang itu memang sangat besar artinya di negeri Sudan yang miskin.
Ammar menangis karena keyakinannya selama ini benar, Allah sungguh sungguh memperhatikannya, kesabarannya selama lima tahun ini diakhiri dengan cara yang indah.
Ammar tidak usah lagi membayangkan hantaman sinar matahari disiang hari yang membakar kulitnya. Ammar tidak usah lagi memikirkan kiriman tiap bulan untuk anaknya yang tidak ia ketahui akan ada atau tidak.
Semua berubah dalam sekejap!
Lima tahun itu adalah masa yang lama bagi Ammar.
Tapi masa yang teramat singkat untuk kekuasaan Allah.
Nothing Imposible for Allah,
Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah..
Bumi inipun Milik Allah,..
Alam semesta, Hari ini dan Hari Akhir serta Akhirat berada dalam Kekuasaan Nya.
Inilah buah dari kesabaran dan keikhlasan.
Ini adalah cerita nyata yang tokohnya belum beranjak dari kota ini, saat ini Ammar hidup cukup dengan sebuah rumah di dalam Palace milik Prince.
Sungguh ia dianugerahi oleh Allah di Dunia ini hidup yang baik, ia menjabat sebagai Muadzin di Masjid Prince Saudi Arabia di pusat kota Riyadh.
Tidak sadar mata saya berkaca kaca..
Iqbal yang berceritapun terlihat mengeluarkan sapu tangan dan mengusapkan kewajahnya.
Subhanallah…
Seperti itulah buah dari kesabaran.
“Jika sabar itu mudah, tentu semua orang bisa melakukannya. Jika kamu mulai berkata sabar itu ada batasnya, itu cukup berarti pribadimu belum mampu menetapi kesabaran karena sabar itu tak ada batasnya. Batas kesabaran itu terletak didekat pintu Syurga dalam naungan keridhaan-Nya“.
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. (Fushilat 35)
.Oleh: Nuruddin
Riyadh 2011
http://en.netlog.com/fatimadinanwar/blog/blogid=4428984
No comments:
Post a Comment