Seorang perempuan Rohingya yang kini tinggal di kamp pengungsian di Bangladesh menceritakan pengalaman kekerasan keji, brutal dan mengerikan yang dilakukan oleh tentara Myanmar. Berikut berbagai kesaksian para perempuan Rohingya akan kisah-kisah mengerikan yang dialaminya.
Salah satunya, kisah yang ditulis berdasarkan penelusuran Daily Mirror ini menceritakan mengenai sosok perempuan dan Ibu Rohingya bernama Fatima Begum.
Perempuan bernama Fatima Begum ini mengatakan bahwa Suaminya ditembak dan kemudian bagian leher tenggorokannya dipenggal saat pasukan tentara Myanmar tanpa belas kasih membakar desa-desa Rohingya di Rakhine.
Akan tetapi hal itu baru awal dari kisahnya yang mengerikan. Selanjutnya Fatima Begum mengungkapkan bagaimana bayi-bayi dan anak-anak dibantai dalam kejahatan perang yang disponsori negara secara begitu mengerikan sehingga sulit untuk dipahami dengan akal sehat.
Dengan nada berbisik, Fatima Begum (25 Tahun) yang waspada, memberitahukan, “Mereka melempar bayi-bayi ke udara dan kemudian menebasnya dengan pisau panjang dan parang.”
“Saya melihat bayi yang mati dipotong menjadi empat dan kemudian mereka melemparkan bagian-bagian tubuhnya ke api. Saya melihat ini terjadi tepat di depan saya. Saya terpaku bodoh, benar-benar tidak bisa berkata-kata. Saya tidak percaya apa yang saya lihat”, ungkap Fatima.
“Saya tahu banyak perempuan dari desa saya, yang anak-anaknya dibunuh dengan cara ini. Mereka membakar beberapa anak secara keseluruhan juga”, ucapnya.
“Wanita termuda, wanita cantik dan yang belum menikah, sekitar 20 dari mereka, mereka membunuh mereka ketika mereka mencoba melarikan diri. Mereka dimasukkan ke garis di tempat terbuka dan kemudian ditembak” papar Fatima Begum.
Fatima menceritakan kisah dan pengalamannya itu di sebuah kamp pengungsi di Kutupalong, di dekat Cox’s Bazar, di ujung Selatan Bangladesh.
Di kamp Kutupalong itulah, dia dengan sabar mengantri untuk mendapat bantuan beras. Setelah suaminya dibunuh, dia bertanggung jawab sendiri untuk memberi makan anak-anaknya.
Fatima adalah salah satu dari 700.000 warga Rohingya korban kekerasan di Myanmar yang terpaksa melakukan eksodus ke Bangladesh sejak musim panas lalu.
Dia siap untuk berbicara ke publik dalam upaya untuk mendorong PBB, Inggris dan negara-negara lain segera mengambil aksi nyata terhadap para Jenderal Myanmar yang bertanggungjawab atas operasi yang dia sebut sebagai genosida Rohingya tersebut.
Fatima Begum menginginkan agara para politisi berhenti mencari jalan atau solusi lain.
Sambil menggendong putrinya, Hasina yang berusia 14 bulan, Fatima Begum mengatakan bahwa dia dipaksa berlari demi hidupnya. Dia meninggalkan segalanya di belakang ketika api melalap rumah beratap jerami miliknya.
Fatima mengisahkan, “Ketika saya bersembunyi di hutan, suami saya berlari kembali ke rumah kami untuk mendapatkan makanan guna perjalanan ke depan. Tetapi para prajurit sedang menunggu”.
“Mula-mula mereka menembaknya dan kemudian mereka memotong lehernya dengan parang. Mereka membunuh paling tidak 30 orang lainnya dengan menutupinya dengan bensin dan membakar mereka. Sangat mengerikan, kami terus berlari selama empat hari melintasi pegunungan, tanpa makanan,” paparnya.
Bersama dengan para pengungsi yang saya temui di kamp-kamp yang luas di sebidang tanah di dekat sungai yang memisahkan Bangladesh dan Myanmar, banyak cerita mengerikan dari mereka dan itu meninggalkan kengerian yang tak terbayangkan untuk mencari perlindungan. Setiap kata dari setiap kesaksian sama-sama tak masuk akal.
Para pengungsi menggambarkan kampanye pembersihan etnis yang terkoordinasi oleh pasukan Myanmar yang dikenal sebagai Tatmadaw.
Selama kekerasan berbulan-bulan itu, pasukan Myanmar dilaporkan melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan dan penyiksaan. Para aktivis dan pejabat PBB menggambarkan tindakan itu sebagai genosida terburuk abad ini.
Pengungsi lain, Nazima, 27 tahun, dan ketiga anaknya terbaring di lantai tanah. Mereka menderita dehidrasi. Nazima mengatakan bahwa suaminya masih di Myanmar setelah rumahnya diserang pasukan tentara.
Amina, 20 tahun, pengungsi Rohingya lainnya yang duduk di kursi plastik dengan putranya Muhammad yang berusia delapan bulan, dan putrinya Mahia, 18 bulan. Kisah Amina luar biasa, mengingat dia sedang hamil lebih dari delapan bulan ketika dia melarikan diri dari Rakhine.
“Mereka menikam anak-anak kami dengan pisau, memotongnya dengan liar,” ungkap Amina dengan gugup. “Mereka menyiksa suami saya tetapi dia berhasil lolos. Saya tidak bisa berlari cepat karena saya hamil tua,” tuturnya.
“Semua orang panik…kami menjadi terpisah. Saya melanjutkan sendiri. Ketika saya masih di hutan, di suatu tempat dekat sungai, saya mengalami kontraksi dan saya melahirkan, di tanah, sendirian. Saya menangis. Gadis-gadis dari desa terdekat mendengarkan saya dan datang membantu. Mereka memotong tali pusar saya,” tukasnya.
“Saya telah berjalan selama 12 hari. Saya kelelahan, jadi mereka membantu saya dan Muhammad naik kano,” jelas Amina.
Tidak mengherankan, Muhammad kecil telah menderita masalah kesehatan yang terus menerus, setelah menghabiskan hidupnya di kamp. permaslahan kulit yang parah mempengaruhi seluruh tubuhnya dan dia demam. Sudah beberapa pekan setelah masuk ke Bangladesh, Amina secara ajaib, bersatu kembali dengan putrinya Mahia yang sebelumnya terpisah.
Kamp itu dipenuhi dengan para janda yang juga berduka cita karena kehilangan anak-anak mereka.
Nur Begum, 30 tahun, memberitahukan bagaimana putranya yang berumur 12 tahun ditembak mati. Nur, yang berhasil melarikan diri bersama anak-anaknya yang lain, mengatakan, ”Sewaktu kami semua tidur, mereka menuangkan minyak ke atap jerami rumah kami dan membakarnya.”
“Kami semua berlari keluar, ketakutan, dan kemudian mereka mulai menembak. Putraku jatuh di depanku. Dia sudah mati. Kami semua harus tetap berlari. Saya harus meninggalkan tubuhnya di sana,” tuturnya.
Meskipun ada banyak bukti-bukti kredibel kejahatan perang dan genosida, Inggris dituding membela pemerintah Myanmar karena menekan untuk penawaran kerjasama perdagangan global pasca-Brexit. Menteri Perdagangan Internasional, Liam Fox, saat berbicara dalam sebuah forum di London pada Oktober lalu yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan dengan negara-negara termasuk Myanmar – hanya dua bulan setelah serangan militer terhadap Rohingya dimulai.
Sementara, Menteri Skotlandia, David Mundell, melakukan perjalanan ke Myanmar dalam misi perdagangan tahun lalu.
Bahkan Menteri Luar Negeri Boris Johnson bertemu dengan pemimpin de-facto Myanmar Aung San Suu Kyi pada bulan Februari, tetapi gagal meyakinkannya tentang skala penuh kekejaman yang dilakukan militernya.
Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian dan Penasihat Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang sebelumnya pernah menjalani tahanan rumah oleh rezim junta militer Myanmar, hingga kini belum mengakui peristiwa pembantaian yang telah terjadi di negara yang dipimpinnya.
“Inggris dan lainnya harus berhenti meremas-remas tangan mereka dan mengedepankan resolusi yang merujuk Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional,” kata Param-Preet Singh, direktur asosiasi keadilan internasional di Human Rights Watch, yang dikutip Daily Mirror, semalam (1/7/2018).
Stephen Twigg, politisi Partai Buruh Inggris yang juga Ketua Komite Pembangunan Internasional, mendesak perubahan dramatis dalam kebijakan Inggris terhadap Myanmar.
Untuk saat ini, Rohingya tidak diakui sebagai salah satu “ras pribumi” Myanmar dan berpotensi menjadi target kekerasan oleh pasukan negara setempat.
Sejumlah kelompok HAM menyalahkan sepuluh jenderal termasuk panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing atas pembersihan etnis Rohingya.
Laporan Amnesty International juga menuduh tiga pejabat di Polisi Penjaga Perbatasan (BGP) turut berperan dalam pertumpahan darah di Rakhine.
Berdasarkan wawancara, pencitraan satelit, foto-foto yang diverifikasi dan analisis ahli forensik dan senjata, laporan itu merinci pola pelanggaran terhadap etnis Rohingya, terutama orang-orang Muslim yang dianiaya di kelompok Buddha garis keras di Myanmar.
Kanada dan Uni Eropa mengumumkan sanksi terhadap tujuh perwira senior di Tatmadaw (pasukan negara Myanmar).
“Mereka yang memiliki darah di tangan mereka dan harus dimintai pertanggungjawaban,” pungkas Matthew Wells dari Amnesty International.
“Kegagalan untuk bertindak sekarang karena banyaknya bukti memunculkan pertanyaan; Apa yang dibutuhkan komunitas internasional untuk mengambil keadilan dengan serius?,” tandas Wells.
Krisis Rohingya
Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas minoritas Muslim, menurut Amnesty International.
Etnis Rohingya, digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya dan tertindas di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan tinggi akibat serangan pasukan Myanmar dan para ektrimis Buddha.
Sedikitnya 9.000 Rohingya dibantai di negara bagian Rakhine mulai 25 Agustus hingga 24 September, demikian menurut laporan Doctors Without Borders [MSF].
Dalam laporan yang diterbitkan pada 12 Desember lalu, organisasi kemanusiaan global itu mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Muslim Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Diantara para korban jiwa itu, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Dilaporkan bahwa lebih dari 647.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 ketika Tentara Myanmar melancarkan tindakan brutal dan kejam terhadap Minoritas Muslim itu, sementara itu menurut angka PBB, jumlahnya adalah 656.000 jiwa.
Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal Myanmar yang telah melihat pasukan militer dan massa ektrimis Budhdha membunuhi pria, wanita dan anak-anak, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.[IZ]
Sumber: Panjimas.com
No comments:
Post a Comment