Fenomena munculnya sekelompok aktivis Islam yang gampang sekali mengkafirkan (takfir ghuluw) sesama aktivis atau pejuang menjadi masalah tersendiri bagi perjuangan penegakan syariat Islam. Padahal, antara yang menuduh kafir dan yang dituduh sama-sama berpegang kepada kaidah hukum asal yang satu. Seperti “Siapa tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia kafir,” atau “”Siapa yang membuat hukum selain Allah maka ia kafir.“
Mengapa potret tragis ini bisa terjadi? Syaikh Fahd bin Shalih bin Abdul Aziz Al ‘Ajlan membeberkan analisisnya sebagaimana dimuat dalam majalah Al-Bayan. Sebagai catatan, takfir yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah takfir yang serampangan dan berlebih-lebihan. Adapun takfir yang adil, maka itu bagian dari ajaran Islam.
Mengapa potret tragis ini bisa terjadi? Syaikh Fahd bin Shalih bin Abdul Aziz Al ‘Ajlan membeberkan analisisnya sebagaimana dimuat dalam majalah Al-Bayan. Sebagai catatan, takfir yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah takfir yang serampangan dan berlebih-lebihan. Adapun takfir yang adil, maka itu bagian dari ajaran Islam.
Ada seorang yang menulis dalam laman pribadinya di twitter berita tentang aksi bom bunuh diri dari pihak mujahidin dengan menggunakan bom mobil. Akibatnya, jatuhlah puluhan korban jiwa dan luka-luka.
Kemudian ada yang berkomentar menolak perbuatan itu: “Bertakwalah kepada Allah, bagaimana bisa kamu membolehkannya membunuh dirinya sendiri, lalu mengorbankan saudara-saudaranya yang lain dengan perbuatan itu? Padahal Allah berfirman: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya serta mengutuknya, dan Allah menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa: 93).
Ada juga yang komentar: “Dimanakah kehormatan darah seorang muslim? Bagaimana bisa kamu mengkafirkan saudaramu sesama muslim dan menghalalkan darahnya? Dimanakah keharaman membunuh jiwa?”Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka”(QS. An-Nisa: 29-30).
DR. Fahd tidak melanjutkan dialog antara mereka. Beliaupun belum membaca tanggapan terhadap nasehat tersebut. Namun beliau yakin bahwa jawabannya akan seperti ini:
Tidak diragukan, haram hukumnya mengkafirkan orang lain tanpa alasan yang dibenarkan. Demikian juga haram menumpahkan darah yang terlarang. Meski barangsiapa yang telah terjatuh dalam kekufuran, maka ia pantas dikafirkan jika terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang. Ketika ia membunuh, pada dasarnya ia membunuh berdasar alasan syar’i.
Saya menghargai darah dan bertakwa kepada Allah dalam hal ini. Kalau bukan atas dasar takwa kepada Allah, saya tidak mungkin mendukung perbuatan seperti ini.” kata beliau.
Jadi, kita berhadapan dengan kondisi jiwa yang peringatan tidak lagi mempan baginya. Yaitu peringatan untuk bertakwa kepada Allah dan haramnya menumpahkan darah serta bahaya pengkafiran. Jika engkau menakut-nakutinya dengan sesuatu yang ia pandang tidak perlu ditakuti, ia menganggap dirinya telah bertakwa kepada Allah ketika melakukan kemungkaran tersebut.
Cara seperti itu tadi tidak akan berhasil. Berdialog dengan orang ini tentang perkara “menumpahkan darah” dan bahaya vonis kafir tidak ada gunanya.Mengapa?
Karena ia sepakat dengan Anda dalam pokok perkara tersebut. Mungkin ia mengakui sebagaimana yang Anda akui, tentang perlindungan terhadap “darah” dan pentingnya untuk teliti dalam masalah ini. Pernyataannya persis dengan pendapatmu tentang bahaya pemahaman Khawarij!
Tetapi pada saat yang sama, ia melakukan tindakan yang berseberangan dengan prinsip ini. Hal ini membuat kening berkerut.Baginya tidak masalah membunuh orang Islam atau mujahid di jalan Allah.Bahkan dia siap bunuh diri dalam rangka membunuh para mujahid itu.
Kita dihadapkan pada fenomena yang membingungkan. Orang itu tidak berselisih dengan Anda dalam hal menjunjung tinggi pokok syariat, berupa perlindungan terhadap darah seorang muslim dan pentingnya berhati-hati dalam masalah ini. Juga tidak berbeda dalam perlunya ketelitian dalam menjatuhkan vonis kafir, atau bahaya membunuh jiwa, dan tidak bolehnya memvonis kafir pelaku dosa besar, dan seterusnya.
Tetapi ada perkara cabang yang menggugurkan perkara pokok itu secara total, sehingga perkara pokok tadi tidak lagi berarti. Apalah arti Anda menghormati darah seorang muslim dan prinsip tidak memvonis kafir tanpa alasan benar, jika Anda memandang bolehnya seseorang bunuh diri untuk membunuh saudaranya para mujahid?!
Bagaimana memahami perpaduan yang membingungkan antara pengakuan dan keyakinan terhadap pokok syariat; di saat yang sama meyakini perkara cabang dan aplikasi yang merobek serta melanggar perkara pokok tadi?
Ada beberapa sebab pemicu munculnya fenomena yang kontradiktif ini:
Pertama: Wawasan yang umum tentang perkara vonis kafir, serta tidak memiliki pengetahuan rinci dan mendalam terhadap masalah vonis kafir.
Anda dapat melihat dengan jelas perkara vonis kafir ini. Ada kelompok pemuda yang sangat hati-hati berfatwa tentang perkara rumit dalam hal ibadah dan muamalah, atau perkara fikih yang lain. Hal itu karena ia tahu bahwa ada perbedaan pendapat yang membutuhkan penelitian secara seksama terhadap pendapat dan dalil-dalilnya. Juga karena sadar akan perlunya terlebih dahulu memiliki wawasan tentang ilmu alat berupa usul fikih dan bahasa Arab. Pada akhirnya,ia menyerahkan perkara ini kepada ahlinya dan selalu mengatakan dalam perkara itu: “Aku tidak tahu jawabannya”. Atau ia mengarahkan si penanya kepada ulama yang ia percaya atau menukil fatwa dari ulama yang ia ikuti.
Secara umum engkau dapati bahwa ia sangat berhati-hati terhadap perkara itu, dan sering berdalil dengan firman Allah:“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”(QS. Al-Isra’: 36).
Tapi ketika berbicara tentang vonis kafir terhadap kelompok-kelompok tertentu, atau masalah menghalalkan darah dan harta, atau aksi pembunuhan terhadap mereka, orang yang Anda dapati sangat hati-hati dalam berfatwa dalam perkara ibadah tadi, tiba-tiba menjadi mufti tersohor dan pengamat yang hebat. Dengan mudah dan gampang memvonis ribuan orang Islam dan mengatakan:“Mereka boleh dibunuh dan diperangi karena mereka sudah kafir dan murtad”!
Sangat aneh… Timpang antara sembrono dalam memvonis kafir dan kehati-hatian yang berlebihan dalam perkara ibadah!
Padahal secara teori, perkara darah, perang dan vonis kafir lebih rumit daripada perkara ibadah.Dan secara praktis, akibat yang timbul dari vonis tersebut lebih fatal, karena berakibat binasanya jiwa dan harta.Oleh karena itu sangat wajar jika kehati-hatian dalam perkara darah seharusnya lebih besar.
Yang membuat perkara ini dianggap mudah dan sepele, sebagian orang mengetahui kaidah-kaidah umum memandang bahwa masalah ini sudah sangat jelas tidak butuh penelitian dan kajian mendalam. Ia langsung menerapkan kaidah umum tersebut. Ketika ada orang yang memberi tanggapan, ia tidak melihat bahwa perkara ini perlu ditanggapi. Dia malah mencari kesalahan dari paham orang yang menanggapinya atau menyalahkan niatnya. Lebih dari itu, orang yang hati-hati ketika berfatwa dalam perkara darah dan vonis kafir, dengan mudah ia tuduh berpaham Murji’ah, bodoh atau berkhianat!
Misalnya ia hafal kaidah “Membantu orang kafir dalam memerangi umat Islam termasuk perusak keislaman”, atau “Berhukum dengan undang-undang yang bertentangan dengan syariat Islam adalah kekufuran.“ Atas dasar pengetahuan umum inilah ia membangun seluruh aturan peradilan dan fikih.
Padahal setiap penuntut ilmu pasti tahu, terdapat rincian tentang perusak-perusak keislaman yang membutuhkan kajian yang teliti dan mendalam. Dan ketika diterapkan dalam realita dan kepada personal (perseorangan) juga butuh kehati-hatian yang lebih, sebagaimana dipandang dalam tinjauan hukum fikih yang lebih membutuhkan keluasan ilmu.
Tetapi orang yang hanya memiliki pengetahuan umum tadi tidak mengetahuinya. Ia menjadikan ketidaktahuannya itu sebagai alasan untuk bersikap sembrono. Tak salah bila dikatakan: “Orang yang paling sembrono memvonis kafir adalah orang yang paling sedikit ilmunya tentang perkara itu.” Karena ia memposisikan perkara vonis kafir ini seperti pelajaran matematika yang hitung-hitungannya sudah jelas dan pasti. Hanya berupa penambahan dan pengurangan saja!
Kita dapati orang yang berlandaskan pengetahuan umum tentang hukum “Vonis kafir bagi siapa yang membantu orang kafir memerangi umat Islam”, ia mengkafirkan siapa saja yang duduk bersama orang kafir, atau berdamai dengannya. Juga mengkafirkan siapa yang dipuji oleh orang kafir, atau memuji orang kafir. Termasuk juga siapa yang meminta tolong atau bantuan kepada orang yang ia vonis kafir.
Kita dapati juga orang yang mengetahui secara umum kaidah “Siapa yang tidak mengkafirkan orang musyrik maka ia kafir,“ ia mengkafirkan siapa saja yang membedakan antara perbuatan kufur dan pelakunya dalam perkara tauhid. Yaitu orang yang menerima alasan ketidaktahuan (jahil) dan syubat yang menyebabkan sebagian orang yang jatuh ke dalam perbuatan syirik. Mengkafirkan orang yang membedakan antara perbuatan kufur dan pelaku kufur. Meskipun mereka termasuk ulama besar, tetap dikafirkan oleh pemegang kaidah umum tersebut, karena dianggap tidak mengkafirkan orang-orang musyrik.
Kita pun melihat orang yang mendengar secara umum pendapat bahwa “Siapa yang membuat hukum selain Allah maka ia kafir.” Kemudian atas dasar itu ia mengkafirkan siapa saja yang memuji sistem demokrasi, sekalipun orang tadi telah bersumpah bahwa hanya ingin hasil keputusan musyawarah yang tidak melampaui hukum syariat Islam.
Banyak lagi contoh lain yang merupakan akibat sikap sembrono dalam masalah ini, disebabkan wawasan yang sangat lemah dalam ilmu syariat. Atau bisa jadi mereka merasa cukup dengan wawasan global dan umum yang dipelajarinya dalam beberapa jam saja. Setelah itu, di hadapan publik ia mengkritik ulama besar dengan alasan mereka belum paham perkara tauhid. Atau ia merasa cukup dengan wawasan global tersebut, sehingga tidak lagi butuh bertanya kepada ulama, karena menganggap bahwa pertanyaan itu hanya bagi orang yang tidak tahu!
Ia sebenarnya tahu dan hafal kaidah umum bahwa paham Khawarij adalah paham yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa besar, sehingga ia berkata, “Aku berbeda dengan mereka.” Dia mengatakan tidak mengkafirkan pelaku zina, peminum arak dan pembunuh. Selain itu ia tidak berpendapat bahwa hukum asal manusia adalah kafir. Oleh karenanya ia berkata, “Pokok pemahaman saya sangat berbeda dengan pokok pemahaman Khawarij.”
Ia merasa tenang karena jauh dari tuduhan-tuduhan orang terhadapnya, berupa sikap fanatik yang mirip dengan Khawarij. Pada saat yang sama ia tidak sadar bahwa orang-orang Khawarij mengkafirkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu dan sahabat pendukungnya bukan karena sebab dosa besar. Mereka mengkafirkannya hanya karena Ali mengangkat seseorang sebagai hakim dalam perkara agama Allah. Padahal ini termasuk vonis kafir atas perbuatan yang bukan kufur.
Orang-orang Khawarij itu “mengeluarkan” orang lain dari agama Allah tanpa dasar syar’i. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ciri-ciri mereka bahwa mereka “membunuh orang-orang Islam.” (HR. Bukhari no. 7432 dan Muslim no. 1064). Tentu mereka tidak membunuhnya kecuali setelah memvonis kafir dengan perbuatan yang bukan termasuk kekufuran.
Hal ini persis dengan orang yang mengkafirkan umat Islam dan menghalalkan darahnya akibat ketidaktahuannya akan kaidah-kaidah syariat. Sehingga ia mengkafirkan seseorang hanya karena ia berkawan dengan seorang yang dikenal kafir, yang menunjukan bahwa ia setuju dan loyal kepadanya.
Ia juga mengkafirkan seorang Muslim yang bernegosiasi dengan orang kafir. Atau orang yang dicurigai memiliki hubungan dengan negara kafir tertentu, karena menunjukkan dukungan kepada orang kafir dalam memusuhi umat Islam. Atau ia juga memvonisnya sebagai orang yang menentang proyek Islam hanya karena orang tersebut menentang sebuah proyek tertentu. Ia juga memvonis kafir orang yang memuji sistem demokrasi atau duduk bersama orang yang melecehkan agama. Demikian juga vonis-vonis kafir semisalnya yang termasuk dalam sikap radikal yang ada pada pemahaman Khawarij.
Mereka “mengeluarkan” manusia dari agama Allah karena ketidaktahuan dan kezaliman berdasarkan kaidah dan hukum yang tidak ada dasar ilmunya dari Allah. Hal itu karena ia merasa cukup dengan kaidah-kaidah umum. Wajar saja jika ia terjatuh dalam jurang itu tanpa disadarinya. Lalu ia merasa heran terhadap orang yang menuduhnya berpaham Khawarij! Ia pantas heran, karena ia tidak tahu tentang perkara-perkara detail ini, yang menerangkan perkataannya yang keliru.
Oleh karena itu, tersebar kaidah-kaidah umum tentang pengkafiran di kalangan orang yang tidak tahu. Anda akan dengar ada yang menuduh murtad orang Islam disebabkan sikap menghalangi jalannya proyek Islam dan penegakan khilafah Islam, permusuhan terhadap negara Islam, berinteraksi dengan orang kafir yang menunjukkan ridha terhadapnya dan semisalnya. Yang mana, setiap penuntut ilmu tahu bahwa semua itu tidak termasuk dasar ditetapkannya hukum syariat, apalagi untuk memvonis kafir dan menghalalkan darah.
Itu semua adalah hukum umum. Bisa dikatakan bahwa jika ada sepuluh orang berkumpul untuk menafsirkannya, maka mereka akan berselisih hingga muncul sebelas penafsiran!
Bahkan ini semakin menyebar, sehingga kita lihat ada yang memvonis kafir seseorang karena ia menghadiri suatu pertemuan yang di dalamnya terdapat ucapan yang nyata sebagai kekufuran, sementara ia diam tidak berbicara.Karena orang yang diam sama seperti orang yang berbicara, maka vonis kafir bisa disebabkan oleh ucapan, perbuatan dan sikap diam!
Bahkan masalah ini semakin parah, sehingga kita lihat ada yang memvonis orang lain karena orang kafir harbi loyal kepadanya atau memujinya.Vonis kafir pun akhirnya berlaku tidak hanya disebabkan perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bersumber dari seseorang, tapi juga datang dari orang lain terhadapnya.
Semua ini disebabkan karena perkara vonis kafir dan penghalalan darah orang Islam ditangani oleh orang yang bukan ahlinya. Kemudian orang-orang bodoh yang hanya tahu segelintir kaidah-kaidah umum merusak hukum-hukum syariat, sementara mereka tidak memahami sedikitpun detilnya.
Di antara mereka ada yang menyangka bahwa ia telah komitmen terhadap pokok sunnah dan berjalan di atas kaidah-kaidah ulama. Alasannya hanya karena ia bertolak dari sebuah kaidah syariat, lalu menyelam dalam perkara detil dan cabang, tanpa ilmu dan dalil.
Kedua: Orang yang mengklaim tidak bermaksud menumpahkan darah atau mengkafirkan umat Islam, tetapi demi membela agama Allah dan memerangi orang-orang murtad, serta menghalangi kerja kaki tangan musuh yang ingin merealisasikan tujuannya.
Dengan demikian ia menganggap bahwa tuduhan bahwa ia haus darah dan mudah mengkafirkan orang lain itu adalah bentuk kezaliman. Karena yang dilakukannya itu hanya ingin berjihad di jalan Allah dan membela darah dan harta umat Islam.
Catatan: Niat seperti ini membuat ia membenarkan tindakannya, melihatnya bukan sebuah pelanggaran dalam perkara pokok. Tetap saja perkara pokok itu tidak berlaku. Karena niatnya baik, namun lalai dari perkara pokok syariat yang jelas.
Niat baik saja itu tidak dapat merubah perbuatan buruk menjadi baik. Betapa banyak orang berniat baik tapi tidak mendapatkan kebaikan. Bahkan orang-orang Khawarij yang dikecam dalam agama dan diperangi oleh Sahabat Nabi, mereka adalah ahli ibadah dan jihad serta memiliki kesungguhan dalam ketaatan. Namun, hal ini tidak menghalanginya dari celaan Nabi :“Mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang menembus targetnya.” (HR. Bukhari no. 4351 dan Muslim no. 1066).
Sebenarnya yang dinilai adalah kesesuaian perbuatan dengan syariat. Jika bertentangan dengan syariat, maka niatnya tidak berpengaruh dalam penetapan hukum atas pebuatannya. Dikhawatirkan niat baik ini dalam kondisi seperti ini akan menimbulkan sifat kagum pada diri sendiri, sehingga ketika dikatakan bahwa ia menyelisihi perkara pokok syariat, ia tidak terima. Maka perbuatannya itu termasuk mengikuti hawa nafsu yang menyebabkan seseorang tersesat tanpa ia sadari. “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Shad: 26).
Masalah “hawa nafsu” biasanya dikesampingkan ketika berbicara tentang sikap radikal. Sebab, radikalisme biasanya disebabkan karena agama, ibadah dan pengkultusan terhadap syariat. Maka seseorang tidak menyangka ada hawa nafsu yang mempengaruhinya, sebagaimana terjadi pada aliran-aliran lain yang meremehkan agama. Padahal, hakikatnya hawa nafsu bisa saja terdapat pada keduanya. Dengan hawa nafsu bisa menjadi radikal atau sebaliknya. Itulah sebabnya ulama menamakan kelompok Khawarij dengan ahlul ahwa‘ (pengikut hawa nafsu).
Hawa nafsu tidak hanya berarti seorang meninggalkan kewajiban syariat karena ia tidak menyenanginya.Hawa nafsu itu sangat banyak bentuknya, yang bisa saja tidak diketahui banyak orang. Hawa nafsu mana yang lebih nampak dari kondisi orang yang terus larut dalam berbuat zalim, tidak berhenti ketika dinasehati, tidak memperdulikan ulama dalam perkara syariat, lalu menodai kehormatan ulama dan pejuang di jalan Allah dan menuduh mereka telah kafir, khianat dan bobrok?
Pada saat yang sama ia memandang bahwa dirinya dan orang yang sama dengannya berada di pihak yang benar. Kemudian ia berbicara dalam permasalahan-permasalahan besar tanpa merasa perlu untuk perlahan-lahan dan mendengarkan nasihat, padahal itu bukan perkara mudah. Ini adalah ombak hawa nafsu yang membawa pelakunya tanpa ia sadari.
Ketiga: Terlalu percaya terhadap sebagian orang, aliran atau kelompok yang dianggapnya berada di atas kebenaran, sehingga ia menerima segala yang datang darinya tanpa seleksi.
Mengapa demikian, karena ia memandang bahwa mereka memiliki tingkat keagamaan yang tinggi, sehingga tidak mungkin melakukan kesalahan, apalagi melakukan perkara kriminal yang sadis. Hal ini menyebabkan dirinya tetap diam bergeming meski dikritik. Karena ia memandang bahwa si fulan atau kelompok fulan telah mengambil sikap itu dan dianggap lebih tahu, lebih bertakwa dan lebih baik. Tidak mungkin tindakannya menyelisihi perkara pokok itu.
Dengan demikian ia tetap meyakini perkara pokok itu secara teori, namun pada aplikasinya ia mengabaikannya, karena ia hanya mengikuti orang lain. Ini adalah bentuk taklid tercela yang tidak bisa ditolerir. Seharusnya ia mengukur semua pihak berdasarkan hukum syariat. Karena ketika orang yang terbunuh datang menuntutnya di hadapan Allah, maka tidak akan berguna lagi alasan bahwa si fulan mengatakan kepadanya bahwa darah orang itu telah halal atau atas dasar perintah pemimpin untuk membunuhnya.
Itu adalah taklid buta, persis sama dengan taklidnya orang-orang kafir ketika menolak apa yang dibawa oleh para Rasul: “Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka’.“ (QS. Az-Zukhruf: 23).
Keempat: Dampak perselisihan dan perseteruan yang terjadi antar kelompok-kelompok.
Padahal semestinya, perselisihan dikembalikan kepada Al-Qur’an dan hukum syariat yang menjadi penengah antara orang-orang yang berselisih. Supaya perkara pokok dapat mengontrol segala tindakan dan menilai penerapan kaidah-kaidah umum.
Bagi sebagian orang, saat perkara ini menjadi bahan perselisihan antar kelompok, golongan dan pemikiran, maka sikapnya mengikuti sikap kelompoknya terhadap sesamanya dan sikap kelompok terhadap kelompok-kelompok lain. Sehingga tidak lagi mengingat nilai-nilai dan ketentuan syar’i yang menyentuh setiap person tanpa melihat kelompoknya. Ia hanya melihat setiap person berdasarkan sikap kelompok terhadap kelompok tersebut. Ini menjadikan pokok-pokok syariat diabaikan dan tidak diterapkan, karena dikalahkan oleh kebijakan kelompok.
Dengan sikap dingin, sebagian mereka berkata dan membenarkan peristiwa pembunuhan: “Mereka itu akan menjadi pengkhianat di masa akan datang!” Kalaupun memang mereka akan seperti itu, apakah dibenarkan dalam syariat membunuh orang yang engkau perkirakan akan kafir kemudian?
Sebagian lagi berkata bahwa kelompoknya memiliki proyek yang dimusuhi oleh orang timur dan barat, sehingga dia beralasan sedang membela proyek islami melawan orang-orang zalim. “Kalaupun demikian, apakah hal ini memberimu legitimasi syar’i untuk menghalalkan darah siapa saja yang diinginkan dan dianggap berbahaya bagimu?!”
Demikianlah, masalah ini berubah menjadi perseteruan kelompok.Tragisnya, kelompok inilah yang dianggap Islam. Siapa yang memeranginya, maka ia memerangi Islam dan halal darahnya. Siapa yang berada di pihak kelompok itu, maka dia adalah seorang mujahid yang beriman dan bertauhid. Otomatis siapa yang berada di luar kelompoknya, kalau tidak kafir murtad ia tidak jauh dari kemurtadan. Walaupun ia tidak mengatakan hal itu berdasarkan teori, tapi dalam aplikasinya ia menerapkan pemahaman ini.
Permusuhan kelompok membutakan seseorang dari kewajiban syariat sebelum ia menyandarkan orang lain kepada perkataan atau perbuatan kufur. Bisa jadi perbuatan atau perkataan itu tanpa diragukan adalah kekufuran, namun sebelum memvonis seseorang, seharusnya memiliki bukti kuat yang mendukung hal itu.Hanya saja permusuhan kelompok membutakan sekelompok orang, sehingga semua standar nyata untuk pembuktian menjadi hilang.
Ini berakibat sangat mudahnya mengkafirkan orang lain. Bahkan mengkafirkan kelompok atau aliran-aliran berdasarkan berita di sebuah koran Barat yang ia baca melalui jejaring sosial dan terjemahan yang tidak ia ketahui sumbernya! Ketika diminta untuk membuktikan secara ilmiah, dimana butuh obyektifitas dan metodologi yang teliti, ia mulai membeberkan kekeliruan yang dilakukan oleh aliran dan kelompok tersebut. Hal itu berarti, masalah kelompok dan perseteruan terhadap kelompok-kelompok merupakan pemicu utama untuk memvonis kafir.Sehingga membuatnya tidak mementingkan adanya pembuktian. Setelah, itu mencari bermacam alasan atas tindakannya.
Kelima: Mengambil beberapa kondisi yang dikecualikan syariat dari hukum asal. Hanya saja ia berlebihan menyikapinya, sampai-sampai mengabaikan hukum asal.
Misalnya ia yakin akan haramnya membunuh jiwa seorang muslim. Namun ia memandang ada beberapa kondisi yang dimaafkan oleh syariat ketika membunuh, disebabkan kekeliruan atau salah tafsir.Sebagaimana pada kasus Usamah Radhiyallahu ‘anhuketika membunuh seorang kafir yang mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah pada perang Hunain. Nabi pun mengingkari perbuatannya (HR. Bukhari no. 6872 dan Muslim no. 96), namun beliau tidak menjatuhkan hukum qisas baginya dan tidak menuntut diyat atau denda.
Demikian juga pada kasus Khalid bin Walid Radhiyallahu anhuketika keliru membunuh sekelompok orang dari Bani Judzaimah yang telah masuk Islam. Nabi tidak lebih dari sekedar mengucapkan:Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan Khalid.” (HR. Bukhari No. 4339).
Peristiwa-peristiwa seperti ini mendominasi pikirannya, sehingga dengan sangat mudah menilai setiap peristiwa pembunuhan sebagai bentuk kelalaian.Sama dengan tindakan Khalid yang tidak harus membayar diyat atau denda. Cukup baginya berlepas diri secara umum dari pembunuhan terhadap setiap muslim. Sampai-sampai sebagian mereka menilai peristiwa pembunuhan itu tidak mengharuskan untuk membayar diyat, denda atau garansi. Bahkan sama sekali tidak perlu diadakan proses peradilan.
Ketika ia mendengar berita kasus pembunuhan atau penyerangan, dengan spontan ia mengatakan bahwa itu adalah hal yang lumrah dalam medan perang. Hal itu pernah dialami oleh sahabat RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak perlu dibesar-besarkan.
Dengan demikian kita dihadapkan suatu problem, dimana perkara yang dikecualikan dari hukum asal lebih didahulukan, sehingga menggeser hukum asal itu sendiri. Bahkan hampir saja hukum asal dalam perkara jiwa menjadi terbalik, yaitu mendekriminalisasi pembunuhan dan meniadakan konsekuensi dari pembunuhan, berupa qisash, diyat atau denda, karena dianggap sebagaihuman error. Pada hakikatnya, ini berimbas pada penghapusan terhadap apa yang dibawa oleh syariat, berupa pengagungan terhadap jiwa dan hak-hak wajib yang terkait dengan hal itu.
Tentu saja ini bukan metode Nabi. Justru Rasulullah sebagai hakim yang melihat pada perkara-perkara cabang tertentu, memutuskan sebagai tindakan keliru dan mengecam pelakunya setelah terbukti sebagai pembunuhan tidak disengaja.
Hanya saja, hal ini tetap menjadi pengecualian, dan hukum asal harus tetap berlaku bahwa pembunuh berhak diqisash dan segala konsekuensi dari perbuatannya tetap harus berlaku. Ia harus membuktikan bahwa tindakannya itu dikarenakan tidak sengaja atau karena salah penafsiran. Kemudian dikaji, apakah hal itu mendapatkan dispensasi menurut syariat atau tidak, dengan tetap menjaga pentingnya melindungi jiwa dengan menjatuhkan hukuman kepada siapa saja yang meremehkan perkara itu.
Tujuannya agar perkara cabang ini tetap pada posisinya sebagai hal yang dikecualikan syariat. Tidak dibesar-besarkan lalu dengan mudah darah seorang muslim ditumpahkan, lalu sesaat setelah itu dengan mudahnya ia katakan, “Tidak ada diyat, denda dan qisas.” Meski ia berbicara tentang kehormatan jiwa, namun itu tidak berlaku karena pengecualian telah mengalahkannya.
Oleh karena itu, siapa membela diri, harta dan kehormatannya, lalu ia membunuh orang yang menyerangnya, maka ia tidak berdosa. Alasannya karena Nabi suatu ketika ditanya: “Bagaimana menurut Anda jika ada orang yang ingin merampas hartaku?” beliau bersabda, “Jangan kau berikan.“ Si penanya lanjut bertanya, “Bagaimana menurut Anda jika ia menyerangku?” Beliau bersabda, “Lawanlah ia.” Ia bertanya lagi, “Bagaimana jika ia membunuhku”? Beliau menjawab, “Kamu mati syahid.” Lalu ia bertanya lagi, “Bagaimana jika aku yang membunuhnya?” Beliau bersabda, “Ia masuk neraka.” (HR. Muslim no.140).
Inilah ringkasan lima sebab di atas:
Pengetahuan global terhadap kaidah-kaidah umum syariat tanpa memahami rincian dan batasan-batasannya.
Tidak sungguh-sungguh dalam mengadili tindakannya sesuai aturan syariat, dengan alasan memiliki niat dan maksud baik.
Taklid buta kepada orang lain yang menyebabkannya tidak menggunakan akal, ilmu dan agamanya.
Perseteruan golongan yang menyebabkan aturan syariat terabaikan akibat permusuhan sengit.
Menempatkan pengecualian bukan pada tempatnya.
Ini adalah penyebab utama yang menjadikan perkara pokok syariat terabaikan. Akibatnya tidak dapat menjaga sikap terhadap perkara-perkara cabang yang menyimpang serta tidak dapat mencegahnya, sehingga terjatuh pada perkara-perkara cabang dan aplikasi yang menyimpang.
Kalimat “Bertakwalah kepada Allah” akan menggetarkan hati seorang muslim. Peringatan akan kehormatan darah,hisab (perhitungan) dan hak kewajiban akan membuat bulu kuduk merinding bagi orang awam muslim, walaupun masih banyak kelalaiannya. Bisa jadi hal itu mendorongnya untuk sangat berhati-hati agar tidak menanggung akibatnya di hari kiamat. Dan mungkin saja ia lebih memilih untuk mengalah dan rela menjadi pihak yang terbunuh karena takut menjadi pembunuh.
Namun, nilai-nilai luhur ini disikapi dingin oleh orang radikal.Ia menganggap bahwa hal itu adalah sikap bodoh dan tidak memahami esensi tauhid, sehingga nasehat dan peringatan semakin menambah kesesatannya.
Hal ini semakin menguatkan apa yang diingatkan oleh kaum Salaf akan bahaya syubhat yang melebihi bahaya syahwat. Karena ia melihat dirinya berada di atas kebenaran, sehingga ia tidak akan berhenti dan mundur. Ia tidak menganggap bahwa tindakannya perlu ditinjau ulang.Lalu ia terus pada sikap radikalnya hingga ia membinasakan dirinya sendiri dan orang di sekitarnya.
Fenomena “mengabaikan pokok syariat” sangat nampak pada praktek radikal modern.Seorang yang berpaham radikal berbicara begitu indah tentang perkara pokok dan dasar.Selain itu mengaku berlepas diri dari teori kaidah umum kaum radikal. Namun dalam praktiknya,ia menyimpang jauh dari pokok-pokok syariat ini.
Ia menampakkan bentuk-bentuk penyimpangan yang menyingkap timpangnya perkara pokok dan cabang. Dan yang berlepas diri dari pokok pemahaman kaum radikal justru jatuh dalam praktek yang sama. Mungkin lebih parah, disadari, atau tidak ia sadari.
Sekilas tentang penulis
Fahd bin Shalih bin Abdul Aziz Al ‘Ajlan. Beliau adalah seorang doktor lulusan King Suud University.Karya-karyanya tersebar dalam bentuk audio, video, dan tulisan berupa risalah dan kitab. Diantara kitab beliau adalah Al-Intikhabat wa Ahkamuha fi Al-Fiqh Al-Islami (tesis magister di Jurusan Tsaqafah Islamiyah, Fakultas Tarbiyah, Universitas Raja Suud, Riyadh) dan Ma’rakah An-Nash yang diterbitkan oleh Pusat Riset dan Studi Al-Bayan). Selain itu beliau juga menjadi redaktur/kontributor majalah Al Bayan.
Disadur dari:
Kemudian ada yang berkomentar menolak perbuatan itu: “Bertakwalah kepada Allah, bagaimana bisa kamu membolehkannya membunuh dirinya sendiri, lalu mengorbankan saudara-saudaranya yang lain dengan perbuatan itu? Padahal Allah berfirman: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya serta mengutuknya, dan Allah menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa: 93).
Ada juga yang komentar: “Dimanakah kehormatan darah seorang muslim? Bagaimana bisa kamu mengkafirkan saudaramu sesama muslim dan menghalalkan darahnya? Dimanakah keharaman membunuh jiwa?”Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka”(QS. An-Nisa: 29-30).
DR. Fahd tidak melanjutkan dialog antara mereka. Beliaupun belum membaca tanggapan terhadap nasehat tersebut. Namun beliau yakin bahwa jawabannya akan seperti ini:
Tidak diragukan, haram hukumnya mengkafirkan orang lain tanpa alasan yang dibenarkan. Demikian juga haram menumpahkan darah yang terlarang. Meski barangsiapa yang telah terjatuh dalam kekufuran, maka ia pantas dikafirkan jika terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang. Ketika ia membunuh, pada dasarnya ia membunuh berdasar alasan syar’i.
Saya menghargai darah dan bertakwa kepada Allah dalam hal ini. Kalau bukan atas dasar takwa kepada Allah, saya tidak mungkin mendukung perbuatan seperti ini.” kata beliau.
Jadi, kita berhadapan dengan kondisi jiwa yang peringatan tidak lagi mempan baginya. Yaitu peringatan untuk bertakwa kepada Allah dan haramnya menumpahkan darah serta bahaya pengkafiran. Jika engkau menakut-nakutinya dengan sesuatu yang ia pandang tidak perlu ditakuti, ia menganggap dirinya telah bertakwa kepada Allah ketika melakukan kemungkaran tersebut.
Cara seperti itu tadi tidak akan berhasil. Berdialog dengan orang ini tentang perkara “menumpahkan darah” dan bahaya vonis kafir tidak ada gunanya.Mengapa?
Karena ia sepakat dengan Anda dalam pokok perkara tersebut. Mungkin ia mengakui sebagaimana yang Anda akui, tentang perlindungan terhadap “darah” dan pentingnya untuk teliti dalam masalah ini. Pernyataannya persis dengan pendapatmu tentang bahaya pemahaman Khawarij!
Tetapi pada saat yang sama, ia melakukan tindakan yang berseberangan dengan prinsip ini. Hal ini membuat kening berkerut.Baginya tidak masalah membunuh orang Islam atau mujahid di jalan Allah.Bahkan dia siap bunuh diri dalam rangka membunuh para mujahid itu.
Kita dihadapkan pada fenomena yang membingungkan. Orang itu tidak berselisih dengan Anda dalam hal menjunjung tinggi pokok syariat, berupa perlindungan terhadap darah seorang muslim dan pentingnya berhati-hati dalam masalah ini. Juga tidak berbeda dalam perlunya ketelitian dalam menjatuhkan vonis kafir, atau bahaya membunuh jiwa, dan tidak bolehnya memvonis kafir pelaku dosa besar, dan seterusnya.
Tetapi ada perkara cabang yang menggugurkan perkara pokok itu secara total, sehingga perkara pokok tadi tidak lagi berarti. Apalah arti Anda menghormati darah seorang muslim dan prinsip tidak memvonis kafir tanpa alasan benar, jika Anda memandang bolehnya seseorang bunuh diri untuk membunuh saudaranya para mujahid?!
Bagaimana memahami perpaduan yang membingungkan antara pengakuan dan keyakinan terhadap pokok syariat; di saat yang sama meyakini perkara cabang dan aplikasi yang merobek serta melanggar perkara pokok tadi?
Ada beberapa sebab pemicu munculnya fenomena yang kontradiktif ini:
Pertama: Wawasan yang umum tentang perkara vonis kafir, serta tidak memiliki pengetahuan rinci dan mendalam terhadap masalah vonis kafir.
Anda dapat melihat dengan jelas perkara vonis kafir ini. Ada kelompok pemuda yang sangat hati-hati berfatwa tentang perkara rumit dalam hal ibadah dan muamalah, atau perkara fikih yang lain. Hal itu karena ia tahu bahwa ada perbedaan pendapat yang membutuhkan penelitian secara seksama terhadap pendapat dan dalil-dalilnya. Juga karena sadar akan perlunya terlebih dahulu memiliki wawasan tentang ilmu alat berupa usul fikih dan bahasa Arab. Pada akhirnya,ia menyerahkan perkara ini kepada ahlinya dan selalu mengatakan dalam perkara itu: “Aku tidak tahu jawabannya”. Atau ia mengarahkan si penanya kepada ulama yang ia percaya atau menukil fatwa dari ulama yang ia ikuti.
Secara umum engkau dapati bahwa ia sangat berhati-hati terhadap perkara itu, dan sering berdalil dengan firman Allah:“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”(QS. Al-Isra’: 36).
Tapi ketika berbicara tentang vonis kafir terhadap kelompok-kelompok tertentu, atau masalah menghalalkan darah dan harta, atau aksi pembunuhan terhadap mereka, orang yang Anda dapati sangat hati-hati dalam berfatwa dalam perkara ibadah tadi, tiba-tiba menjadi mufti tersohor dan pengamat yang hebat. Dengan mudah dan gampang memvonis ribuan orang Islam dan mengatakan:“Mereka boleh dibunuh dan diperangi karena mereka sudah kafir dan murtad”!
Sangat aneh… Timpang antara sembrono dalam memvonis kafir dan kehati-hatian yang berlebihan dalam perkara ibadah!
Padahal secara teori, perkara darah, perang dan vonis kafir lebih rumit daripada perkara ibadah.Dan secara praktis, akibat yang timbul dari vonis tersebut lebih fatal, karena berakibat binasanya jiwa dan harta.Oleh karena itu sangat wajar jika kehati-hatian dalam perkara darah seharusnya lebih besar.
Yang membuat perkara ini dianggap mudah dan sepele, sebagian orang mengetahui kaidah-kaidah umum memandang bahwa masalah ini sudah sangat jelas tidak butuh penelitian dan kajian mendalam. Ia langsung menerapkan kaidah umum tersebut. Ketika ada orang yang memberi tanggapan, ia tidak melihat bahwa perkara ini perlu ditanggapi. Dia malah mencari kesalahan dari paham orang yang menanggapinya atau menyalahkan niatnya. Lebih dari itu, orang yang hati-hati ketika berfatwa dalam perkara darah dan vonis kafir, dengan mudah ia tuduh berpaham Murji’ah, bodoh atau berkhianat!
Misalnya ia hafal kaidah “Membantu orang kafir dalam memerangi umat Islam termasuk perusak keislaman”, atau “Berhukum dengan undang-undang yang bertentangan dengan syariat Islam adalah kekufuran.“ Atas dasar pengetahuan umum inilah ia membangun seluruh aturan peradilan dan fikih.
Padahal setiap penuntut ilmu pasti tahu, terdapat rincian tentang perusak-perusak keislaman yang membutuhkan kajian yang teliti dan mendalam. Dan ketika diterapkan dalam realita dan kepada personal (perseorangan) juga butuh kehati-hatian yang lebih, sebagaimana dipandang dalam tinjauan hukum fikih yang lebih membutuhkan keluasan ilmu.
Tetapi orang yang hanya memiliki pengetahuan umum tadi tidak mengetahuinya. Ia menjadikan ketidaktahuannya itu sebagai alasan untuk bersikap sembrono. Tak salah bila dikatakan: “Orang yang paling sembrono memvonis kafir adalah orang yang paling sedikit ilmunya tentang perkara itu.” Karena ia memposisikan perkara vonis kafir ini seperti pelajaran matematika yang hitung-hitungannya sudah jelas dan pasti. Hanya berupa penambahan dan pengurangan saja!
Kita dapati orang yang berlandaskan pengetahuan umum tentang hukum “Vonis kafir bagi siapa yang membantu orang kafir memerangi umat Islam”, ia mengkafirkan siapa saja yang duduk bersama orang kafir, atau berdamai dengannya. Juga mengkafirkan siapa yang dipuji oleh orang kafir, atau memuji orang kafir. Termasuk juga siapa yang meminta tolong atau bantuan kepada orang yang ia vonis kafir.
Kita dapati juga orang yang mengetahui secara umum kaidah “Siapa yang tidak mengkafirkan orang musyrik maka ia kafir,“ ia mengkafirkan siapa saja yang membedakan antara perbuatan kufur dan pelakunya dalam perkara tauhid. Yaitu orang yang menerima alasan ketidaktahuan (jahil) dan syubat yang menyebabkan sebagian orang yang jatuh ke dalam perbuatan syirik. Mengkafirkan orang yang membedakan antara perbuatan kufur dan pelaku kufur. Meskipun mereka termasuk ulama besar, tetap dikafirkan oleh pemegang kaidah umum tersebut, karena dianggap tidak mengkafirkan orang-orang musyrik.
Kita pun melihat orang yang mendengar secara umum pendapat bahwa “Siapa yang membuat hukum selain Allah maka ia kafir.” Kemudian atas dasar itu ia mengkafirkan siapa saja yang memuji sistem demokrasi, sekalipun orang tadi telah bersumpah bahwa hanya ingin hasil keputusan musyawarah yang tidak melampaui hukum syariat Islam.
Banyak lagi contoh lain yang merupakan akibat sikap sembrono dalam masalah ini, disebabkan wawasan yang sangat lemah dalam ilmu syariat. Atau bisa jadi mereka merasa cukup dengan wawasan global dan umum yang dipelajarinya dalam beberapa jam saja. Setelah itu, di hadapan publik ia mengkritik ulama besar dengan alasan mereka belum paham perkara tauhid. Atau ia merasa cukup dengan wawasan global tersebut, sehingga tidak lagi butuh bertanya kepada ulama, karena menganggap bahwa pertanyaan itu hanya bagi orang yang tidak tahu!
Ia sebenarnya tahu dan hafal kaidah umum bahwa paham Khawarij adalah paham yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa besar, sehingga ia berkata, “Aku berbeda dengan mereka.” Dia mengatakan tidak mengkafirkan pelaku zina, peminum arak dan pembunuh. Selain itu ia tidak berpendapat bahwa hukum asal manusia adalah kafir. Oleh karenanya ia berkata, “Pokok pemahaman saya sangat berbeda dengan pokok pemahaman Khawarij.”
Ia merasa tenang karena jauh dari tuduhan-tuduhan orang terhadapnya, berupa sikap fanatik yang mirip dengan Khawarij. Pada saat yang sama ia tidak sadar bahwa orang-orang Khawarij mengkafirkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu dan sahabat pendukungnya bukan karena sebab dosa besar. Mereka mengkafirkannya hanya karena Ali mengangkat seseorang sebagai hakim dalam perkara agama Allah. Padahal ini termasuk vonis kafir atas perbuatan yang bukan kufur.
Orang-orang Khawarij itu “mengeluarkan” orang lain dari agama Allah tanpa dasar syar’i. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ciri-ciri mereka bahwa mereka “membunuh orang-orang Islam.” (HR. Bukhari no. 7432 dan Muslim no. 1064). Tentu mereka tidak membunuhnya kecuali setelah memvonis kafir dengan perbuatan yang bukan termasuk kekufuran.
Hal ini persis dengan orang yang mengkafirkan umat Islam dan menghalalkan darahnya akibat ketidaktahuannya akan kaidah-kaidah syariat. Sehingga ia mengkafirkan seseorang hanya karena ia berkawan dengan seorang yang dikenal kafir, yang menunjukan bahwa ia setuju dan loyal kepadanya.
Ia juga mengkafirkan seorang Muslim yang bernegosiasi dengan orang kafir. Atau orang yang dicurigai memiliki hubungan dengan negara kafir tertentu, karena menunjukkan dukungan kepada orang kafir dalam memusuhi umat Islam. Atau ia juga memvonisnya sebagai orang yang menentang proyek Islam hanya karena orang tersebut menentang sebuah proyek tertentu. Ia juga memvonis kafir orang yang memuji sistem demokrasi atau duduk bersama orang yang melecehkan agama. Demikian juga vonis-vonis kafir semisalnya yang termasuk dalam sikap radikal yang ada pada pemahaman Khawarij.
Mereka “mengeluarkan” manusia dari agama Allah karena ketidaktahuan dan kezaliman berdasarkan kaidah dan hukum yang tidak ada dasar ilmunya dari Allah. Hal itu karena ia merasa cukup dengan kaidah-kaidah umum. Wajar saja jika ia terjatuh dalam jurang itu tanpa disadarinya. Lalu ia merasa heran terhadap orang yang menuduhnya berpaham Khawarij! Ia pantas heran, karena ia tidak tahu tentang perkara-perkara detail ini, yang menerangkan perkataannya yang keliru.
Oleh karena itu, tersebar kaidah-kaidah umum tentang pengkafiran di kalangan orang yang tidak tahu. Anda akan dengar ada yang menuduh murtad orang Islam disebabkan sikap menghalangi jalannya proyek Islam dan penegakan khilafah Islam, permusuhan terhadap negara Islam, berinteraksi dengan orang kafir yang menunjukkan ridha terhadapnya dan semisalnya. Yang mana, setiap penuntut ilmu tahu bahwa semua itu tidak termasuk dasar ditetapkannya hukum syariat, apalagi untuk memvonis kafir dan menghalalkan darah.
Itu semua adalah hukum umum. Bisa dikatakan bahwa jika ada sepuluh orang berkumpul untuk menafsirkannya, maka mereka akan berselisih hingga muncul sebelas penafsiran!
Bahkan ini semakin menyebar, sehingga kita lihat ada yang memvonis kafir seseorang karena ia menghadiri suatu pertemuan yang di dalamnya terdapat ucapan yang nyata sebagai kekufuran, sementara ia diam tidak berbicara.Karena orang yang diam sama seperti orang yang berbicara, maka vonis kafir bisa disebabkan oleh ucapan, perbuatan dan sikap diam!
Bahkan masalah ini semakin parah, sehingga kita lihat ada yang memvonis orang lain karena orang kafir harbi loyal kepadanya atau memujinya.Vonis kafir pun akhirnya berlaku tidak hanya disebabkan perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bersumber dari seseorang, tapi juga datang dari orang lain terhadapnya.
Semua ini disebabkan karena perkara vonis kafir dan penghalalan darah orang Islam ditangani oleh orang yang bukan ahlinya. Kemudian orang-orang bodoh yang hanya tahu segelintir kaidah-kaidah umum merusak hukum-hukum syariat, sementara mereka tidak memahami sedikitpun detilnya.
Di antara mereka ada yang menyangka bahwa ia telah komitmen terhadap pokok sunnah dan berjalan di atas kaidah-kaidah ulama. Alasannya hanya karena ia bertolak dari sebuah kaidah syariat, lalu menyelam dalam perkara detil dan cabang, tanpa ilmu dan dalil.
Kedua: Orang yang mengklaim tidak bermaksud menumpahkan darah atau mengkafirkan umat Islam, tetapi demi membela agama Allah dan memerangi orang-orang murtad, serta menghalangi kerja kaki tangan musuh yang ingin merealisasikan tujuannya.
Dengan demikian ia menganggap bahwa tuduhan bahwa ia haus darah dan mudah mengkafirkan orang lain itu adalah bentuk kezaliman. Karena yang dilakukannya itu hanya ingin berjihad di jalan Allah dan membela darah dan harta umat Islam.
Catatan: Niat seperti ini membuat ia membenarkan tindakannya, melihatnya bukan sebuah pelanggaran dalam perkara pokok. Tetap saja perkara pokok itu tidak berlaku. Karena niatnya baik, namun lalai dari perkara pokok syariat yang jelas.
Niat baik saja itu tidak dapat merubah perbuatan buruk menjadi baik. Betapa banyak orang berniat baik tapi tidak mendapatkan kebaikan. Bahkan orang-orang Khawarij yang dikecam dalam agama dan diperangi oleh Sahabat Nabi, mereka adalah ahli ibadah dan jihad serta memiliki kesungguhan dalam ketaatan. Namun, hal ini tidak menghalanginya dari celaan Nabi :“Mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang menembus targetnya.” (HR. Bukhari no. 4351 dan Muslim no. 1066).
Sebenarnya yang dinilai adalah kesesuaian perbuatan dengan syariat. Jika bertentangan dengan syariat, maka niatnya tidak berpengaruh dalam penetapan hukum atas pebuatannya. Dikhawatirkan niat baik ini dalam kondisi seperti ini akan menimbulkan sifat kagum pada diri sendiri, sehingga ketika dikatakan bahwa ia menyelisihi perkara pokok syariat, ia tidak terima. Maka perbuatannya itu termasuk mengikuti hawa nafsu yang menyebabkan seseorang tersesat tanpa ia sadari. “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Shad: 26).
Masalah “hawa nafsu” biasanya dikesampingkan ketika berbicara tentang sikap radikal. Sebab, radikalisme biasanya disebabkan karena agama, ibadah dan pengkultusan terhadap syariat. Maka seseorang tidak menyangka ada hawa nafsu yang mempengaruhinya, sebagaimana terjadi pada aliran-aliran lain yang meremehkan agama. Padahal, hakikatnya hawa nafsu bisa saja terdapat pada keduanya. Dengan hawa nafsu bisa menjadi radikal atau sebaliknya. Itulah sebabnya ulama menamakan kelompok Khawarij dengan ahlul ahwa‘ (pengikut hawa nafsu).
Hawa nafsu tidak hanya berarti seorang meninggalkan kewajiban syariat karena ia tidak menyenanginya.Hawa nafsu itu sangat banyak bentuknya, yang bisa saja tidak diketahui banyak orang. Hawa nafsu mana yang lebih nampak dari kondisi orang yang terus larut dalam berbuat zalim, tidak berhenti ketika dinasehati, tidak memperdulikan ulama dalam perkara syariat, lalu menodai kehormatan ulama dan pejuang di jalan Allah dan menuduh mereka telah kafir, khianat dan bobrok?
Pada saat yang sama ia memandang bahwa dirinya dan orang yang sama dengannya berada di pihak yang benar. Kemudian ia berbicara dalam permasalahan-permasalahan besar tanpa merasa perlu untuk perlahan-lahan dan mendengarkan nasihat, padahal itu bukan perkara mudah. Ini adalah ombak hawa nafsu yang membawa pelakunya tanpa ia sadari.
Ketiga: Terlalu percaya terhadap sebagian orang, aliran atau kelompok yang dianggapnya berada di atas kebenaran, sehingga ia menerima segala yang datang darinya tanpa seleksi.
Mengapa demikian, karena ia memandang bahwa mereka memiliki tingkat keagamaan yang tinggi, sehingga tidak mungkin melakukan kesalahan, apalagi melakukan perkara kriminal yang sadis. Hal ini menyebabkan dirinya tetap diam bergeming meski dikritik. Karena ia memandang bahwa si fulan atau kelompok fulan telah mengambil sikap itu dan dianggap lebih tahu, lebih bertakwa dan lebih baik. Tidak mungkin tindakannya menyelisihi perkara pokok itu.
Dengan demikian ia tetap meyakini perkara pokok itu secara teori, namun pada aplikasinya ia mengabaikannya, karena ia hanya mengikuti orang lain. Ini adalah bentuk taklid tercela yang tidak bisa ditolerir. Seharusnya ia mengukur semua pihak berdasarkan hukum syariat. Karena ketika orang yang terbunuh datang menuntutnya di hadapan Allah, maka tidak akan berguna lagi alasan bahwa si fulan mengatakan kepadanya bahwa darah orang itu telah halal atau atas dasar perintah pemimpin untuk membunuhnya.
Itu adalah taklid buta, persis sama dengan taklidnya orang-orang kafir ketika menolak apa yang dibawa oleh para Rasul: “Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka’.“ (QS. Az-Zukhruf: 23).
Keempat: Dampak perselisihan dan perseteruan yang terjadi antar kelompok-kelompok.
Padahal semestinya, perselisihan dikembalikan kepada Al-Qur’an dan hukum syariat yang menjadi penengah antara orang-orang yang berselisih. Supaya perkara pokok dapat mengontrol segala tindakan dan menilai penerapan kaidah-kaidah umum.
Bagi sebagian orang, saat perkara ini menjadi bahan perselisihan antar kelompok, golongan dan pemikiran, maka sikapnya mengikuti sikap kelompoknya terhadap sesamanya dan sikap kelompok terhadap kelompok-kelompok lain. Sehingga tidak lagi mengingat nilai-nilai dan ketentuan syar’i yang menyentuh setiap person tanpa melihat kelompoknya. Ia hanya melihat setiap person berdasarkan sikap kelompok terhadap kelompok tersebut. Ini menjadikan pokok-pokok syariat diabaikan dan tidak diterapkan, karena dikalahkan oleh kebijakan kelompok.
Dengan sikap dingin, sebagian mereka berkata dan membenarkan peristiwa pembunuhan: “Mereka itu akan menjadi pengkhianat di masa akan datang!” Kalaupun memang mereka akan seperti itu, apakah dibenarkan dalam syariat membunuh orang yang engkau perkirakan akan kafir kemudian?
Sebagian lagi berkata bahwa kelompoknya memiliki proyek yang dimusuhi oleh orang timur dan barat, sehingga dia beralasan sedang membela proyek islami melawan orang-orang zalim. “Kalaupun demikian, apakah hal ini memberimu legitimasi syar’i untuk menghalalkan darah siapa saja yang diinginkan dan dianggap berbahaya bagimu?!”
Demikianlah, masalah ini berubah menjadi perseteruan kelompok.Tragisnya, kelompok inilah yang dianggap Islam. Siapa yang memeranginya, maka ia memerangi Islam dan halal darahnya. Siapa yang berada di pihak kelompok itu, maka dia adalah seorang mujahid yang beriman dan bertauhid. Otomatis siapa yang berada di luar kelompoknya, kalau tidak kafir murtad ia tidak jauh dari kemurtadan. Walaupun ia tidak mengatakan hal itu berdasarkan teori, tapi dalam aplikasinya ia menerapkan pemahaman ini.
Permusuhan kelompok membutakan seseorang dari kewajiban syariat sebelum ia menyandarkan orang lain kepada perkataan atau perbuatan kufur. Bisa jadi perbuatan atau perkataan itu tanpa diragukan adalah kekufuran, namun sebelum memvonis seseorang, seharusnya memiliki bukti kuat yang mendukung hal itu.Hanya saja permusuhan kelompok membutakan sekelompok orang, sehingga semua standar nyata untuk pembuktian menjadi hilang.
Ini berakibat sangat mudahnya mengkafirkan orang lain. Bahkan mengkafirkan kelompok atau aliran-aliran berdasarkan berita di sebuah koran Barat yang ia baca melalui jejaring sosial dan terjemahan yang tidak ia ketahui sumbernya! Ketika diminta untuk membuktikan secara ilmiah, dimana butuh obyektifitas dan metodologi yang teliti, ia mulai membeberkan kekeliruan yang dilakukan oleh aliran dan kelompok tersebut. Hal itu berarti, masalah kelompok dan perseteruan terhadap kelompok-kelompok merupakan pemicu utama untuk memvonis kafir.Sehingga membuatnya tidak mementingkan adanya pembuktian. Setelah, itu mencari bermacam alasan atas tindakannya.
Kelima: Mengambil beberapa kondisi yang dikecualikan syariat dari hukum asal. Hanya saja ia berlebihan menyikapinya, sampai-sampai mengabaikan hukum asal.
Misalnya ia yakin akan haramnya membunuh jiwa seorang muslim. Namun ia memandang ada beberapa kondisi yang dimaafkan oleh syariat ketika membunuh, disebabkan kekeliruan atau salah tafsir.Sebagaimana pada kasus Usamah Radhiyallahu ‘anhuketika membunuh seorang kafir yang mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah pada perang Hunain. Nabi pun mengingkari perbuatannya (HR. Bukhari no. 6872 dan Muslim no. 96), namun beliau tidak menjatuhkan hukum qisas baginya dan tidak menuntut diyat atau denda.
Demikian juga pada kasus Khalid bin Walid Radhiyallahu anhuketika keliru membunuh sekelompok orang dari Bani Judzaimah yang telah masuk Islam. Nabi tidak lebih dari sekedar mengucapkan:Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan Khalid.” (HR. Bukhari No. 4339).
Peristiwa-peristiwa seperti ini mendominasi pikirannya, sehingga dengan sangat mudah menilai setiap peristiwa pembunuhan sebagai bentuk kelalaian.Sama dengan tindakan Khalid yang tidak harus membayar diyat atau denda. Cukup baginya berlepas diri secara umum dari pembunuhan terhadap setiap muslim. Sampai-sampai sebagian mereka menilai peristiwa pembunuhan itu tidak mengharuskan untuk membayar diyat, denda atau garansi. Bahkan sama sekali tidak perlu diadakan proses peradilan.
Ketika ia mendengar berita kasus pembunuhan atau penyerangan, dengan spontan ia mengatakan bahwa itu adalah hal yang lumrah dalam medan perang. Hal itu pernah dialami oleh sahabat RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak perlu dibesar-besarkan.
Dengan demikian kita dihadapkan suatu problem, dimana perkara yang dikecualikan dari hukum asal lebih didahulukan, sehingga menggeser hukum asal itu sendiri. Bahkan hampir saja hukum asal dalam perkara jiwa menjadi terbalik, yaitu mendekriminalisasi pembunuhan dan meniadakan konsekuensi dari pembunuhan, berupa qisash, diyat atau denda, karena dianggap sebagaihuman error. Pada hakikatnya, ini berimbas pada penghapusan terhadap apa yang dibawa oleh syariat, berupa pengagungan terhadap jiwa dan hak-hak wajib yang terkait dengan hal itu.
Tentu saja ini bukan metode Nabi. Justru Rasulullah sebagai hakim yang melihat pada perkara-perkara cabang tertentu, memutuskan sebagai tindakan keliru dan mengecam pelakunya setelah terbukti sebagai pembunuhan tidak disengaja.
Hanya saja, hal ini tetap menjadi pengecualian, dan hukum asal harus tetap berlaku bahwa pembunuh berhak diqisash dan segala konsekuensi dari perbuatannya tetap harus berlaku. Ia harus membuktikan bahwa tindakannya itu dikarenakan tidak sengaja atau karena salah penafsiran. Kemudian dikaji, apakah hal itu mendapatkan dispensasi menurut syariat atau tidak, dengan tetap menjaga pentingnya melindungi jiwa dengan menjatuhkan hukuman kepada siapa saja yang meremehkan perkara itu.
Tujuannya agar perkara cabang ini tetap pada posisinya sebagai hal yang dikecualikan syariat. Tidak dibesar-besarkan lalu dengan mudah darah seorang muslim ditumpahkan, lalu sesaat setelah itu dengan mudahnya ia katakan, “Tidak ada diyat, denda dan qisas.” Meski ia berbicara tentang kehormatan jiwa, namun itu tidak berlaku karena pengecualian telah mengalahkannya.
Oleh karena itu, siapa membela diri, harta dan kehormatannya, lalu ia membunuh orang yang menyerangnya, maka ia tidak berdosa. Alasannya karena Nabi suatu ketika ditanya: “Bagaimana menurut Anda jika ada orang yang ingin merampas hartaku?” beliau bersabda, “Jangan kau berikan.“ Si penanya lanjut bertanya, “Bagaimana menurut Anda jika ia menyerangku?” Beliau bersabda, “Lawanlah ia.” Ia bertanya lagi, “Bagaimana jika ia membunuhku”? Beliau menjawab, “Kamu mati syahid.” Lalu ia bertanya lagi, “Bagaimana jika aku yang membunuhnya?” Beliau bersabda, “Ia masuk neraka.” (HR. Muslim no.140).
Inilah ringkasan lima sebab di atas:
Pengetahuan global terhadap kaidah-kaidah umum syariat tanpa memahami rincian dan batasan-batasannya.
Tidak sungguh-sungguh dalam mengadili tindakannya sesuai aturan syariat, dengan alasan memiliki niat dan maksud baik.
Taklid buta kepada orang lain yang menyebabkannya tidak menggunakan akal, ilmu dan agamanya.
Perseteruan golongan yang menyebabkan aturan syariat terabaikan akibat permusuhan sengit.
Menempatkan pengecualian bukan pada tempatnya.
Ini adalah penyebab utama yang menjadikan perkara pokok syariat terabaikan. Akibatnya tidak dapat menjaga sikap terhadap perkara-perkara cabang yang menyimpang serta tidak dapat mencegahnya, sehingga terjatuh pada perkara-perkara cabang dan aplikasi yang menyimpang.
Kalimat “Bertakwalah kepada Allah” akan menggetarkan hati seorang muslim. Peringatan akan kehormatan darah,hisab (perhitungan) dan hak kewajiban akan membuat bulu kuduk merinding bagi orang awam muslim, walaupun masih banyak kelalaiannya. Bisa jadi hal itu mendorongnya untuk sangat berhati-hati agar tidak menanggung akibatnya di hari kiamat. Dan mungkin saja ia lebih memilih untuk mengalah dan rela menjadi pihak yang terbunuh karena takut menjadi pembunuh.
Namun, nilai-nilai luhur ini disikapi dingin oleh orang radikal.Ia menganggap bahwa hal itu adalah sikap bodoh dan tidak memahami esensi tauhid, sehingga nasehat dan peringatan semakin menambah kesesatannya.
Hal ini semakin menguatkan apa yang diingatkan oleh kaum Salaf akan bahaya syubhat yang melebihi bahaya syahwat. Karena ia melihat dirinya berada di atas kebenaran, sehingga ia tidak akan berhenti dan mundur. Ia tidak menganggap bahwa tindakannya perlu ditinjau ulang.Lalu ia terus pada sikap radikalnya hingga ia membinasakan dirinya sendiri dan orang di sekitarnya.
Fenomena “mengabaikan pokok syariat” sangat nampak pada praktek radikal modern.Seorang yang berpaham radikal berbicara begitu indah tentang perkara pokok dan dasar.Selain itu mengaku berlepas diri dari teori kaidah umum kaum radikal. Namun dalam praktiknya,ia menyimpang jauh dari pokok-pokok syariat ini.
Ia menampakkan bentuk-bentuk penyimpangan yang menyingkap timpangnya perkara pokok dan cabang. Dan yang berlepas diri dari pokok pemahaman kaum radikal justru jatuh dalam praktek yang sama. Mungkin lebih parah, disadari, atau tidak ia sadari.
Sekilas tentang penulis
Fahd bin Shalih bin Abdul Aziz Al ‘Ajlan. Beliau adalah seorang doktor lulusan King Suud University.Karya-karyanya tersebar dalam bentuk audio, video, dan tulisan berupa risalah dan kitab. Diantara kitab beliau adalah Al-Intikhabat wa Ahkamuha fi Al-Fiqh Al-Islami (tesis magister di Jurusan Tsaqafah Islamiyah, Fakultas Tarbiyah, Universitas Raja Suud, Riyadh) dan Ma’rakah An-Nash yang diterbitkan oleh Pusat Riset dan Studi Al-Bayan). Selain itu beliau juga menjadi redaktur/kontributor majalah Al Bayan.
Disadur dari:
albayan.co.uk/id
kiblat.net
No comments:
Post a Comment