Al-quran adalah pedoman dan sumber dari segala ilmu dan
pengetahuan. Banyak manusia yang terhalang dari tujuannya dalam menuntut ilmu
karena meninggalkan ushul atau landasan pokoknya. Adapun landasan pokok dari
ilmu adalah al-Quran dan sunnah.
Sebagai seorang penuntut ilmu, kita dituntut untuk
memprioritaskan diri dalam menghafal al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam.
Al-Quran adalah pokok dari ilmu. Maka, ketika
menghafalnya maka al-quran bisa membantu kita dalam memahami hukum syari’at di
dalam al-quran dan sunnah Rasulullah.
Tentunya bukan hanya sekedar menghafal, tapi juga
memahami al-Quran dengan menelaah tafsirnya dan semua ilmu yang berkaitan dengan
al-Quran termasuk bahasa arab.
Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah mengatakan, “Yang paling penting
bagi seseorang dalam menuntut ilmu adalah mempelajari tafsir Kalamullaah karena
Kalamullaah seluruhnya adalah ilmu. Allah Ta’ala berfirman,
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan
Kami turunkan Al-Kitab (Al-Qur-an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu
sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri
(muslim).” [An-Nahl: 89]
Dahulu para
Shahabat tidak pernah melewati sepuluh ayat sampai mereka mempelajari apa yang
ada di dalamnya berupa ilmu dan amal sehingga mereka mempelajari Al-Qur-an,
ilmu, dan amal sekaligus.
Sesungguhnya
menghafalkan Al-Qur-an bukan merupakan kewajiban atas seorang penuntut ilmu,
tetapi hafalannya adalah kunci menuju jalan pemahaman. Hendaklah seorang
penuntut ilmu mengetahui bahwa menghafalkan Al-Qur-an dan mengamalkannya dapat
menambah ketinggian derajat.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَ يَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ.
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala mengangkat (derajat) beberapa kaum dengan Kitab (Al-Qur-an) dan
merendahkan yang lainnya dengan Al-Qur-an”. [Diriwayatkan oleh Muslim (no.
817), dari Sha-habat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu]
Sebelum kita bertekad untuk menghafalkan al-quran, maka
kita perlu berdoa kepada Allah dengan ikhlas agar diberi kemudahan dalam
menghafal al-Quran. Hendaknya menghafal dilakukan dengan ikhlas, semata-mata
karena Allah.
Selain itu juga dianjurkan membaca terjemah dari hafalan
dan tafsir ayat yang dihafal.
Selain itu, seorang penghafal al-Quran juga hendaknya
menjauhi maksiat dan menjaga makanan dari yang haram dan syubhat. Karena tidak
mungkin al-Quran ada di dalam hati yang kotor oleh noda maksiat.
Imam
adh-Dhahhak rahimahullaah mengatakan, “Tidaklah seseorang mempelajari Al-Qur-an
kemudian ia lupa, melainkan disebabkan dosa.” Beliau lalu membaca firman Allah,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan musibah
apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” [Asy-Syuura: 30]
Kemudian
beliau melanjutkan, “Musibah apakah yang lebih besar daripada melupakan
al-Qur-an?”
Bagi yang
sudah hafal beberapa juz Al-Qur-an atau yang sudah hafal 30 juz, hendaklah ia
selalu muraja’ah atau mengulang-ulang hafalannya dan menjaganya dengan baik karena Al-Qur-an lebih
cepat hilangnya daripada unta yang diikat.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَعَاهَدُوْا هَذَا الْقُرْآنَ، فَوَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُتَا مِنَ الْإِبِلِ فِيْ عُقُلِهَا
Bacalah
selalu Al-Qur’an ini. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya,
sungguh, Al-Qur-an itu lebih mudah lepas daripada seekor unta dalam ikatannya”[HR.
Bukhori dan Muslim dari sahabat Abu Musa al-Asy’ary]
No comments:
Post a Comment