Menuntut
ilmu itu memiliki beberapa penghalang yang menghalangi antara ilmu itu dengan
orang yang mencarinya. Di antara
penghalang tersebut adalah:
1. Niat yang
Rusak
Niat adalah
dasar dan rukun amal. Apabila niat itu salah dan rusak, maka amal yang
dilakukannya pun ikut salah dan rusak sebesar salah dan rusaknya niat.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّـمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
“Amal itu
tergantung niatnya, dan seseorang akan mendapatkan apa yang diniatkan. Maka
barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu karena
Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang hendak
diraihnya atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai
dengan apa yang ia niatkan.” [Hadits riwayat al-Bukhari, Muslim]
Imam Sufyan
ats-Tsauri (wafat th. 161 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidak ada sesuatu pun
yang lebih berat untuk aku obati daripada niatku.”
Al-Hasan
al-Bashri rahimahullaah menuturkan, “Siapa yang mencari ilmu karena mengharap
negeri akhirat, ia akan mendapatkannya. Dan siapa yang mencari ilmu karena
mengharap kehidupan dunia, maka kehidupan dunia itulah bagian dari ilmunya.”
Imam Malik
bin Dinar rahimahullaah mengatakan, ”Barangsiapa mencari ilmu bukan karena
Allah Ta’ala, maka ilmu itu akan menolaknya hingga ia dicari hanya karena
Allah.”
Baiknya niat
merupakan penolong yang paling besar bagi seorang penuntut ilmu dalam
memperoleh ilmu, sebagaimana dikatakan Abu ‘Abdillah ar-Rudzabari rahimahullaah,
“Ilmu tergantung amal, amal tergantung keikhlasan, dan keikhlasan mewariskan
pemahaman tentang Allah ‘Azza wa Jalla.”
Imam Ibrahim
an-Nakha’i rahimahullaah mengatakan, “Barangsiapa mencari sesuatu berupa ilmu
yang ia niatkan karena mengharap wajah Allah, maka Allah akan memberikan kecukupan
padanya.”
Oleh karena
itulah, hendaknya kita memperhatikan niat kita dalam menuntut ilmu. Jangan
sampai niat kita ternodai oleh niat yang salah seperti ingin mendapat
kehormatan dan gelar dari orang sekitar, ingin menang dalam berdebat, ingin memperoleh
keuntungan duniawi, ingin terkenal dan lain sebagainya.
2. Ingin
Terkenal dan Ingin Tampil
Apabila niat
seorang penuntut ilmu adalah agar terkenal, ingin dielu-elukan, ingin
dihormati, ingin dipuji, disanjung, dan yang diinginkannya adalah itu semua,
maka ia telah menempatkan dirinya pada posisi yang berbahaya.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا
نَعَايَا الْعَرَبِ، يَا نَعَايَا الْعَرَبِ (ثَلاَثًا)، أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ: اَلرِّيَاءُ، وَالشَّهْوَةُ الْـخَفِيَّةُ.
“Wahai
bangsa Arab, wahai bangsa Arab (tiga kali), sesuatu yang paling aku takutkan
menimpa kalian adalah riya’ dan syahwat yang tersembunyi.” [Hadits hasan: Diriwayatkan
oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir]
Imam Ibnul
Atsir rahimahullaah mengatakan, “Maksud syahwat yang tersembunyi dalam hadits
ini adalah keinginan agar manusia melihat amalnya.”
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللهُ بِهِ.
“Barangsiapa
memperdengarkan (menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya. Dan
barangsiapa beramal karena riya’, maka Allah akan membuka niatnya (di hadapan
manusia pada hari Kiamat).”[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan
Muslim dari Shahabat Jundub bin ‘Abdillah radhi-yallaahu ‘anhu]
Syahwat
merupakan musibah, kecuali bagi orang yang hatinya ingat kepada Allah Ta’ala. Para
salaf sangat takut jika pujian itu bisa menjerumuskan mereka kepada sikap riya’
dan sum’ah. Sehingga tidak sedikit diantara mereka yang berusaha menyembunyikan
amal-amal mereka.
Ada yang
mengoleskan minyak ke bibirnya untuk menyembunyikan amalan puasanya. Ada yang
beralasan sakit mata untuk menyembunyikan tangisan karena Allah. Bahkan ada
yang istrinya saja tidak tahu dan tidak sadar dengan amalan suaminya.
Mereka beramal
hanya untuk Allah, karena disanalah kenikmatan dalam beramal yang mereka
rasakan di dalam hatinya yang bersih dan bening sebening embun.
Ketika Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullaah mendengar bahwa namanya disebut-sebut, beliau
mengatakan, “Semoga ini bukan ujian bagiku.”
3. Lalai
Menghadiri Majelis Ilmu
Para ulama
Salaf mengatakan bahwa ilmu itu di-datangi, bukan mendatangi. Tetapi, sekarang
ilmu itu mendatangi kita dan tidak didatangi, kecuali beberapa saja.
Zaman sekarang
begitu mudah kita dalam menuntut ilmu. Ada banyak sarana dan prasarana yang
bisa kita gunakan untuk mencari ilmu. Ilmu melimpah ruah dan kita tinggal hanya
mengambilnya dari video, audio, buku-buku dan kitab yang dicetak setiap tahun,
ceramah langsung, file-file unduhan dan lain sebagainya. Pergi ke majlis ilmu
pun mudah kita lakukan dengan kendaraan yang kita miliki dan nyaman.
Belum lagi
tempat menuntut ilmu. Bertebarannya persantren, majlis ta’lim lengkap dengan
jadwal kajian yang mudah didapat, sarana ruangan yang serba mudah; baik dengan
adanya lampu terang benderang, kipas angina dan AC.
Kitab-kitab
dicetak dengan berbagai ukuran, variasi dan bentuk yang indah dan nyaman
dibaca.
Berbeda halnya
dengan zaman salafush shalih terdahulu. Mereka sangat sulit mendapatkan hal-hal
yang kita temukan pada saat sekarang ini.
Lalu
dimanakah orang-orang yang mau memanfaatkan nikmat Allah yang sangat besar ini
untuk mengkaji dan mempelajari ilmu syar’i?
4. Beralasan
dengan Banyaknya Kesibukan
Orang yang
menyia-nyiakan kesempatan mencari ilmu, maka kesibukannya membuat ia tidak
dapat menghadiri majelis ilmu. Ia menjadikannya sebagai bahan alasan yang
sengaja dibuat-buat sehingga ketidakhadirannya di majelis ilmu memiliki alasan
yang jelas.
Kesibukan bukan
menjadi alasan untuk tidak menghadiri majlis ilmu. Seakan-akan orang-orang yang
menghadiri kajian ilmu itu orang pengangguran yang tidak punya kerjaan.
Orang yang
dibuka mata hatinya akan bisa mengatur waktunya dan menggunakannya sebaik
mungkin. Selama ada kemauan dan azzam, maka Allah akan memberi keberkahan
dengan melapangkan waktu yang dia punya.
Oleh karena
itu, pandai-pandailah mengatur waktu yang Allah Ta’ala berikan kepada kita.
Berikanlah bagian untuk menuntut ilmu syar’i. Sisihkanlah satu atau dua hari
dalam seminggu untuk menghadiri majelis ilmu jika tidak mampu melakukannya
sesering mungkin. Jangan biarkan hari-hari kita penuh dengan kesibukan, namun
kosong dari menuntut ilmu dan berdzikir kepada Allah Ta’ala. Ingat, bahwa orang
yang tidak meghadiri majelis ilmu dan tidak mau menuntut ilmu syar’i, maka ia
akan merugi di dunia dan di akhirat.
5.
Menyia-nyiakan Kesempatan Belajar di Waktu Kecil
Banyak orang
yang menyesal di hari tua karena tidak menggunakan waktu mudanya untuk serius
mencari ilmu. Ia merasa iri ketika melihat anak-anak yang bersemangat datang ke
majlis ilmu dan fasih dalam membaca al-quran dan berbicara agama.
Akibatnya,
ketika ia berkeinginan menghafal dan menuntut ilmu di masa tuanya, banyak
kesibukan dan banyak tamu yangmengunjunginya siang dan malam. Karena itulah
al-Hasan al-Bashri rahimahullaah mengatakan, “Belajar hadits di waktu kecil
bagai mengukir di atas batu.”
Oleh karena
itu, sebelum kita disibukkan oleh orang lain, direpotkan berbagai urusan, dan
menyesal di waktu senja, maka manfaatkanlah masa muda untuk menuntut ilmu
syar’i. Ini bukan berarti orang yang sudah tua boleh berputus asa dalam
menuntut ilmu, namun seluruh umur yang kita miliki adalah kesempatan untuk
menuntut ilmu karena ia adalah ibadah. Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan
beribadahlah kepada Rabb-mu hingga datangnya keyakinan (kematian).” [Al-Hijr:
99]
Ketika
ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Sampai kapankah seseorang menuntut ilmu?” Beliau
pun menjawab, “Sampai meninggal dunia (mati).”
6. Bosan
dalam Menuntut Ilmu
Di antara
penghalang menuntut ilmu adalah merasa bosan. Banyak orang yang bosan dalam
menelaah, tapi dia tidak bosan dengan menyibukan diri membaca berita Koran dan
majalah, mendengarkan radio, menonton televisi dan sibuk dengan internet.
Oleh karena
itu, jangan sekali-kali kita berpaling atau bosan dalam menuntut ilmu.
Belajarlah sampai kita mendapatkan nikmatnya menuntut ilmu. Informasi yang
paling baik, benar dan akurat adalah infor-masi dari Al-Qur-an dan Sunnah yang
shahih.
7. Menilai
Baik Diri Sendiri
Maksudnya
adalah merasa bangga apabila dipuji dan merasa senang apabila mendengar orang
lain memujinya.
Memang
pujian manusia kepada Anda merupakan kabar gembira yang disegerakan Allah
Ta’ala bagi Anda. Diriwayatkan dari Abu Dzarr Jundub bin Junadah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Ditanyakan
kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Bagaimana pendapat Anda
tentang seseorang yang melakukan kebaikan, kemudian manusia memujinya karena
perbuatan tersebut?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ.
“Itu adalah
kabar gembira yang Allah segerakan bagi seorang mukmin.’( HR. Muslim)
Tetapi,
berhati-hatilah jika kita merasa gembira ketika dipuji dengan apa yang tidak
kita miliki.
وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا
“Dan mereka
suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan…” [Ali ‘Imran: 188]
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
“Maka
janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.”
[An-Najm: 32]
Begitu juga
ingatlah celaan Allah Ta’ala kepada Ahli Kitab,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ ۚ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
“Apakah kamu
tidak memperhatikan orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang menganggap dirinya
suci? Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki dan mereka tidak
dizalimi sedikit pun.” [An-Nisaa’: 49]
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ اَللهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ.
“Janganlah
menganggap diri kalian suci, Allah lebih mengetahui orang yang berbuat baik di
antara kalian.” [HR. Muslim]
Boleh saja
seseorang merasa dirinya baik dalam beberapa hal, sebagaimana telah kami
sebutkan tadi. Misalnya perkataan Nabi Yusuf ‘alaihis salaam,
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Dia (Yusuf)
berkata, ‘Jadikanlah aku bendaharawan (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang
yang pandai menjaga dan berpengetahuan.’” [Yusuf: 55]
Akan tetapi
pada umumnya merasa diri baik dan suka dipuji adalah diantara pintu masuk setan
kepada hamba-hamba-Nya. Karena itu, hendaknya kita berhati-hati agar tidak
menjadi orang yang haus akan pujian dan bangga dengan pujian tersebut. Hendaknya
kita menghindari pujian untuk menjaga kesucian hati.
Banyak orang
yang memuji tapi sebenarnya tidak tahu siapa diri kita. Andai Allah membuka aib
kita dan mereka tahu kekurangan kita, apakah mereka akan tetap memuji kita?
[disadur dengan perubahan dari muslim.or.id]
No comments:
Post a Comment