Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Tuesday, August 8, 2017

    7 Penghalang Dalam Menuntut Ilmu

    Menuntut ilmu itu memiliki beberapa penghalang yang menghalangi antara ilmu itu dengan orang yang mencarinya.  Di antara penghalang tersebut adalah:

    1. Niat yang Rusak

    Niat adalah dasar dan rukun amal. Apabila niat itu salah dan rusak, maka amal yang dilakukannya pun ikut salah dan rusak sebesar salah dan rusaknya niat.

    Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    إِنَّـمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

    “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang akan mendapatkan apa yang diniatkan. Maka barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai dengan apa yang ia niatkan.” [Hadits riwayat al-Bukhari, Muslim]

    Imam Sufyan ats-Tsauri (wafat th. 161 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat untuk aku obati daripada niatku.”

    Al-Hasan al-Bashri rahimahullaah menuturkan, “Siapa yang mencari ilmu karena mengharap negeri akhirat, ia akan mendapatkannya. Dan siapa yang mencari ilmu karena mengharap kehidupan dunia, maka kehidupan dunia itulah bagian dari ilmunya.”

    Imam Malik bin Dinar rahimahullaah mengatakan, ”Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah Ta’ala, maka ilmu itu akan menolaknya hingga ia dicari hanya karena Allah.”

    Baiknya niat merupakan penolong yang paling besar bagi seorang penuntut ilmu dalam memperoleh ilmu, sebagaimana dikatakan Abu ‘Abdillah ar-Rudzabari rahimahullaah, “Ilmu tergantung amal, amal tergantung keikhlasan, dan keikhlasan mewariskan pemahaman tentang Allah ‘Azza wa Jalla.”

    Imam Ibrahim an-Nakha’i rahimahullaah mengatakan, “Barangsiapa mencari sesuatu berupa ilmu yang ia niatkan karena mengharap wajah Allah, maka Allah akan memberikan kecukupan padanya.”

    Oleh karena itulah, hendaknya kita memperhatikan niat kita dalam menuntut ilmu. Jangan sampai niat kita ternodai oleh niat yang salah seperti ingin mendapat kehormatan dan gelar dari orang sekitar, ingin menang dalam berdebat, ingin memperoleh keuntungan duniawi, ingin terkenal dan lain sebagainya.

    2. Ingin Terkenal dan Ingin Tampil

    Apabila niat seorang penuntut ilmu adalah agar terkenal, ingin dielu-elukan, ingin dihormati, ingin dipuji, disanjung, dan yang diinginkannya adalah itu semua, maka ia telah menempatkan dirinya pada posisi yang berbahaya.

    Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    يَا نَعَايَا الْعَرَبِ، يَا نَعَايَا الْعَرَبِ (ثَلاَثًا)، أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ: اَلرِّيَاءُ، وَالشَّهْوَةُ الْـخَفِيَّةُ.

    “Wahai bangsa Arab, wahai bangsa Arab (tiga kali), sesuatu yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah riya’ dan syahwat yang tersembunyi.” [Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir]

    Imam Ibnul Atsir rahimahullaah mengatakan, “Maksud syahwat yang tersembunyi dalam hadits ini adalah keinginan agar manusia melihat amalnya.”

    Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللهُ بِهِ.

    “Barangsiapa memperdengarkan (menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya. Dan barangsiapa beramal karena riya’, maka Allah akan membuka niatnya (di hadapan manusia pada hari Kiamat).”[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Shahabat Jundub bin ‘Abdillah radhi-yallaahu ‘anhu]

    Syahwat merupakan musibah, kecuali bagi orang yang hatinya ingat kepada Allah Ta’ala. Para salaf sangat takut jika pujian itu bisa menjerumuskan mereka kepada sikap riya’ dan sum’ah. Sehingga tidak sedikit diantara mereka yang berusaha menyembunyikan amal-amal mereka.

    Ada yang mengoleskan minyak ke bibirnya untuk menyembunyikan amalan puasanya. Ada yang beralasan sakit mata untuk menyembunyikan tangisan karena Allah. Bahkan ada yang istrinya saja tidak tahu dan tidak sadar dengan amalan suaminya.

    Mereka beramal hanya untuk Allah, karena disanalah kenikmatan dalam beramal yang mereka rasakan di dalam hatinya yang bersih dan bening sebening embun.

    Ketika Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah mendengar bahwa namanya disebut-sebut, beliau mengatakan, “Semoga ini bukan ujian bagiku.”

    3. Lalai Menghadiri Majelis Ilmu

    Para ulama Salaf mengatakan bahwa ilmu itu di-datangi, bukan mendatangi. Tetapi, sekarang ilmu itu mendatangi kita dan tidak didatangi, kecuali beberapa saja.

    Zaman sekarang begitu mudah kita dalam menuntut ilmu. Ada banyak sarana dan prasarana yang bisa kita gunakan untuk mencari ilmu. Ilmu melimpah ruah dan kita tinggal hanya mengambilnya dari video, audio, buku-buku dan kitab yang dicetak setiap tahun, ceramah langsung, file-file unduhan dan lain sebagainya. Pergi ke majlis ilmu pun mudah kita lakukan dengan kendaraan yang kita miliki dan nyaman.

    Belum lagi tempat menuntut ilmu. Bertebarannya persantren, majlis ta’lim lengkap dengan jadwal kajian yang mudah didapat, sarana ruangan yang serba mudah; baik dengan adanya lampu terang benderang, kipas angina dan AC.

    Kitab-kitab dicetak dengan berbagai ukuran, variasi dan bentuk yang indah dan nyaman dibaca.

    Berbeda halnya dengan zaman salafush shalih terdahulu. Mereka sangat sulit mendapatkan hal-hal yang kita temukan pada saat sekarang ini.

    Lalu dimanakah orang-orang yang mau memanfaatkan nikmat Allah yang sangat besar ini untuk mengkaji dan mempelajari ilmu syar’i?

    4. Beralasan dengan Banyaknya Kesibukan

    Orang yang menyia-nyiakan kesempatan mencari ilmu, maka kesibukannya membuat ia tidak dapat menghadiri majelis ilmu. Ia menjadikannya sebagai bahan alasan yang sengaja dibuat-buat sehingga ketidakhadirannya di majelis ilmu memiliki alasan yang jelas.

    Kesibukan bukan menjadi alasan untuk tidak menghadiri majlis ilmu. Seakan-akan orang-orang yang menghadiri kajian ilmu itu orang pengangguran yang tidak punya kerjaan.
    Orang yang dibuka mata hatinya akan bisa mengatur waktunya dan menggunakannya sebaik mungkin. Selama ada kemauan dan azzam, maka Allah akan memberi keberkahan dengan melapangkan waktu yang dia punya.

    Oleh karena itu, pandai-pandailah mengatur waktu yang Allah Ta’ala berikan kepada kita. Berikanlah bagian untuk menuntut ilmu syar’i. Sisihkanlah satu atau dua hari dalam seminggu untuk menghadiri majelis ilmu jika tidak mampu melakukannya sesering mungkin. Jangan biarkan hari-hari kita penuh dengan kesibukan, namun kosong dari menuntut ilmu dan berdzikir kepada Allah Ta’ala. Ingat, bahwa orang yang tidak meghadiri majelis ilmu dan tidak mau menuntut ilmu syar’i, maka ia akan merugi di dunia dan di akhirat.

    5. Menyia-nyiakan Kesempatan Belajar di Waktu Kecil

    Banyak orang yang menyesal di hari tua karena tidak menggunakan waktu mudanya untuk serius mencari ilmu. Ia merasa iri ketika melihat anak-anak yang bersemangat datang ke majlis ilmu dan fasih dalam membaca al-quran dan berbicara agama.

    Akibatnya, ketika ia berkeinginan menghafal dan menuntut ilmu di masa tuanya, banyak kesibukan dan banyak tamu yangmengunjunginya siang dan malam. Karena itulah al-Hasan al-Bashri rahimahullaah mengatakan, “Belajar hadits di waktu kecil bagai mengukir di atas batu.”

    Oleh karena itu, sebelum kita disibukkan oleh orang lain, direpotkan berbagai urusan, dan menyesal di waktu senja, maka manfaatkanlah masa muda untuk menuntut ilmu syar’i. Ini bukan berarti orang yang sudah tua boleh berputus asa dalam menuntut ilmu, namun seluruh umur yang kita miliki adalah kesempatan untuk menuntut ilmu karena ia adalah ibadah. Allah Ta’ala berfirman,

    وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

    “Dan beribadahlah kepada Rabb-mu hingga datangnya keyakinan (kematian).” [Al-Hijr: 99]

    Ketika ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Sampai kapankah seseorang menuntut ilmu?” Beliau pun menjawab, “Sampai meninggal dunia (mati).”

    6. Bosan dalam Menuntut Ilmu

    Di antara penghalang menuntut ilmu adalah merasa bosan. Banyak orang yang bosan dalam menelaah, tapi dia tidak bosan dengan menyibukan diri membaca berita Koran dan majalah, mendengarkan radio, menonton televisi dan sibuk dengan internet.

    Oleh karena itu, jangan sekali-kali kita berpaling atau bosan dalam menuntut ilmu. Belajarlah sampai kita mendapatkan nikmatnya menuntut ilmu. Informasi yang paling baik, benar dan akurat adalah infor-masi dari Al-Qur-an dan Sunnah yang shahih.

    7. Menilai Baik Diri Sendiri

    Maksudnya adalah merasa bangga apabila dipuji dan merasa senang apabila mendengar orang lain memujinya.

    Memang pujian manusia kepada Anda merupakan kabar gembira yang disegerakan Allah Ta’ala bagi Anda. Diriwayatkan dari Abu Dzarr Jundub bin Junadah  radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Ditanyakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang yang melakukan kebaikan, kemudian manusia memujinya karena perbuatan tersebut?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

    تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ.

    “Itu adalah kabar gembira yang Allah segerakan bagi seorang mukmin.’( HR. Muslim)

    Tetapi, berhati-hatilah jika kita merasa gembira ketika dipuji dengan apa yang tidak kita miliki.

    وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا
    “Dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan…” [Ali ‘Imran: 188]

    فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
    “Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.” [An-Najm: 32]

    Begitu juga ingatlah celaan Allah Ta’ala kepada Ahli Kitab,

    أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ ۚ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
    “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang menganggap dirinya suci? Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.” [An-Nisaa’: 49]

    Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ اَللهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ.
    “Janganlah menganggap diri kalian suci, Allah lebih mengetahui orang yang berbuat baik di antara kalian.” [HR. Muslim]

    Boleh saja seseorang merasa dirinya baik dalam beberapa hal, sebagaimana telah kami sebutkan tadi. Misalnya perkataan Nabi Yusuf ‘alaihis salaam,

    قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
    “Dia (Yusuf) berkata, ‘Jadikanlah aku bendaharawan (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan.’” [Yusuf: 55]

    Akan tetapi pada umumnya merasa diri baik dan suka dipuji adalah diantara pintu masuk setan kepada hamba-hamba-Nya. Karena itu, hendaknya kita berhati-hati agar tidak menjadi orang yang haus akan pujian dan bangga dengan pujian tersebut. Hendaknya kita menghindari pujian untuk menjaga kesucian hati.

    Banyak orang yang memuji tapi sebenarnya tidak tahu siapa diri kita. Andai Allah membuka aib kita dan mereka tahu kekurangan kita, apakah mereka akan tetap memuji kita?

    [disadur dengan perubahan dari muslim.or.id]


    No comments:

    Post a Comment