Bagaimana hukumnya jika istri yang mencari nafkah dan suami
yang mengatur ekonominya. Terimakasih penjelasannya.
IBU ELIS, CIKAKAK SUKABUMI VIA SALAM FM
===
Seseorang yang memasuki gerbang rumah tangga otomatis
diikuti dengan hak dan kewajiban masing-masing. Di antara kewajiban seorang
suami adalah memberi nafkah lahir dan batin. Kewajiban sang suami juga menjadi
hak seorang istri.
Pada masa sekarang, wanita mendapat akses penuh dalam
pendidikan dan pekerjaan. Hasilnya istilah wanita karier sudah sangat akrab di
telinga kita. setelah menikah, hak seorang wanita dibatasi oleh hak lelaki yang
menjadi suaminya. Tuntutan bekerja tidak lagi wajib bagi seorang wanita.
Seorang laki-laki mengambil tanggung jawab itu selepas akad nikah terucap.
Namun, karena situasi dan kondisi, seperti PHK, pendidikan rendah,
atau bahkan faktor kemalasan, suami memilih tidak bekerja pada saat istri mapan
dalam mencari nafkah. Nah pertanyaannya, bolehkah peran suami-istri tersebut
ditukar?
Kewajiban suami dalam mencari nafkah tetap tidak berubah.
Allah Subhanahu wata'ala berfirman dalam
surah an-Nisaa’ ayat 34,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka.
Dalam ayat ini jelas disebutkan jika kewajiban memberi
nafkah ada di pundak laki-laki. Seorang suami harus berusaha sekuat
kemampuannya untuk memberi nafkah kepada istrinya. Meski kondisi sedang sulit,
kewajiban ini tidak lantas gugur dengan sendirinya. Bahkan, jika ia sengaja
tidak bekerja maka beberapa ulama menggolongkan perbuatannya masuk dosa besar.
Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Cukuplah seseorang itu dikatakan
berdosa jika menahan makan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR Muslim).
Di sisi lain baik seorang laki-laki itu bekerja atau tidak,
ia tetap pemimpin dari istrinya. Artinya meski memiliki penghasilan, seorang
wanita tidak boleh merendahkan atau menolak taat kepada suaminya. Sepanjang
perintah sang suami tidak dalam bentuk kemaksiatan.
Harta yang dihasilkan dari pekerjaan istri sepenuhnya milik
istri. Jika ia menggunakannya untuk menafkahi keluarga maka itu termasuk
sedekah dan kemuliaan.
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda yang
artinya, “Apabila seorang Muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia
mengharap pahala darinya maka itu bernilai sedekah.” (HR Bukhari)
Mengenai hukum wanita bekerja, Syekh Yusuf Qaradhawi
memandang hukumnya diperbolehkan. Bahkan, bisa menjadi sunah atau wajib jika
wanita tersebut membutuhkannya. Seperti dalam kondisi ia seorang janda,
sedangkan tidak ada anggota keluarganya yang mampu menanggung kebutuhan
ekonomi.
Selain itu, dalam sebuah keluarga, kadang diperlukan seorang
wanita membantu ekonomi suaminya yang masih kekurangan, menghidupi anak-anak
atau ayahnya yang telah tua renta. Seperti dalam cerita yang termaktub dalam
surah al-Qashash ayat 23 tentang putri-putri Nabi Syuaib yang menggembalakan
kambing-kambing ayahnya ketika bertemu Nabi Musa alaihi salam.
Juga kisah Asma’ binti Abu Bakar biasa membantu suaminya,
Zubair bin Awwam, mengurus kuda, menumbuk biji-bijian untuk dimasak, kadang ia
memanggulnya di atas kepala dari kebun yang jauh dari Madinah.
Meski diperbolehkan bekerja, ada beberapa syarat, menurut
Syekh Qaradhawi, yang wajib dipenuhi. Pertama, pekerjaan tersebut tidak
melanggar syariat, seperti pekerjaan yang mengharuskan ia berkhalwat dengan
laki-laki.
Kedua, seorang wanita mestilah menaati adab-adab ketika
keluar rumah jika pekerjaannya mengharuskan ia bepergian. Ia harus menahan
pandangan dan tidak menampakkan perhiasaan, sebagaimana yang dijelaskan di
dalam quran surat an-Nur ayat 31
Terakhir, ia tidak boleh mengabaikan tugas utamanya untuk
mengurus keluarga. Jangan sampai kesibukan bekerja menyebabkan suami dan
anak-anaknya telantar.
Selain itu, wanita yang bekerja mestilah memperhatikan
faktor fisik. Wanita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan berat maupun yang
berisiko. Hal ini bukan untuk menghalangi atau membatasi. Anjuran itu terkait
pula dengan tugas alamiah wanita, seperti melahirkan, menyusui, dan menjaga
keluarga.
Bidang pekerjaan wanita akan menjadi haram jika mengandung
tiga hal. Yakni, berduaan dengan laki-laki, terbukanya aurat, serta ada
persentuhan anggota badan dengan laki-laki dan wanita. Namun, hukum haram ini
tidak berlaku untuk mereka yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan.
No comments:
Post a Comment