Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Wednesday, May 8, 2019

    Istri Kerja Suami di Rumah, Bagaimana Hukumnya?


    Bagaimana hukumnya jika istri yang mencari nafkah dan suami yang mengatur ekonominya. Terimakasih penjelasannya.
    IBU ELIS, CIKAKAK SUKABUMI VIA SALAM FM
    ===

    Seseorang yang memasuki gerbang rumah tangga otomatis diikuti dengan hak dan kewajiban masing-masing. Di antara kewajiban seorang suami adalah memberi nafkah lahir dan batin. Kewajiban sang suami juga menjadi hak seorang istri.

    Pada masa sekarang, wanita mendapat akses penuh dalam pendidikan dan pekerjaan. Hasilnya istilah wanita karier sudah sangat akrab di telinga kita. setelah menikah, hak seorang wanita dibatasi oleh hak lelaki yang menjadi suaminya. Tuntutan bekerja tidak lagi wajib bagi seorang wanita. Seorang laki-laki mengambil tanggung jawab itu selepas akad nikah terucap.

    Namun, karena situasi dan kondisi, seperti PHK, pendidikan rendah, atau bahkan faktor kemalasan, suami memilih tidak bekerja pada saat istri mapan dalam mencari nafkah. Nah pertanyaannya, bolehkah peran suami-istri tersebut ditukar?

    Kewajiban suami dalam mencari nafkah tetap tidak berubah. Allah Subhanahu wata'ala  berfirman dalam surah an-Nisaa’ ayat 34,

    الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

    Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.

    Dalam ayat ini jelas disebutkan jika kewajiban memberi nafkah ada di pundak laki-laki. Seorang suami harus berusaha sekuat kemampuannya untuk memberi nafkah kepada istrinya. Meski kondisi sedang sulit, kewajiban ini tidak lantas gugur dengan sendirinya. Bahkan, jika ia sengaja tidak bekerja maka beberapa ulama menggolongkan perbuatannya masuk dosa besar.

    Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam  bersabda, “Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa jika menahan makan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR Muslim).

    Di sisi lain baik seorang laki-laki itu bekerja atau tidak, ia tetap pemimpin dari istrinya. Artinya meski memiliki penghasilan, seorang wanita tidak boleh merendahkan atau menolak taat kepada suaminya. Sepanjang perintah sang suami tidak dalam bentuk kemaksiatan.

    Harta yang dihasilkan dari pekerjaan istri sepenuhnya milik istri. Jika ia menggunakannya untuk menafkahi keluarga maka itu termasuk sedekah dan kemuliaan.

    Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Apabila seorang Muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharap pahala darinya maka itu bernilai sedekah.” (HR Bukhari)

    Mengenai hukum wanita bekerja, Syekh Yusuf Qaradhawi memandang hukumnya diperbolehkan. Bahkan, bisa menjadi sunah atau wajib jika wanita tersebut membutuhkannya. Seperti dalam kondisi ia seorang janda, sedangkan tidak ada anggota keluarganya yang mampu menanggung kebutuhan ekonomi.

    Selain itu, dalam sebuah keluarga, kadang diperlukan seorang wanita membantu ekonomi suaminya yang masih kekurangan, menghidupi anak-anak atau ayahnya yang telah tua renta. Seperti dalam cerita yang termaktub dalam surah al-Qashash ayat 23 tentang putri-putri Nabi Syuaib yang menggembalakan kambing-kambing ayahnya ketika bertemu Nabi Musa alaihi salam.

    Juga kisah Asma’ binti Abu Bakar biasa membantu suaminya, Zubair bin Awwam, mengurus kuda, menumbuk biji-bijian untuk dimasak, kadang ia memanggulnya di atas kepala dari kebun yang jauh dari Madinah.

    Meski diperbolehkan bekerja, ada beberapa syarat, menurut Syekh Qaradhawi, yang wajib dipenuhi. Pertama, pekerjaan tersebut tidak melanggar syariat, seperti pekerjaan yang mengharuskan ia berkhalwat dengan laki-laki.

    Kedua, seorang wanita mestilah menaati adab-adab ketika keluar rumah jika pekerjaannya mengharuskan ia bepergian. Ia harus menahan pandangan dan tidak menampakkan perhiasaan, sebagaimana yang dijelaskan di dalam quran surat an-Nur ayat 31

    Terakhir, ia tidak boleh mengabaikan tugas utamanya untuk mengurus keluarga. Jangan sampai kesibukan bekerja menyebabkan suami dan anak-anaknya telantar.

    Selain itu, wanita yang bekerja mestilah memperhatikan faktor fisik. Wanita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan berat maupun yang berisiko. Hal ini bukan untuk menghalangi atau membatasi. Anjuran itu terkait pula dengan tugas alamiah wanita, seperti melahirkan, menyusui, dan menjaga keluarga.

    Bidang pekerjaan wanita akan menjadi haram jika mengandung tiga hal. Yakni, berduaan dengan laki-laki, terbukanya aurat, serta ada persentuhan anggota badan dengan laki-laki dan wanita. Namun, hukum haram ini tidak berlaku untuk mereka yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan.

    No comments:

    Post a Comment