Ada orang yang mungkin bertanya, ‘Mengapa orang-orang
Palestina terjebak pada kenangan masa lalu mereka? Mengapa mereka memperingati
dan mengingat desa-desa yang tidak lagi tertulis di peta-peta? Mengapa
orang-orang Palestina mewariskan kepada anak-anak mereka kunci rumah yang telah
lama mereka tinggalkan? Konon, hampir setiap keluarga Palestina yang mengungsi
di jalur Gaza, yang terusir ketika peristiwa Nakba masih menyimpan kunci rumah
mereka selama empat generasi. Mereka juga menyimpan dokumen-dokumen kepemilikan
tanah yang berlaku di zaman Turki Utsmani. Kemudian timbul tanya, Kenapa orang
Palestina tidak bisa move on dan berusaha menatap masa depan?
Jawabannya adalah bahwa Nakba bukan hanya trauma sejarah
tetapi penderitaan akumulatif yang terus merusak mereka dengan identitas
Palestina yang mereka sandang, baik secara kolektif maupun individual. Nakba adalah luka berkelanjutan yang tidak
pernah sembuh. Peristiwa Nakba adalah penghinaan yang lukanya tak pernah sembuh.
Karena setiap luka itu hampir mengering, maka garam akan kembali dibalurkan ke
luka tersebut oleh penghancuran rumah, pembunuhan, dan pemenjaraan yang sampai
saat ini belum berhenti. Luka itu tak pernah sembuh karena Israel selalu
memperparahnya. Lagi dan lagi.
Kenangan tentang pristiwa Nakba tidak disimpan oleh kunci
yang bergerak dari tangan kakek ke tangan cucunya. Ingatannya terletak pada
identitas yang rusak dan citra diri yang direndahkan yang kemudian diwariskan
dari generasi ke generasi. Orang-orang Palestina mewarisi Nakba dari generasi
yang tertindas dan terbuang.
Barangkali kepikunan tak akan pernah bisa membuat mereka
melupakan semua kegetiran yang mereka alami. Sehingga peringatan Nakba
diperlukan untuk memahami masa kini dan untuk memulihkan cedera masa lalu.
Trauma kolektif membutuhkan penyembuhan kolektif melalui aksi dan narasi
sebagai efek dari kesamaan nasib dan persepsi. Sikap diam dan mencoba melupakan
masa lalu sama saja memperdalam luka dan menimbulkan malapetaka di masa depan.
karena masa depan bagi warga Palestina yang terusir dari tanah-tanah mereka
adalah kembali ke rumah. Inilah yang mendasari spirit Great March Return.
“Tetapi ketika orang Palestina mendekati perbatasan Gaza,
maka sama saja mereka seperti bunuh diri.” ini adalah satu statement lain yang
sering terlontar.
Kita tidak bisa memahami bagaimana kondisi orang-orang
Palestina. Alih-alih kita mengutuk kebrutalan Israel, kita malah menyalahkan
orang Palestina. Ini terkesan lucu.
Orang-orang Palestina ini hanya memprotes pencurian tanah
mereka atau pengepungan atau tembok pemisah apartheid antara muslim dan yahudi.
Kita tidak bisa menyamakannya dengan bunuh diri.
Ada perbedaan secara psikologis antara orang yang mencoba
bunuh diri karena masalah dan orang orang yang terbunuh karena memperjuangkan
hak-haknya. Walaupun kita melihatnya seakan-akan dia mengumpankan jiwanya untuk
dibunuh.
Orang yang bunuh diri itu terbenam dalam perasaan putus asa
dan pesimisme. Bunuh diri juga sikap egosentris karena seseorang sudah
kehilangan apa yang dimilikinya. Sebaliknya, orang yang mengorbankan diri -
bahkan di jalan menuju kematian - mungkin penuh harapan. Mereka optimis bahwa
mereka memiliki peluang dan masa depan. Bahkan menjadi jalan dan inspirasi
untuk meneruskan harapan, mewariskannya dari generasi ke generasi.
Sungguh aneh dan lucu ketika ada orang-orang yang menganggap
orang Palestina yang memperjuangkan hak-hak mereka sebagai teroris. Kita lihat
ada saudara muslim yang menganggap satu gerakan islam (baca: HAMAS) sebagai
teroris. Sebaliknya, ketika warga Palestina berdemonstrasi dengan cara-cara
tanpa kekerasan kemudian dibunuh oleh pasukan pendudukan, mereka menyebutnya
bunuh diri, Alih-alih menyebut Israel sebagai teroris. Persis seperti Avi
Dichter, Ketua Urusan Luar Negeri dan Pertahanan Israel yang menyebut
demonstran sebagai orang-orang idiot.
Pawai besar yang dimulai pada Hari Bumi dan berlanjut hingga
tanggal 14 Mei kemarin adalah respon atas pendirian Kedutaan Besar Amerika di
kota yang diduduki Yerusalem. Pawai Akbar tersebut sekaligus sebagai perayaan ulang
tahun ke-70 Nakbah. Jika Israel merayakannya sebagai Hari Berdiri Negara mereka,
maka Orang Palestina memperingatinya sebagai hari Nakba, hari bermulanya
musibah dan dampaknya masih ada hingga detik ini.
Pawai ini menandakan arti khusus tanah bagi orang-orang
Palestina. Sementara beberapa pemilik tanah mungkin menganggap tanah mereka
sebagai milik semata yang menghasilkan keuntungan ekonomi dan dapat
dieksploitasi untuk air, energi, dan makanan, orang Palestina merasa
sebaliknya. Sebagai orang tanpa lahan, orang Palestina memandang tanah sebagai
aspek jiwa mereka sendiri, mewakili identitas mereka yang terluka. Terlibat di
tanah mereka dengan emosi yang dalam, banyak orang Palestina siap mati untuk
membela tanah yang telah dirampas.
Tanah kisah hidup orang Palestina itu sendiri. Jika kita
belum pernah merasakan priode penjajahan, mungkin kita tak pernah bisa
merasakan dan memahaminya.
Sumber: MEMO / dengan sedikit perubahan
No comments:
Post a Comment