Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Sunday, September 17, 2017

    6 Bentuk Sikap Durhaka Orang Tua Terhadap Anak


    Mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan cerita tentang anak durhaka plus ancaman yang besar untuk anak yang durhaka terhadap orang tua. Tapi jarang kita menyadari bahwa ternyata bisa juga orang tua berbuat durhaka terhadap anak mereka.

    Mungkinkah orang tua berbuat durhaka kepada anak mereka? Ya, sangat mungkin. Tulisan ini bukan berarti meringankan perbuatan durhaka anak terhadap orang tua. Karena durhaka anak terhadap orang tua adalah dosa besar. Dan durhaka orang tua terhadap anak juga satu kenyataan yang patut untuk diketahui, sehingga para orang tua selamat dari ancaman adzab Allah subhanahu wata'ala.

    Durhaka berarti membangkang atau ingkar. Maka anak yang durhaka adalah anak yang membangkang terhadap orang tua. Adapun orang tua yang durhaka berarti orang tua yang ingkar terhadap hak-hak anaknya dan menelantarkan mereka.

    Apa sajakah bentuk durhaka orang tua terhadap anak? Berikut tren-islam merangkumnya untuk anda.

    1. Melakukan kekerasan verbal

    Kekerasan verbal adalah dengan mencaci dan memaki anak. Hal ini bisa menyebabkan si anak merasa minder karena kurang dihargai. Ia merasa hidupnya tidak berguna dan menyebabkan masalah. Orang tua yang mencela dan menghina anaknya menyebabkan anak menjadi seorang yang pemurung pada masa kecilnya. Ia tidak mau bergaul dan tumbuh menjadi anak yang pemalu.

    Menginjak remaja, biasanya si anak akan memberontak karena sikap orang tua yang selalu menekan. Dan jika anak suka membantah atau bersikap kasar, boleh jadi penyebabnya karena pola asuh kita yang salah selama dia kecil. Salahsatunya adalah dengan sering menghardiknya atau menghinanya.
    Salah satu hal yang sering terjadi adalah orang tua yang menghina anaknya. Bagaimana orang tua dikatakan menghina anak-anaknya? Yaitu ketika seorang ayah menilai kekurangan anaknya dan memaparkan setiap kebodohannya. Lebih jahat lagi jika itu dilakukan di hadapan teman-teman si anak. Termasuk dalam kategori ini adalah memberi nama kepada si anak dengan nama yang buruk.
    Seorang lelaki penah mendatangi Umar bin Khattab seraya mengadukan kedurhakaan anaknya. Umar kemudian memanggil putra orang tua itu dan menghardiknya atas kedurhakaannya. Tidak lama kemudan anak itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sang anak memiliki hak atas orang tuanya?”

    “Betul,” jawab Umar.

    “Apakah hak sang anak?”

    “Memilih calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarkannya Al-Qur’an,” jawab Umar.

    “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang engkau sebutkan. Adapun ibuku, ia adalah wanita berkulit hitam bekas hamba sahaya orang majusi; ia menamakanku Ju’lan (kumbang), dan tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an,” kata anak itu.

    Umar segera memandang orang tua itu dan berkata kepadanya, “Engkau datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”

    Rasulullah saw. sangat menekankan agar kita memberi nama yang baik kepada anak-anak kita. Abu Darda’ meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama ayah kalian, maka perbaikilah nama kalian.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab Adab, hadits nomor 4297).

    Karena itu Rasulullah saw. kerap mengganti nama seseorang yang bermakna jelek dengan nama baru yang baik. Atau, mengganti julukan-julukan yang buruk kepada seseorang dengan julukan yang baik dan bermakna positif. Misalnya, Harb (perang) menjadi Husain, Huznan (yang sedih) menjadi Sahlun (mudah), Bani Maghwiyah (yang tergelincir) menjadi Bani Rusyd (yang diberi petunjuk). Rasulullah saw. memanggil Aisyah dengan nama kecil Aisy untuk memberi kesan lembut dan sayang.

    Jadi, adalah sebuah bentuk kejahatan bila kita memberi dan memanggil anak kita dengan sebutan yang buruk lagi dan bermakna menghinakan dirinya.

    2. Melakukan kekerasan fisik

    Selain kekerasan verbal, biasanya ada orang tua yang gampang melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya. Baik dengan menampar, memukul atau mencubitnya. Banyak berita yang mengungkapkan tentang anak yang disiksa oleh orang tuanya.

    Duhai orang tua, anak adalah titipan. Apa yang akan engkau katakana dihadapan Allah kelak, ketika anak kita mengadukan kekerasan kita kepada-Nya?

    Adapun, diperbolehkan pukulan yang mendidik selama tidak menimbulkan bekas. Bahkan Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam sendiri menyuruh untuk memukul anak berusia 10 tahun yang belum melaksanakan shalat. Tentunya sebelum memukulnya harus dengan nasihat atau perintah terlebih dahulu. Jika dia masih tetap tidak mendengar, maka solusi terakhir adalah dengan memukulnya. Tentunya di anggota tubuh yang tidak berbahaya, misal memukul betisnya.

    3. Tidak memperhatikan pendidikan anak

    Dalam surat At-Tahrim ayat 6 Allah swt berfirman :
    “Wahai orang-orang mukmin, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari azab api neraka......”

    Sesuai ayat diatas, maka orang tua berkewajiban memberi pendidikan Islam dan menegakkan ajaran Islam terhadap anak-anaknya, seperti kewajiban sholat, membaca Al-Quran, mengajarkan akhlak dan perilaku yang baik, dan sebagainya. Semua bentuk pendidikan dan pengajaran yang dapat memelihara keluarganya dari melakukan hal-hal yang dapat menggiring mereka pada azab neraka.

    Ada syair Arab yang berbunyi, “Anak yatim itu bukanlah anak yang telah ditinggal orang tuanya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan hina. Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang tidak dapat dekat dengan ibunya yang selalu menghindar darinya, atau ayah yang selalu sibuk dan tidak ada waktu bagi anaknya.”

    Perhatian. Itulah kata kuncinya. Dan bentuk perhatian yang tertinggi orang tua kepada anaknya adalah memberikan pendidikan yang baik. Tidak memberikan pendidikan yang baik dan maksimal adalah bentuk kejahatan orang tua terhadap anak. Dan segala kejahatan pasti berbuah ancaman yang buruk bagi pelakunya.

    Perintah untuk mendidik anak adalah bentuk realisasi iman. Perintah ini diberikan secara umum kepada kepala rumah tangga tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan dan kelas sosial. Setiap ayah wajib memberikan pendidikan kepada anaknya tentang agamanya dan memberi keterampilan untuk bisa mandiri dalam menjalani hidupnya kelak. Jadi, berilah pendidikan yang bisa mengantarkan si anak hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.

    Adalah sebuah bentuk kejahatan terhadap anak jika ayah-ibu tenggelam dalam kesibukan, sehingga lupa mengajarkan anaknya cara shalat. Meskipun kesibukan itu adalah mencari rezeki yang digunakan untuk menafkahi anak-anaknya. Jika ayah-ibu berlaku seperti ini, keduanya telah melanggar perintah Allah di surat Thaha ayat 132. “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”

    Rasulullah saw. bersabda, “Ajarilah anak-anakmu shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila tidak melaksanakan shalat) pada usaia sepuluh tahun.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shalah, hadits nomor 372).

    Ketahuilah, tidak ada pemberian yang baik dari orang tua kepada anaknya, selain memberi pendidikan yang baik. Begitu hadits dari Ayyub bin Musa yang berasal dari ayahnya dan ayahnya mendapat dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Maa nahala waalidun waladan min nahlin afdhala min adabin hasanin, tak ada yang lebih utama yang diberikan orang tua kepada anaknya melebihi adab yang baik.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1875. Tirmidzi berkata, “Ini hadits mursal.”)

    Orang tua harus memberi contoh tauladan yang baik kepada anak. Jika orang tua menghendaki anak teguh menunaikan sholat, maka orang tua juga tak boleh melalaikan kewajiban sholat. Jika seorang ibu menginginkan putrinya menutup aurat, maka ia juga harus menutup auratnya dengan baik.

    4. Tidak memberikan kasih sayang dan perlindungan

    Rasulullah saw. sangat penyayang terhadap anak-anak, baik terhadap keturunan beliau sendiri ataupun anak orang lain. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. mencium Hasan bin Ali dan didekatnya ada Al-Aqra’ bin Hayis At-Tamimi sedang duduk. Ia kemudian berkata, “Aku memiliki sepuluh orang anak dan tidak pernah aku mencium seorang pun dari mereka.” Rasulullah saw. segera memandang kepadanya dan berkata, “Man laa yarham laa yurham, barangsiapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan dikasihi.” (HR. Bukhari di Kitab Adab, hadits nomor 5538).

    Bahkan dalam shalat pun Rasulullah saw. tidak melarang anak-anak dekat dengan beliau. Hal ini kita dapat dari cerita Abi Qatadah, “Suatu ketika Rasulullah saw. mendatangi kami bersama Umamah binti Abil Ash –anak Zainab, putri Rasulullah saw.—Beliau meletakkannya di atas bahunya. Beliau kemudian shalat dan ketika rukuk, Beliau meletakkannya dan saat bangkit dari sujud, Beliau mengangkat kembali.” (HR. Muslim dalam Kitab Masajid wa Mawadhi’ush Shalah, hadits nomor 840).

    Peristiwa itu bukan kejadian satu-satunya yang terekam dalam sejarah. Abdullah bin Syaddad juga meriwayatkan dari ayahnya bahwa, 

    “Ketika waktu datang shalat Isya, Rasulullah saw. datang sambil membawa Hasan dan Husain. Beliau kemudian maju (sebagai imam) dan meletakkan cucunya. Beliau kemudian takbir untuk shalat. Ketika sujud, Beliau pun memanjangkan sujudnya. Ayahku berkata, ‘Saya kemudian mengangkat kepalaku dan melihat anak kecil itu berada di atas punggung Rasulullah saw. yang sedang bersujud. Saya kemudian sujud kembali.’ Setelah selesai shalat, orang-orang pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, saat sedang sujud di antara dua sujudmu tadi, engkau melakukannya sangat lama, sehingga kami mengira telah terjadi sebuha peristiwa besar, atau telah turun wahyu kepadamu.’ Beliau kemudian berkata, ‘Semua yang engkau katakan itu tidak terjadi, tapi cucuku sedang bersenang-senang denganku, dan aku tidak suka menghentikannya sampai dia menyelesaikan keinginannya.” (HR. An-Nasai dalam Kitab At-Thathbiq, hadits nomor 1129).

    Begitulah Rasulullah saw. bersikap kepada anak-anak. Secara halus Beliau mengajarkan kepada kita untuk memperhatikan anak-anaknya. Beliau juga mencontohkan dalam praktik bagaimana bersikap kepada anak dengan penuh cinta, kasih, dan kelemahlembutan.

    Karena itu, setiap sikap yang bertolak belakang dengan apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., adalah bentuk kejahatan kepada anak-anak. Setidak ada ada empat jenis kejahatan yang kerap dilakukan orang tua terhadap anaknya.

    Selain itu, orang tua juga berkewajiban memenuhi hak anak-anaknya, seperti hak mendapatkan kasih sayang, perlindungan, nafkah yang layak, sandang, pangan, nama yang baik, juga jaminan kesehatan.

    5. Melebihkan seorang anak dari yang lain

    Memberi lebih kepada anak kesayangan dan mengabaikan anak yang lain adalah bentuk kejahatan orang tua kepada anaknya. Sikap ini adalah salah satu faktor pemicu putusnya hubungan silaturrahmi anak kepada orang tuanya dan pangkal dari permusuhan antar saudara.

    Nu’man bin Basyir bercerita, “Ayahku menginfakkan sebagian hartanya untukku. Ibuku –’Amrah binti Rawahah—kemudian berkata, ‘Saya tidak suka engkau melakukan hal itu sehinggi menemui Rasulullah.’ Ayahku kemudian berangkat menemui Rasulullah saw. sebagai saksi atas sedekah yang diberikan kepadaku. Rasulullah saw. berkata kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan hal ini kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah saw. berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.’ Ayahku kemudian kembali dan menarik lagi sedekah itu.” (HR. Muslim dalam Kitab Al-Hibaat, hadits nomor 3055).

    Dan puncak kezaliman kepada anak adalah ketika orang tua tidak bisa memunculkan rasa cinta dan sayangnya kepada anak perempuan yang kurang cantik, kurang pandai, atau cacat salah satu anggota tubuhnya. Padahal, tidak cantik dan cacat bukanlah kemauan si anak. Apalagi tidak pintar pun itu bukanlah dosa dan kejahatan. Justru setiap keterbatasan anak adalah pemacu bagi orang tua untuk lebih mencintainya dan membantunya. Rasulullah saw. bersabda, “Rahimallahu waalidan a’aana waladahu ‘ala birrihi, semoga Allah mengasihi orang tua yang membantu anaknya di atas kebaikan.” (HR. Ibnu Hibban)

    6. Mendoakan keburukan bagi si anak

    “Ada tiga doa yang dikabulkan: doa orang yang teraniaya, doa musafir, dan doa (keburukan) orang tua atas anaknya.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1828)

    Entah apa alasan yang membuat seseorang begitu membenci anaknya. Saking bencinya, seorang ibu bisa sepanjang hari lidahnya tidak kering mendoakan agar anaknya celaka, melaknat dan memaki anaknya. Sungguh, ibu itu adalah wanita yang paling bodoh. Setiap doanya yang buruk, setiap ucapan laknat yang meluncur dari lidahnya, dan setiap makian yang diucapkannya bisa terkabul lalu menjadi bentuk hukuman bagi dirinya atas semua amal lisannya yang tak terkendali.

    Coba simak kisah ini. Seseorang pernah mengadukan putranya kepada Abdullah bin Mubarak. Abdullah bertanya kepada orang itu, “Apakah engkau pernah berdoa (yang buruk) atasnya.” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah bin Mubarak berkata, “Engkau telah merusaknya.”

    Na’udzubillah! Semoga kita tidak melakukan kesalahan seperti yang dilakukan orang itu. Bayangkan, doa buruk bagi anak adalah bentuk kejahatan yang akan menambah rusak si anak yang sebelumnya sudah durhaka kepada orang tuanya.

    Hendaknya kita selalu mendoakan kebaikan untuk anak-anak kita. Karena mereka adalah investasi akhirat kita.

    Usamah bin Zaid ketika masih kecil punya kenangan manis dalam pangkuan Rasulullah saw. “Rasulullah saw. pernah mengambil dan mendudukkanku di atas pahanya, dan meletakkan Hasan di atas pahanya yang lain, kemudian memeluk kami berdua, dan berkata, ‘Ya Allah, kasihanilah keduanya, karena sesungguhnya aku mengasihi keduanya.'” (HR. Bukhari dalam Kitab Adab, hadits nomor 5544).

    ***
    Islam adalah agama yang adil. Di satu sisi, Islam menyuruh anak untuk berbuat baik kepada orang tua dan menggolongkan kedurhakaan anak pada orang tua sebagai dosa besar. Namun di sisi lain, Islam juga mewajibkan orang tua untuk memenuhi hak anak dan kewajiban mereka terhadap anak. Karena setiap orang akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak atas amanah yang dipercayakan kepadanya. Dan amanah terbesar bagi setiap orang tua, adalah sang anak.

    Diceritakan dalam sebuah hadis, tentang seorang anak yang kedua orang tuanya digiring menuju surga, sedangkan si anak digiring menuju neraka. Namun si anak mengajukan protes pada malaikat, dia mengatakan bahwa orang tuanya tidak pernah mengajarkannya hal-hal yang layak mengantarkannya ke surga. Atas protes sang anak, kedua orang tuanya pun menjadi tertunda langkahnya menuju surga.

    Orang tua yang “durhaka” mungkin tidak akan dihukum dengan dikutuk layaknya dalam cerita malin kundang, tetapi, ke”durhaka”an orang tua dalam bentuk pengingkaran hak dan kewajiban terhadap anak, boleh jadi akan menunda atau bahkan menghalangi langkah orang tua dari memasuki surgaNya.

     Wallahu’alam.

    ***
    Sumber Referensi: Majalah Ummi, Dakwatuna

    No comments:

    Post a Comment