Oleh : Dr. Adian Husaini
Sungguh unik negeri ini. Seorang menteri mengeluarkan Permen yang mengatur jam belajar 8 jam sehari di sekolah. Permendikbud No. 23/2017 itu memicu perdebatan seru. Isu sentralnya: baik mana, bersekolah 5 jam atau 8 jam sehari?
Kontroversi itu seharusnya tidak terjadi. Sebab bersekolah 5 atsu 8 jam sehari bergantung pada kondisi murid, guru, orangtua, dan kegiatan di sekolah.
Jika orangtuanya sibuk bekerja, sekolah sehari penuh yang islami menjadi pilihan yang baik. Tapi bagi orangtua yg mampu dan berkesempatan mendidik anaknya sendiri, maka rumah menjadi sekolah terbaik.
Jika orangtua tidak berkemampuan mendidik, pesantren bisa menjadi pilihan lebih baik. Jadi kenapa berdebat?
Perdebatan seputar jam sekolah tampaknya berakar dari kerancuan makna "sekolah" dan "pendidikan".
Paham "sekolahisme" begitu merajalela. Yakni, paham yang menyamakan sekolah dengan pendidikan. Bersekolah disamakan dengan berpendidikan. Tidak bersekolah dianggap tidak berpendidikan. Itulah sebabnya kita sering diminta "riwayat pendidikan", tetapi isinya "riwayat sekolah".
Nabi Muhammad SAW atau Buya Hamka tidak bersekolah. Tetapi apakah beliau tidak berpendidikan?
Uniknya ada Kementrian Pendidikan tetapi yang diurus hanya "sekolah". Jika ada murid yang tawuran di luar jam dan pagar sekolah, maka tindakan itu bukan jadi tanggung jawab sekolah. Perlukah namanya diganti menjadi "Kementrian Persekolahan"?
Negeri kita memang unik. Konstitusi UUD 1945 pasal 31 ayat (c) mengamanahkan: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang".
Uniknya, kurikulum sekolah tidak menjadikan iman, taqwa, dan akhlaq mulia sebagai intinya. Tidak ada ujian nasional untuk mengukurnya. Para murid bisa lulus SD tanpa ujian nasinal tentang iman, taqwa dan akhlaq. Mahasiswa yang sholatnya amburadul dan buta huruf al-Qur'an tetap bisa lukus sarjana.
Perintah konstitusi adalah tingkatkan akhlaq. Tetapi yang dikembangkan adalah pendidikan karakter. Apakah konsep akhlaq sama dengan karakter?
Konsep akhlaq punya teladan yang jelas: Nabi Muhammad SAW. Rujukannya al-Qur'an dan Sunnah. Tetapi konsep karakter, siapa suri teladannya? Apa rujukannya?
Semestinya proses penanaman iman, taqwa dan akhlaq adalah program utama. Kurikulum inti atau kurikulernya. Co-kurikulernya adalah program-program penguatan iman, taqwa dan akhlaq. Sedangkan ekstra-kurikulernya adalah bahasa inggris, sosiologi, bahasa sunda, ilmu kedokteran hewan, dan ilmu-ilmu fardhu kifayah atau ilmu mubah.
Inti pendidikan adalah penanaman nilai-nilai kebaikan atau nilai keadilan dalam diri seorang insan. Bukan sekedar pengajaran atau penambahan wawasan, tetapi lebih penting lagi, harus berdampak kepada kepada perubahan sikap dan perilaku. Tentu saja bersumber dari perilaku yang bersumber dari ilmu yang benar.
Dalam kitab ayyuhal walad, Imam al-Ghazali menekankan, *"Ilmu tanpa diamalkan itu gila, dan amal tanpa ilmu itu tiada nilainya."*
Karena itu yang diperlukan oleh bangsa kita saat ini adalah kurikulum taqwa *(kurtaq)*. Kurikulum yang mendidik siswa selama 24 jam. Bukan hanya 5 atau 8 jam sehari.
*Pembina Pesantren at-Taqwa, Depok Jawa Barat.*
No comments:
Post a Comment