Salah satu hal yang paling penting dalam menuntut ilmu
adalah memiliki adab. Salah satu adab seorang penuntut ilmu adalah adab
terhadap gurunya.
Adab terhadap guru pada zaman sekarang ini semakin
berkurang. Ada murid yang begitu mudah mendebat gurunya, mencela dan berkata
kasar kepada gurunya sendiri.
Murid yang kurang memiliki adab menganggap ilmu lebih
penting daripada adab. Padahal, ilmu tidak ada nilai apa-apanya jika adab tidak
ada di dalam dirinya.
Akhirnya, melekat pada diri mereka watak keras dan suka mendebat, bahkan tidak
santun dengan gurunya.
Apalagi jika
ia hanya menggali ilmu dari satu guru. Jika ada guru lain yang berbeda pendapat
dengan gurunya, bisa-bisa ia katakan sesat. Kenapa ada murid bisa bersikap
seperti itu? Itulah karena kurang dalam mempelajari adab.
Berkaitan dengan pentingnya adab dalam thalabul ilm, Imam Darul Hijrah, Imam Malik
rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,
تعلم
الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah
adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” Kenapa sampai para ulama mendahulukan
mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,
بالأدب
تفهم العلم
“Dengan
mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”
Syaikh Shalih
Al-‘Ushaimin juga berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit
perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”
Adab
pertama: Pelajarilah ilmu dari guru, jangan otodidak dengan membaca buku
sendiri.
Asalnya,
ilmu agama diperoleh dengan talaqqi langsung dengan guru atau bertatap muka langsung.
Meraih ilmu tersebut bisa dari seorang guru, lebih baik lagi jika dari berbagai guru yang
memang terpercaya ilmunya sehingga tidak kaku dalam satu pendapat saja.
Ada
faedah belajar dari guru secara langsung:
1. Lebih
meringkas jalan dalam meraih ilmu. Beda halnya jika ilmu diperoleh dari buku,
yang butuh penelaan yang lama. Kalau lewat guru, ia bisa meringkas perselisihan
ulama yang ada dan bisa mengambil pendapat yang lebih kuat.
2. Lebih cepat
memahami ilmu. Memang nyata, belajar dari guru lebih cepat memahami dibanding
dengan membaca buku. Karena dalam membaca bisa jadi ada hal-hal atau istilah
yang sulit dipahami. Ini akan sangat terbantu ketika belajar dengan guru.
3. Ada hubungan
antara murid dan guru, yaitu antara yang junior dalam mencari ilmu dan yang
telah banyak makan garam (alias: berpengalaman).
4. Belajar dari
guru juga bisa belajar akhlak dan adab darinya secara langsung.
Di antara
adab pada guru adalah menghormatinya. Di antara bentuk menghormatinya adalah
memanggilnya dengan panggilan yang santun. Misal yang jadi adat atau kebiasaan
di negeri kita, memanggil guru tersebut dengan sebutan Pak Guru atau Ustadz.
Panggilan ini adalah bentuk panggilan santun pada guru kita.
Hal di atas
adalah pengamalan dari hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا
“Tidak
termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita
dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi no. 1919.
Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Juga sebagai
penerapan dari ayat Al-Qur’an,
لَا
تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
“Janganlah
kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu
kepada sebahagian (yang lain).” (QS. An-Nur: 63).
Syaikh Bakr Abu Zaid dalam
Hilyah Thalib Al-‘Ilmi berkata, “Inilah yang ditunjukkan oleh Allah kepada yang
mengajarkan kebaikan pada manusia yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Imam Nawawi
rahimahullah menerangkan:
Disunnahkan
bagi anak, murid, atau seorang pemuda ketika menyebut ayahnya, guru dan tuannya
agar tidak dengan menyebut nama saja.
Syaikh Bakr
Abu Zaid dalam kitab Hilyah Thalib Al-‘Ilmi, “Jangan memanggil guru dengan nama
atau laqabnya saja. Seperti jika engkau berkata, “Wahai Syaikh Fulan.” Baiknya
panggillah dengan “Wahai Syaikhku atau Syaikhuna (Syaikh kami).”
Baiknya tidak
sebut namanya. Ini lebih beradab. Jangan pula memanggilnya dengan ‘kamu’ atau
‘anta’. Jangan pula memanggil guru tersebut dari kejauhan kecuali kalau darurat.”
Namun kalau
mengabarkan kalau gurunya berkata seperti ini dan seperti itu, maka boleh
menyebut namanya. Misal, guruku, Syaikh Shalih berkata demikian. Ketika itu
menyebut namanya karena bukan dalam keadaan memanggilnya namun cuma pengabaran
suatu berita saja. Lihat Syarh Hilyah Thalib Al-‘Ilmi, hlm. 82.
Semoga Allah
mengaruniakan kita dengan akhlak yang mulia dalam memuliakan guru-guru kita.
Semoga Allah juga selalu menjaga guru-guru kita, diberkahi umur dan ilmu
mereka.
[Disadur dengan perubahan dari Rumaysho.com]
No comments:
Post a Comment