Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Tuesday, August 8, 2017

    Adab Murid Terhadap Guru

    Salah satu hal yang paling penting dalam menuntut ilmu adalah memiliki adab. Salah satu adab seorang penuntut ilmu adalah adab terhadap gurunya.
    Adab terhadap guru pada zaman sekarang ini semakin berkurang. Ada murid yang begitu mudah mendebat gurunya, mencela dan berkata kasar kepada gurunya sendiri.

    Murid yang kurang memiliki adab menganggap ilmu lebih penting daripada adab. Padahal, ilmu tidak ada nilai apa-apanya jika adab tidak ada di dalam dirinya. Akhirnya, melekat pada diri mereka watak keras dan suka mendebat, bahkan tidak santun dengan gurunya.

    Apalagi jika ia hanya menggali ilmu dari satu guru. Jika ada guru lain yang berbeda pendapat dengan gurunya, bisa-bisa ia katakan sesat. Kenapa ada murid bisa bersikap seperti itu? Itulah karena kurang dalam mempelajari adab. 

    Berkaitan dengan pentingnya adab dalam thalabul ilm, Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,

    تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

    Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,

    بالأدب تفهم العلم

    Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” 
    Syaikh Shalih Al-‘Ushaimin juga berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”


    Adab pertama: Pelajarilah ilmu dari guru, jangan otodidak dengan membaca buku sendiri.

    Asalnya, ilmu agama diperoleh dengan talaqqi langsung dengan guru atau bertatap muka langsung. Meraih ilmu tersebut bisa dari seorang guru, lebih baik lagi jika dari berbagai guru yang memang terpercaya ilmunya sehingga tidak kaku dalam satu pendapat saja. 

    Ada faedah belajar dari guru secara langsung:

    1. Lebih meringkas jalan dalam meraih ilmu. Beda halnya jika ilmu diperoleh dari buku, yang butuh penelaan yang lama. Kalau lewat guru, ia bisa meringkas perselisihan ulama yang ada dan bisa mengambil pendapat yang lebih kuat.

    2. Lebih cepat memahami ilmu. Memang nyata, belajar dari guru lebih cepat memahami dibanding dengan membaca buku. Karena dalam membaca bisa jadi ada hal-hal atau istilah yang sulit dipahami. Ini akan sangat terbantu ketika belajar dengan guru.

    3. Ada hubungan antara murid dan guru, yaitu antara yang junior dalam mencari ilmu dan yang telah banyak makan garam (alias: berpengalaman).

    4. Belajar dari guru juga bisa belajar akhlak dan adab darinya secara langsung.

    Di antara adab pada guru adalah menghormatinya. Di antara bentuk menghormatinya adalah memanggilnya dengan panggilan yang santun. Misal yang jadi adat atau kebiasaan di negeri kita, memanggil guru tersebut dengan sebutan Pak Guru atau Ustadz. Panggilan ini adalah bentuk panggilan santun pada guru kita.

    Hal di atas adalah pengamalan dari hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا

    Tidak termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi no. 1919. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

    Juga sebagai penerapan dari ayat Al-Qur’an,

    لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا

    Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).” (QS. An-Nur: 63). 

    Syaikh Bakr Abu Zaid dalam Hilyah Thalib Al-‘Ilmi berkata, “Inilah yang ditunjukkan oleh Allah kepada yang mengajarkan kebaikan pada manusia yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

    Imam Nawawi rahimahullah menerangkan:

    Disunnahkan bagi anak, murid, atau seorang pemuda ketika menyebut ayahnya, guru dan tuannya agar tidak dengan menyebut nama saja.

    Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Hilyah Thalib Al-‘Ilmi, “Jangan memanggil guru dengan nama atau laqabnya saja. Seperti jika engkau berkata, “Wahai Syaikh Fulan.” Baiknya panggillah dengan “Wahai Syaikhku atau Syaikhuna (Syaikh kami).” 

    Baiknya tidak sebut namanya. Ini lebih beradab. Jangan pula memanggilnya dengan ‘kamu’ atau ‘anta’. Jangan pula memanggil guru tersebut dari  kejauhan kecuali kalau darurat.”

    Namun kalau mengabarkan kalau gurunya berkata seperti ini dan seperti itu, maka boleh menyebut namanya. Misal, guruku, Syaikh Shalih berkata demikian. Ketika itu menyebut namanya karena bukan dalam keadaan memanggilnya namun cuma pengabaran suatu berita saja. Lihat Syarh Hilyah Thalib Al-‘Ilmi, hlm. 82.

    Semoga Allah mengaruniakan kita dengan akhlak yang mulia dalam memuliakan guru-guru kita. Semoga Allah juga selalu menjaga guru-guru kita, diberkahi umur dan ilmu mereka.

    [Disadur dengan perubahan dari Rumaysho.com]

    No comments:

    Post a Comment