Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Wednesday, February 27, 2019

    Mimpi Buruk Seorang Ibu di Yaman


    Saya memulai hari saya dengan berpikir bahwa mungkin ini adalah hari terakhir saya, jadi saya mencoba untuk mengabaikan semua rintangan dan masalah kecil yang ada, saya menyapa semua orang seolah-olah ini adalah kali terakhir kita bertemu satu sama lain, karena setiap saat nama kita bisa saja masuk ke daftar catatan korban perang yang sedang berkecamuk.

    Saya tinggal di kota Hudeidah, pesisir barat Yaman sejak saya berusia enam tahun hingga sekarang, terhitung sudah 29 tahun saya tinggal di sini. Saya memiliki banyak kenangan di sini, tentang keluarga saya, laut, masyarakat sekitar, kebaikan mereka, melati Arab dan rasa makanan laut yang lezat. Kini mereka semua telah hancur dilahap api perang yang terus membara.

    Saya melihat orang-orang berjalan dengan kesedihan yang menggelayut di pelupuk mata mereka, masing-masing dari mereka telah menelan kisah tragis tentang kematian orang yang dicintai, kehilangan mata pencaharian atau penyakit yang tidak mampu mereka tangani.

    Hidup menjadi sulit di Hudeidah sejak konflik dimulai, tetapi enam bulan terakhir adalah masa yang paling sulit bagi kami.

    Saat pertempuran semakin intensif, kelaparan, keputusasaan, dan kematian perlahan-lahan menyelimuti kota. Di satu-satunya rumah sakit pemerintah yang masih berfungsi, terdapat lebih dari 600 anak-anak yang kekurangan gizi sedang dirawat.

    Harga obat meningkat dua kali lipat. Pasien-pasien kanker, gagal ginjal dan penyakit-penyakit kronis tetap berjuang untuk mendapatkan perawatan, meski mereka tahu mereka dapat kehilangan nyawa mereka kapan saja saat obat-obatan yang mereka butuhkan terlambat datang, seperti yang sering terjadi di sini.

    Jaringan internet mulai terputus, pada awalnya selama beberapa hari, kemudian selama berminggu-minggu. Di rumah, tidak ada yang bisa dilakukan, jadi kami lebih memilih untuk membaca buku dan menonton televisi.

    Namun saat listrik padam kami pun tidak bisa melakukannya lagi. Pada awalnya, kami menganggapnya enteng. Kami menyalakan beberapa lilin dan menikmati kehangatan cahaya yang berkelap-kelip. Kami bahkan memainkan beberapa musik di ponsel kami, yang sering tenggelam suaranya oleh suara ledakan yang sangat keras.

    Ketika pengepungan mencekik kota, tidak ada yang bisa mengalihkan perhatiannya dari kenyataan perang, bahwa tidak ada lagi pantai, taman, restoran, dan internet. Kami tiba-tiba menjadi terpisah dari dunia. Rasanya seolah-olah kita hidup di planet yang berbeda, seolah-olah kita perlahan-lahan kehilangan hak kemanusiaan kita.

    Suatu hari, saya dan suami saya memutuskan untuk mencoba pergi ke laut. Kami pikir kami adalah satu-satunya orang bodoh di kota yang memiliki gagasan seperti itu, tetapi ternyata kami salah. Jalur kecil menuju pantai yang masih belum dihadang oleh barikade penuh sesak. Meski pun baku tembak sedang terjadi di dekat kawasan tersebut, tetapi kami semua tampaknya mengabaikannya. Orang-orang hanya duduk di sana dan memandangi laut. Tidak ada yang mau pergi.

    Pengeboman juga meningkat. Pecahan peluru yang berbahaya akan menembus ke jantung siapaun yang ada di sekitarnya, membunuh pria, wanita dan anak-anak tanpa pandang bulu setiap harinya.

    Suatu hari, putra saya Ammar yang berusia 11 tahun terlambat pulang dari sekolah. Saat itu saya hanya bisa berusaha untuk tetap tenang, namun saya tidak bisa berhenti memikirkan rentetan tembakan peluru atau ledakan yang saya dengar dan apa yang mungkin menimpa anak saya, ketika dia berjalan pulang ke rumah.

    Seketika, satu pikiran telah memenuhi ruang otakku, “Tidak boleh ada lagi anak-anak yang menjadi korban!” Saya telah memutuskan untuk tidak lagi memiliki anak dan menyeret mereka ke dunia yang brutal ini sehingga saya tidak perlu melihat mereka menjadi korban di altar perang yang tidak masuk akal ini.

    Pada bulan November, saya meninggalkan Yaman selama sekitar satu bulan. Di luar negeri, saya merasa kehilangan semangat. Saya tidak pernah merasa tertekan di Hudeidah, namun rasa itu muncul saat saya berada di luer negeri. Rasanya tidak adil bagi saya karena telah meninggalkan orang-orang yang saya sayangi untuk menghadapi perang sendiri. Saya takut jika saya akan kehilangan mereka.

    Saya berada di Yordania untuk pelatihan jurnalisme kemanusiaan. Saat berada di sana, saya dan sejumlah jurnalis Yaman lainnya mendengar tentang rencana genjatan senjata yang akan diambil oleh kedua belah pihak yang bertikai dan dapat melakukan perjalanan ke Swedia untuk meliput peristiwa tersebut.

    Menjadi satu-satunya jurnalis dari Hudeidah, saya mendapat banyak perhatian. Saya tidak dapat memisahkan pekerjaan saya sebagai jurnalis dari kehidupan saya di Hudeidah. Saya terus bertanya kepada semua pejabat dan wartawan tentang gencatan senjata di Hudeidah. Saya menginginkan jawaban yang jelas tetapi saya tidak pernah mendapatkannya.

    Saya berhasil menarik perhatian utusan PBB dan menanyainya: “Seberapa seriuskah pihak-pihak yang bertikai tersebut untuk mengakhiri permusuhan di kota?” Dia menjawab pertanyaanku pertanyaan: “Apakah kamu datang dari kota Hudeidah?” Saya mengangguk ya dan dia menjawab, “Kalau begitu, Anda pasti sangat cemas tentang hal itu.” Dia juga prihatin, katanya, tanpa memberi kejelasan apapun terhadap saya.

    Pada hari terakhir, terjadi banyak hal yang tak terduga. Dengan segala rintangan yang ada, akhirnya kesepakatan gencatan senjata tercapai. Mimpi yang saya pikir tidak akan pernah jadi kenyataan akhirnya bisa tercapai.

    Di kepala saya, saya membayangkan ibu dan saudara laki-laki saya kembali ke Hudeidah setelah lima bulan dipindahkan; suamiku kembali lagi bekerja di perusahaan farmasi; anak saya juga pergi ke sekolah dan bermain dengan teman-temannya tanpa ancaman bom; dan saya dapat memiliki anak lagi, anak yang tidak perlu merasakan atmosfir peperangan.

    Saya segera menelepon suami saya. Saya telah menghabiskan seluruh tabungan saya di Swedia untuk panggilan telepon dengannya dan putra saya karena tidak ada internet di Yaman. Saya sangat senang. Saya mengatakan kepadanya tentang kesepakatan itu. Kami berbicara dengan sangat antusias sampai saldo telepon habis.

    Setelah kami menutup telepon, dia mengirimi saya SMS yang bertuliskan, “Apakah kamu yakin mereka mengumumkan gencatan senjata, atau apakah mereka mengumumkan kelanjutan permusuhan?!!”

    Saya menolak semua saran dari keluarga dan teman-teman untuk mencari suaka di Eropa. Saya bersikeras untuk kembali ke Yaman. Saya menempuh perjalanan selama empat hari, karena jalan utama tetap ditutup.

    Ketika saya memasuki Hudeidah, saya menyadari bahwa saya telah melewatkan kehidupan saya yang menakutkan di sana.

    Meskipun gencatan senjata telah berlaku, namun bentrokan tidak berhenti pada saat saya kembali. Kami masih bisa mendengar pertempuran dan pemboman yang terjadi.

    Dua minggu setelah kepulangan saya, saya mendapati diri saya duduk di ruang tunggu sebuah lab medis, menunggu hasil tes. Saya sangat cemas. Saya bertanya pada diri sendiri apa yang akan terjadi jika hasilnya positif. Saya takut dan khawatir karena saya tidak tahu apa reaksi saya nantinya.

    Ketika resepsionis memanggil saya, saya mengambil lembar hasil tes dari tangannya dan menghindari melihatnya. Saya membutuhkan tempat yang tenang di mana saya dapat mengumpulkan kekuatan saya dan mempersiapkan diri untuk menerima kenyataan terburuk.

    Sebuah ledakan terdengar di kejauhan dan jantung saya berdetak kencang. Saya berpikir: Tidak ada lagi anak-anak yang harus menjadi korban!

    Resepsionis menjawab keraguan saya dengan tersenyum, “Kamu hamil,” katanya.

    Seketika saya langsung berlari. Saya masuk ke mobil dan pulang ke rumah dengan satu tangan di kemudi dan yang lain saya letakkan di rahim, seolah-olah untuk melindungi bayi saya yang belum lahir dari bom mematikan dalam perang yang saya tidak tahu kapan akan berakhir.

    Ditulis oleh Manal Qaed Alwesabi, seorang jurnalis kemanusiaan Yaman, sebagaimana dilansir Al-Jazeera. (Rafa/arrahmah.com)

    No comments:

    Post a Comment