Oleh: Muhammad Zulifan
Di tengah meluapnya antusiasme umat Islam dari berbagai daerah di Indonesia untuk menggelar Aksi Reuni Akbar 212 di Lapangan Monumen Nasioan (Monas) Jakarta, sebagian masyarakat bersikap antipati dan cenderung nyinyir sebagaimana ditunjukkan oleh jamaah Salafi (Salafi Mainstream). Bagi mereka Aksi 212 dan sejenisnya adalah bid’ah dan tidak punya landasan syar’i. Keluar untuk berdemo adalah tindakan khuruj (pembangkangan) kepada pemerintahan yang sah. Aneh! Di negara demokrasi terbesar ketiga dunia ini, kegiatan unjuk rasa damai (demonstrasi) masih dipertanyakan keabsahan hukumnya.
Sikap Apolitis
Secara umum, jamaah Salafi tidak mempunyai konsep sosial-politik apalagi metode mengishlah negara. Bagi mereka, wajib hukumnya untuk senantiasa taat pada ulil amri bagaimanapun keadaan sang pemimpin selama ia masih sholat dan apapun bentuk pemerintahannya. Corak ketaatan mutlak pada pemerintah tersebut terpengaruh oleh sejarah negara saudi sebagai basis ideologi Salafi yang membagi otoritas agama untuk Muhammad ibn Abdul Wahhab (ulama) dan otoritas politik untuk Raja (Bani Saud).
Salafi bercita-cita mengadopsi kehidupan generasi salaf yang hidup di jazirah Arab ribuan tahun lalu tanpa memisahkan mana perkara tsawabit (permanen) dan mana yang mutaghayyirat (dinamis) dalam konteks sosial-budaya masyarakat Indonesia. Mereka mempraktekkan secara letterlijk apa-apa yang ada di masa salaf hingga ke ranah sosial budaya dan politik sekalipun. Meskipun kenyataannya, cara merujuk generasi salaf tersebut didasarkan atas penafsiran para ulama kontemporer Arab Saudi seperti Syaikh Nasiruddin al-Albani, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Fauzan, dst. Yang jelas, seluruh ulama di dunia sudah barang tentu merujuk generasi Salaf dan tidak terbatas pada ulama-ulama Saudi tersebut.
Alhasil, pandangan sosial-politik kaum salafi justru pada akhirnya mengikuti kebijakan Raja dan para ulama dalam konteks masyarakat Arab Saudi yang sama sekali berbeda dengan kondisi sosial-politik Indonesia. Padahal di Arab Saudi, seluruh aspek kehidupan diatur negara hingga imam masjid pun ditunjuk dan digaji kerajaan. Tugas rakyat hanya satu; patuh pada perintah Raja.
Sementara di tanah air sudah ada Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai representasi jamaah dan ormas Islam di Indonesia dalam menentukan sikap kaum muslimin. Hal ini yang menjadikan kaum salafi menderita gagap sosial dimana satu sisi mereka tinggal di bumi Indonesia namun di sisi lain mereka lebih mendengar fatwa-fatwa ulama Saudi dan kebijakan Kerajaan yang berbeda konteks dalam penerapannya. Soal Pemilu misalnya, satu sisi mereka meyakini wajib taat ulil amri (pemerintah) meskipun dzalim sekalipun, namun saat MUI dan pemerintah mengarahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu mereka justru golput.
Termasuk soal aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang dibolehkan Pemerintah RI melalui Undang-Undang negara, kaum Salafi justru menghukumi haram karena masuk kategori khuruj (pembangkangan). Alhasil, mereka mencap khawarij muslim yang berunjuk rasa kepada penguasa meski MUI sendiri tidak melarangnya sepanjang dilakukan dengan tertib. Jika aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang esensinya adalah mengemukakan kritik atau pendapat disebut membangkang, maka bagaimana posisi lembaga resmi negara seperti DPR yang tiap hari mengkritik pemerintah? Apakah akan disebut sebagai khuruj yang dilembagakan atas peran mengkritik kebijakan pemerintahan? Tentu tidak.
Dalam prinsip ketatanegaraan RI, pemerintahan eksekutif yang sehat adalah pemerintahan yang terkontrol secara seimbang, baik melalui lembaga perwakilan (DPR dan DRPD) ataupun langsung (mengemukakan pendapat). Mereka yang melarang aksi unjuk rasa ataupun demonstrasi, pada intinya menghendaki pemerintahan diktator tanpa control sebagaimana terjadi kini terjadi di kawasan Teluk (khususnya Arab Saudi) . Di sinilah salah konteks kaum Salafi Indonesia.
Kesalahan Paradigma Salafi
Istilah salaf merujuk pada generasi Islam yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah SAW, tabi’in (muridnya shahabat) dan tabi’ut tabi’in (muridnya tabi’in). Dalam sebuah hadits Nabi menyatakan, “Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, No. 3650).
Sedangkan jamaah Salafi adalah sekelompok umat Islam (jamaah minal muslimin) yang bermula dari pemikiran seorang tokoh bernama Muhammad ibn Abdul Wahhab hingga pada awal kemunculannya mereka disebut sebagai gerakan Wahabi. Jamaah ini kemudian hari menisbatkan namanya pada generasi salaf menjadi Salafi.
Penisbatan nama Salaf menjadi nama jamaah (Salafi) tersebut di kemudian hari menjadi masalah serius karena para pengikutnya memaknai kata Salafi secara diametral dengan nama jamaah di luar mereka; kami penerus generasi Salaf sedang yang lain tidak. Berbeda dengan jamaah Muhammadiyah misalnya (secara terminologi bermakna pengikut Nabi Muhammad), nama tersebut tidak menjadikan mereka menganggap jamaah lain bukan pengikut Nabi Muhammad SAW. Bagaimanapun, penamaan Salafi hanyalah ijtihadiyah yang bisa benar di satu hal, bisa pula tidak sesuai di hal lain. Begitu pula jamaah-jamaah Islam lainnya.
Turunan dari kesalahan paradigma eksklusif tersebut kemudian memunculkan fabrikasi istilah-istilah yang mendeskreditkan kaum muslimin di luar mereka. Sebagaimana yang ramai baru-baru ini kata “dakwah sunnah”, “ustadz sunnah”, dan “Kajian Sunnah” yang diklaim sepihak oleh mereka. Padahal oleh generasi salaf, kata sunnah dipakai sebagai pedoman untuk menentuan mana yang benar atau menyimpang dalam masalah-masalah pokok agama (ushuluddin), bukan untuk menentukan benar salah dalam masalah furu’ (khilafiyah). Yang benar disebut ahlus sunnah, sedang yang menyimpang disebut ahlu bidah. Ahlu bid’ah yang dimaksud di sini adalah golongan yang menyimpang secara aqidah seperti khawarij, murjiah, mu’tazilah, dll. Terang saja hal ini menimbulkan kemarahan di kalangan kaum muslimin non salafi yang berbeda pemahaman dalam hal furu’ (perkara cabang) dengan mereka.
Paradigma selanjutnya yang keliru dari jamaah Salafi pada umumnya adalah menjadikan negara Arab Saudi sebagai rujukan dalam semua kebijakan jamaah termasuk urusan politik meski mereka tinggal di Indonesia. Bagaimanapun Arab Saudi adalah sebuah entitas negara yang punya kepentingan pragmatis bidang politik yang kadang bertentangan dengan prinsip generasi Salaf itu sendiri. Sebagai misal hubungan erat yang terjalin sekian lama dengan AS tidak bisa dilepaskan dengan kepentingan pragmatis kerajaan. Meskipun ada ayat yang melarang muslim menjadikan kaum kuffar sebagai auliya atau teman dekat (Q.S. Al-Maidah ayat 51). Pada Perang Teluk 1990 misalnya, Arab Saudi menghadapi Irak (Saddam Hussein) yang sama-sama Sunni. Tentu isu Syiah-Sunni tidak dipakai saat itu. Oleh Raja Fahd, Saddam Hussein dianggap akan mencaplok wilayah Saudi setelah sebelumnya berhasil mencaplok Kuwait. Maka Raja Fahd meminta bantuan AS dan koalisi untuk memerangi Irak. Ketika Raja Fahd minta bantuan Amerika, sebagian kecil ulama di Saudi Arabia menolak untuk mendukung keputusan tersebut dengan pertimbangan bahwa meminta bantuan orang kafir untuk menghabisi umat Islam adalah tindakan salah. Merekalah ulama yang hingga kini kritis terhadap kebijakan Kerajaan.
Sayangnya, mayoritas jamaah Salafi di Indonesia tidak bisa memilah mana fatwa agama dan mana kebijakan Politik Raja. Di Arab Saudi, ulama berada pada posisi tidak punya pilihan untuk bersikap berbeda dengan kebijakan Raja karena konsekuensinya pasti dipenjara sebagaimana dialami Dr. Aid Al-Qarni (pengarang buku Laa Tahzan), Syaikh Al-Arify, Syaikh Salman Audah, dll. Bahkan di era Muhammad bin Salman tindakan represif kepada yang berbeda pandangan meningkat.
Generasi Salaf Vs Generasi Saud
Jamaah Salafi secara umum – terlebih mereka yang lembaganya terkoneksi sumber pendanaan dari Saudi – secara totalitas taklid buta kepada kebijakan Kerajaan. Salah satunya terlihat pada keberpihakan mereka atas Kebijakan ugal-ugalan putra Mahkota Muhammad Bin Salman (MBS)baru-baru ini. Bahkan yang memprihatikan, kalangan ulama Saudi yang sebelumnya begitu getol melarang wanita menyetir dengan berbagai argumen “shahih”, kini diam seribu bahasa saat MBS memperbolehkannya. Seolah ketaatan mereka berada pada Raja, bukan pada dalil (‘illat) itu sendiri.
Padahal, jika kaum Salafi mau sedikit berfikir, MBS setidaknya telah melakukan 3 kesalahan fatal yang menciderai prinsip-prinsip agama Islam;
Pertama, menyerang negeri Muslim Yaman. Dengan dalih syiah, perang telah mengakibatkan ratusan ribu umat Islam termasuk wanita dan anak-anak tak berdosa terbunuh. Jika bisa menjalin hubungan yang begitu mesra dengan AS yang menyembah selain Allah, mengapa tidak bisa membuat formulasi yang lebih soft pada sesama penyembah Allah? Begitukah aqidah Salaf? Hingga kini negeri muslim itu porak-poranda dan konflik berlanjut tak tentu ujungnya. Arab Saudi keburu kehabisan nafas akibat harga minyak yang melemah. Jutaan muslim menjadi pengungsi karena ambisi MBS sebagai menteri Pertahanan Saudi.
Kedua, memblokade Qatar. Saat dalih Syiah tidak ditemukan, maka dalih terorisme digunakan. Memblokade sebuah negeri muslim adalah bid’ah karena tidak ada dalil ataupun contoh dari Salafussaleh untuk memblokade kaum muslimin hingga ribuan orang menderita dan mengalami kesusahan.
Dan ketiga, membina hubungan diplomatik dengan Israel, sementara di dalam negeri memenjarakan Ulama, dosen, dan petugas masjid yang tidak sejalan dengan kebijakan politiknya. Bahkan Israel sendiri yang menyatakan MBS berkunjung ke Tel Aviv. Ini sebuah bid’ah yang luar biasa. Tidak ada dalilnya ataupun contoh dari Salafussaleh, kecuali dalil dari Amerika.
Mereka yang membabi-buta membela Saudi dan MBS, tentu akan dimintai pula pertanggungjawaban di akhirat. Oleh karenanya, ada baiknya jamaah Salafi Indonesia berani berbeda pendapat dengan kebijakan Kerajaan karena yang dijamin benar dan lurus oleh Nabi SAW adalah generasi Salaf, bukan generasi Saud.
Disadur dari duniatimteng.id sesuai dengan teks asli
No comments:
Post a Comment