Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Wednesday, January 3, 2018

    Kisah Ukhuwah; Ketika Abu Dzar Minta Maaf kepada Bilal

    Generasi shahabat adalah generasi terbaik umat ini. Mereka para pendahulu kita yang memperoleh kesempatan untuk hidup bersama Rasulullah SAW. Segala akhlak dan tindak-tanduk mereka pun senantiasa dalam naungan dan pengawasan Rasul. Oleh sebab itu, amatlah buruk jika ada umat Islam yang mencelanya bahkan mengkafirkan mereka para shahabat Radhiallahu ‘anhum.

    Namun, sahabat tidaklah maksum sebagaimana Rasulullah. Mereka hanyalah manusia biasa yang sangat mungkin berbuat salah hingga mendapat teguran dari Rasulullah. Teguran atau sanggahan dari Rasul ini secara tidak langsung menjadi bahan teladan bagi kita semua sebagai pengikut salafus shalih. Salah satunya adalah ketika Rasulullah menegur perbuatan dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari. Inilah kisahnya…

    Saat itu para shahabat berkumpul dalam satu majelis, sementara Rasulullah SAW tidak bersama mereka. Khalid bin Walid, Abdurrahman bin Auf, Bilal, dan Abu Dzar duduk di dalam majelis. Abu Dzar adalah orang yang memiliki ketajaman dan temperamen tinggi.

    Orang-orang berbicara mengenai satu topik pembicaraan. Lalu Abu Dzar berbicara dan menyampaikan sebuah usulan, “Aku mengusulkan agar pasukan diperlakukan demikian dan demikian.”

    Tiba-tiba Bilal menimpali, “Tidak, itu adalah usulan yang salah.”

    Lantas Abu Dzar berkata, “Beraninya kamu menyalahkanku, wahai anak wanita berkulit hitam?”

    “Lâ Ilâha illallâh! Bercerminlah engkau. Lihatlah siapa dirimu sebenarnya?”

    Seketika itu Bilal berdiri dengan terkejut dan marah sejadi-jadinya sambil berkata, “Demi Allah, aku akan mengadukanmu kepada Rasulullah SAW,” lalu Bilal pun pergi kepada Rasulullah SAW.

    Ketika Bilal sampai kepada Rasulullah SAW, dia berkata, “Wahai, Rasulullah. Maukah engkau mendengar apa yang telah dikatakan oleh Abu Dzar kepadaku?”

    Rasulullah saw. menjawab, “Apakah yang telah dikatakannya?”

    Bilal berkata, “Dia telah berkata begini dan begitu.”

    Seketika itu rona muka Rasulullah SAW berubah.

    Lalu Abu Dzar bergegas datang dengan tergopoh-gopoh. Dia berkata, “Wahai, Rasulullah. Assalâmu ‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.”

    Ketika itu Rasulullah sangat marah, hingga dikatakan, “Kami tidak tahu apakah Nabi menjawab salamnya atau tidak.”

    Nabi bersabda, “Wahai, Abu Dzar. Engkau telah menghinakannya dengan merendahkan ibunya. Di dalam dirimu terdapat sifat jahiliyah.” (HR. Bukhari).

    Kalimat tersebut terdengar bagaikan petir di telinga Abu Dzar. Lantas dia menangis, dan menghampiri Rasulullah, lalu berkata, “Wahai, Rasulullah. Beristigfarlah untukku. Mintakanlah ampunan dari Allah untukku.” Kemudian dia keluar dari masjid sambil menangis.

    Abu Dzar pergi dan meletakkan kepalanya di atas tanah yang dilalui Bilal. Lalu Bilal menghampirinya.

    Umar berkata, “Abu Bakar adalah sayyid (tuan) kami, dan dia telah memerdekakan sayyid kami, yaitu Bilal.”

    Abu Dzar menghempaskan pipinya ke atas tanah, dan berkata, “Demi Allah, wahai Bilal.  Aku tidak akan mengangkat pipiku, kecuali engkau menginjaknya dengan kakimu. Engkaulah orang yang mulia dan akulah yang hina.”

    Allah akan meninggikan kedudukanmu, wahai Abu Dzar, sampai batas ini. Sungguh, itulah didikan Islam, dan kehidupan di bawah naungan Al-Qur’an.

    “Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman. Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Mahagagah lagi Mahabijaksana.” (Al-Anfal: 63).

    Lantas Bilal pun menangis melihat pemandangan tersebut. Siapa yang tidak luruh hatinya melihat hal demikian?

    Sebagian dari kita berbuat buruk kepada sebagian yang lain berpuluh kali dalam sehari. Namun, tidak ada yang berani mengatakan, “Maafkan aku, wahai saudaraku.”

    Sebagian dari kita menyakiti yang lain hingga terluka dengan perkara-perkara akidah ataupun ideologi, dan dengan segala hal yang menyangkut sesuatu yang paling berharga dalam hidup. Namun, tidak ada yang berbesar hati mengatakan, “Maafkan aku.”

    Sebagian kita menyakiti temannya ataupun saudaranya dengan tangannya dan tidak berkata, “Maafkan aku.”

    Lihatlah Abu Dzar. Dia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mengangkat pipiku hingga engkau menginjaknya dengan kakimu.”

    Lantas Bilal menangis dan mendekat, lalu menciumi pipi itu. Pipi itu tidak pantas diinjak dengan kaki, namun hanya pantas untuk dikecup. Pipi itu lebih mulia di sisi Allah daripada diinjak dengan kaki.

    Kemudian keduanya berdiri dan berpelukan sambil menangis.

    Demikianlah peri kehidupan mereka, di kala mereka hidup berinteraksi dengan Islam. Kita tidak mengenal perbedaan warna. Kita tidak mengenal kulit putih, tidak juga kulit merah, serta kulit hitam. Kita tidak mengenal dia dari keluarga fulan, atau dari keluarga fulan. Kita hanya mengenal takwa.

    “…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 13).

    Oleh karenanya, jika engkau melihat seseorang berbangga dengan memuji nenek moyangnya, sementara dia bukanlah orang mulia, ketahuilah sebenarnya dia tidak ada harganya di sisi Allah SWT. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.

    Disadur dari “Kisah-Kisah Unik” karya Dr. Aidh Al-Qarni
     Ahad, 29 November 2015 13:45   0 Komentar

    Foto: Ilustrasi
    KIBLAT.NET – Generasi shahabat adalah generasi terbaik umat ini. Mereka para pendahulu kita yang memperoleh kesempatan untuk hidup bersama Rasulullah SAW. Segala akhlak dan tindak-tanduk mereka pun senantiasa dalam naungan dan pengawasan Rasul. Oleh sebab itu, amatlah buruk jika ada umat Islam yang mencelanya bahkan mengkafirkan mereka para shahabat Radhiallahu ‘anhum.

    Namun, sahabat tidaklah maksum sebagaimana Rasulullah. Mereka hanyalah manusia biasa yang sangat mungkin berbuat salah hingga mendapat teguran dari Rasulullah. Teguran atau sanggahan dari Rasul ini secara tidak langsung menjadi bahan teladan bagi kita semua sebagai pengikut salafus shalih. Salah satunya adalah ketika Rasulullah menegur perbuatan dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari. Inilah kisahnya…

    Saat itu para shahabat berkumpul dalam satu majelis, sementara Rasulullah SAW tidak bersama mereka. Khalid bin Walid, Abdurrahman bin Auf, Bilal, dan Abu Dzar duduk di dalam majelis. Abu Dzar adalah orang yang memiliki ketajaman dan temperamen tinggi.

    Orang-orang berbicara mengenai satu topik pembicaraan. Lalu Abu Dzar berbicara dan menyampaikan sebuah usulan, “Aku mengusulkan agar pasukan diperlakukan demikian dan demikian.”

    Tiba-tiba Bilal menimpali, “Tidak, itu adalah usulan yang salah.”

    Lantas Abu Dzar berkata, “Beraninya kamu menyalahkanku, wahai anak wanita berkulit hitam?”

    “Lâ Ilâha illallâh! Bercerminlah engkau. Lihatlah siapa dirimu sebenarnya?”

    Seketika itu Bilal berdiri dengan terkejut dan marah sejadi-jadinya sambil berkata, “Demi Allah, aku akan mengadukanmu kepada Rasulullah SAW,” lalu Bilal pun pergi kepada Rasulullah SAW.

    Ketika Bilal sampai kepada Rasulullah SAW, dia berkata, “Wahai, Rasulullah. Maukah engkau mendengar apa yang telah dikatakan oleh Abu Dzar kepadaku?”

    Rasulullah saw. menjawab, “Apakah yang telah dikatakannya?”

    Bilal berkata, “Dia telah berkata begini dan begitu.”

    Seketika itu rona muka Rasulullah SAW berubah.

    Lalu Abu Dzar bergegas datang dengan tergopoh-gopoh. Dia berkata, “Wahai, Rasulullah. Assalâmu ‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.”

    Ketika itu Rasulullah sangat marah, hingga dikatakan, “Kami tidak tahu apakah Nabi menjawab salamnya atau tidak.”

    Nabi bersabda, “Wahai, Abu Dzar. Engkau telah menghinakannya dengan merendahkan ibunya. Di dalam dirimu terdapat sifat jahiliyah.” (HR. Bukhari).

    Kalimat tersebut terdengar bagaikan petir di telinga Abu Dzar. Lantas dia menangis, dan menghampiri Rasulullah, lalu berkata, “Wahai, Rasulullah. Beristigfarlah untukku. Mintakanlah ampunan dari Allah untukku.” Kemudian dia keluar dari masjid sambil menangis.

    Abu Dzar pergi dan meletakkan kepalanya di atas tanah yang dilalui Bilal. Lalu Bilal menghampirinya.

    Umar berkata, “Abu Bakar adalah sayyid (tuan) kami, dan dia telah memerdekakan sayyid kami, yaitu Bilal.”

    Abu Dzar menghempaskan pipinya ke atas tanah, dan berkata, “Demi Allah, wahai Bilal.  Aku tidak akan mengangkat pipiku, kecuali engkau menginjaknya dengan kakimu. Engkaulah orang yang mulia dan akulah yang hina.”

    Allah akan meninggikan kedudukanmu, wahai Abu Dzar, sampai batas ini. Sungguh, itulah didikan Islam, dan kehidupan di bawah naungan Al-Qur’an.

    “Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman. Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Mahagagah lagi Mahabijaksana.” (Al-Anfal: 63).

    Lantas Bilal pun menangis melihat pemandangan tersebut. Siapa yang tidak luruh hatinya melihat hal demikian?

    Sebagian dari kita berbuat buruk kepada sebagian yang lain berpuluh kali dalam sehari. Namun, tidak ada yang berani mengatakan, “Maafkan aku, wahai saudaraku.”

    Sebagian dari kita menyakiti yang lain hingga terluka dengan perkara-perkara akidah ataupun ideologi, dan dengan segala hal yang menyangkut sesuatu yang paling berharga dalam hidup. Namun, tidak ada yang berbesar hati mengatakan, “Maafkan aku.”

    Sebagian kita menyakiti temannya ataupun saudaranya dengan tangannya dan tidak berkata, “Maafkan aku.”

    Lihatlah Abu Dzar. Dia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mengangkat pipiku hingga engkau menginjaknya dengan kakimu.”

    Lantas Bilal menangis dan mendekat, lalu menciumi pipi itu. Pipi itu tidak pantas diinjak dengan kaki, namun hanya pantas untuk dikecup. Pipi itu lebih mulia di sisi Allah daripada diinjak dengan kaki.

    Kemudian keduanya berdiri dan berpelukan sambil menangis.

    Demikianlah peri kehidupan mereka, di kala mereka hidup berinteraksi dengan Islam. Kita tidak mengenal perbedaan warna. Kita tidak mengenal kulit putih, tidak juga kulit merah, serta kulit hitam. Kita tidak mengenal dia dari keluarga fulan, atau dari keluarga fulan. Kita hanya mengenal takwa.

    “…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 13).

    Oleh karenanya, jika engkau melihat seseorang berbangga dengan memuji nenek moyangnya, sementara dia bukanlah orang mulia, ketahuilah sebenarnya dia tidak ada harganya di sisi Allah SWT. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.

    Disadur dari “Kisah-Kisah Unik” karya Dr. Aidh Al-Qarni

    (Sumber: Kiblat.net)

    No comments:

    Post a Comment