Mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan cerita tentang
anak durhaka plus ancaman yang besar untuk anak yang durhaka terhadap orang
tua. Tapi jarang kita menyadari bahwa ternyata bisa juga orang tua berbuat
durhaka terhadap anak mereka.
Mungkinkah orang tua berbuat durhaka kepada anak mereka? Ya,
sangat mungkin. Tulisan ini bukan berarti meringankan perbuatan durhaka anak
terhadap orang tua. Karena durhaka anak terhadap orang tua adalah dosa besar. Dan
durhaka orang tua terhadap anak juga satu kenyataan yang patut untuk diketahui,
sehingga para orang tua selamat dari ancaman adzab Allah subhanahu wata'ala.
Durhaka berarti membangkang atau ingkar. Maka anak yang
durhaka adalah anak yang membangkang terhadap orang tua. Adapun orang tua yang
durhaka berarti orang tua yang ingkar terhadap hak-hak anaknya dan
menelantarkan mereka.
Apa sajakah bentuk durhaka orang tua terhadap anak? Berikut
tren-islam merangkumnya untuk anda.
1. Melakukan kekerasan verbal
Kekerasan verbal adalah dengan mencaci dan memaki anak. Hal ini
bisa menyebabkan si anak merasa minder karena kurang dihargai. Ia merasa
hidupnya tidak berguna dan menyebabkan masalah. Orang tua yang mencela dan
menghina anaknya menyebabkan anak menjadi seorang yang pemurung pada masa
kecilnya. Ia tidak mau bergaul dan tumbuh menjadi anak yang pemalu.
Menginjak remaja, biasanya si anak akan memberontak karena
sikap orang tua yang selalu menekan. Dan jika anak suka membantah atau bersikap
kasar, boleh jadi penyebabnya karena pola asuh kita yang salah selama dia
kecil. Salahsatunya adalah dengan sering menghardiknya atau menghinanya.
Salah satu hal yang sering terjadi adalah orang tua yang
menghina anaknya. Bagaimana orang tua dikatakan menghina anak-anaknya? Yaitu
ketika seorang ayah menilai kekurangan anaknya dan memaparkan setiap
kebodohannya. Lebih jahat lagi jika itu dilakukan di hadapan teman-teman si
anak. Termasuk dalam kategori ini adalah memberi nama kepada si anak dengan
nama yang buruk.
Seorang lelaki penah mendatangi Umar bin Khattab seraya
mengadukan kedurhakaan anaknya. Umar kemudian memanggil putra orang tua itu dan
menghardiknya atas kedurhakaannya. Tidak lama kemudan anak itu berkata, “Wahai
Amirul Mukminin, bukankah sang anak memiliki hak atas orang tuanya?”
“Betul,” jawab Umar.
“Apakah hak sang anak?”
“Memilih calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang
baik, dan mengajarkannya Al-Qur’an,” jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak melakukan
satu pun dari apa yang engkau sebutkan. Adapun ibuku, ia adalah wanita berkulit
hitam bekas hamba sahaya orang majusi; ia menamakanku Ju’lan (kumbang), dan
tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an,” kata anak itu.
Umar segera memandang orang tua itu dan berkata kepadanya,
“Engkau datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah
durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk
kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”
Rasulullah saw. sangat menekankan agar kita memberi nama
yang baik kepada anak-anak kita. Abu Darda’ meriwayatkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama
kalian dan nama ayah kalian, maka perbaikilah nama kalian.” (HR. Abu Dawud
dalam Kitab Adab, hadits nomor 4297).
Karena itu Rasulullah saw. kerap mengganti nama seseorang
yang bermakna jelek dengan nama baru yang baik. Atau, mengganti julukan-julukan
yang buruk kepada seseorang dengan julukan yang baik dan bermakna positif.
Misalnya, Harb (perang) menjadi Husain, Huznan (yang sedih) menjadi Sahlun
(mudah), Bani Maghwiyah (yang tergelincir) menjadi Bani Rusyd (yang diberi
petunjuk). Rasulullah saw. memanggil Aisyah dengan nama kecil Aisy untuk memberi
kesan lembut dan sayang.
Jadi, adalah sebuah bentuk kejahatan bila kita memberi dan
memanggil anak kita dengan sebutan yang buruk lagi dan bermakna menghinakan
dirinya.
2. Melakukan kekerasan fisik
Selain kekerasan verbal, biasanya ada orang tua yang gampang
melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya. Baik dengan menampar, memukul atau
mencubitnya. Banyak berita yang mengungkapkan tentang anak yang disiksa oleh
orang tuanya.
Duhai orang tua, anak adalah titipan. Apa yang akan engkau katakana
dihadapan Allah kelak, ketika anak kita mengadukan kekerasan kita kepada-Nya?
Adapun, diperbolehkan pukulan yang mendidik selama tidak
menimbulkan bekas. Bahkan Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam sendiri
menyuruh untuk memukul anak berusia 10 tahun yang belum melaksanakan shalat. Tentunya
sebelum memukulnya harus dengan nasihat atau perintah terlebih dahulu. Jika dia
masih tetap tidak mendengar, maka solusi terakhir adalah dengan memukulnya. Tentunya
di anggota tubuh yang tidak berbahaya, misal memukul betisnya.
3. Tidak memperhatikan pendidikan anak
Dalam surat At-Tahrim ayat 6 Allah swt berfirman :
“Wahai orang-orang mukmin, jagalah diri kalian dan keluarga
kalian dari azab api neraka......”
Sesuai ayat diatas, maka orang tua berkewajiban memberi
pendidikan Islam dan menegakkan ajaran Islam terhadap anak-anaknya, seperti
kewajiban sholat, membaca Al-Quran, mengajarkan akhlak dan perilaku yang baik,
dan sebagainya. Semua bentuk pendidikan dan pengajaran yang dapat memelihara
keluarganya dari melakukan hal-hal yang dapat menggiring mereka pada azab
neraka.
Ada syair Arab yang berbunyi, “Anak yatim itu bukanlah anak yang telah ditinggal orang tuanya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan hina. Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang tidak dapat dekat dengan ibunya yang selalu menghindar darinya, atau ayah yang selalu sibuk dan tidak ada waktu bagi anaknya.”
Perhatian. Itulah kata kuncinya. Dan bentuk perhatian yang tertinggi orang tua kepada anaknya adalah memberikan pendidikan yang baik. Tidak memberikan pendidikan yang baik dan maksimal adalah bentuk kejahatan orang tua terhadap anak. Dan segala kejahatan pasti berbuah ancaman yang buruk bagi pelakunya.
Perintah untuk mendidik anak adalah bentuk realisasi iman. Perintah ini diberikan secara umum kepada kepala rumah tangga tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan dan kelas sosial. Setiap ayah wajib memberikan pendidikan kepada anaknya tentang agamanya dan memberi keterampilan untuk bisa mandiri dalam menjalani hidupnya kelak. Jadi, berilah pendidikan yang bisa mengantarkan si anak hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
Adalah sebuah bentuk kejahatan terhadap anak jika ayah-ibu tenggelam dalam kesibukan, sehingga lupa mengajarkan anaknya cara shalat. Meskipun kesibukan itu adalah mencari rezeki yang digunakan untuk menafkahi anak-anaknya. Jika ayah-ibu berlaku seperti ini, keduanya telah melanggar perintah Allah di surat Thaha ayat 132. “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”
Rasulullah saw. bersabda, “Ajarilah anak-anakmu shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila tidak melaksanakan shalat) pada usaia sepuluh tahun.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shalah, hadits nomor 372).
Ketahuilah, tidak ada pemberian yang baik dari orang tua kepada anaknya, selain memberi pendidikan yang baik. Begitu hadits dari Ayyub bin Musa yang berasal dari ayahnya dan ayahnya mendapat dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Maa nahala waalidun waladan min nahlin afdhala min adabin hasanin, tak ada yang lebih utama yang diberikan orang tua kepada anaknya melebihi adab yang baik.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1875. Tirmidzi berkata, “Ini hadits mursal.”)
Orang tua harus memberi contoh tauladan yang baik kepada anak. Jika orang tua menghendaki anak teguh menunaikan sholat, maka orang tua juga tak boleh melalaikan kewajiban sholat. Jika seorang ibu menginginkan putrinya menutup aurat, maka ia juga harus menutup auratnya dengan baik.
4. Tidak memberikan kasih sayang dan perlindungan
Rasulullah saw. sangat penyayang terhadap anak-anak, baik
terhadap keturunan beliau sendiri ataupun anak orang lain. Abu Hurairah r.a.
meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. mencium Hasan bin Ali dan
didekatnya ada Al-Aqra’ bin Hayis At-Tamimi sedang duduk. Ia kemudian berkata,
“Aku memiliki sepuluh orang anak dan tidak pernah aku mencium seorang pun dari
mereka.” Rasulullah saw. segera memandang kepadanya dan berkata, “Man laa
yarham laa yurham, barangsiapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan
dikasihi.” (HR. Bukhari di Kitab Adab, hadits nomor 5538).
Bahkan dalam shalat pun Rasulullah saw. tidak melarang
anak-anak dekat dengan beliau. Hal ini kita dapat dari cerita Abi Qatadah,
“Suatu ketika Rasulullah saw. mendatangi kami bersama Umamah binti Abil Ash
–anak Zainab, putri Rasulullah saw.—Beliau meletakkannya di atas bahunya.
Beliau kemudian shalat dan ketika rukuk, Beliau meletakkannya dan saat bangkit
dari sujud, Beliau mengangkat kembali.” (HR. Muslim dalam Kitab Masajid wa
Mawadhi’ush Shalah, hadits nomor 840).
Peristiwa itu bukan kejadian satu-satunya yang terekam dalam
sejarah. Abdullah bin Syaddad juga meriwayatkan dari ayahnya bahwa,
“Ketika
waktu datang shalat Isya, Rasulullah saw. datang sambil membawa Hasan dan
Husain. Beliau kemudian maju (sebagai imam) dan meletakkan cucunya. Beliau
kemudian takbir untuk shalat. Ketika sujud, Beliau pun memanjangkan sujudnya.
Ayahku berkata, ‘Saya kemudian mengangkat kepalaku dan melihat anak kecil itu
berada di atas punggung Rasulullah saw. yang sedang bersujud. Saya kemudian
sujud kembali.’ Setelah selesai shalat, orang-orang pun berkata, ‘Wahai
Rasulullah, saat sedang sujud di antara dua sujudmu tadi, engkau melakukannya
sangat lama, sehingga kami mengira telah terjadi sebuha peristiwa besar, atau
telah turun wahyu kepadamu.’ Beliau kemudian berkata, ‘Semua yang engkau
katakan itu tidak terjadi, tapi cucuku sedang bersenang-senang denganku, dan
aku tidak suka menghentikannya sampai dia menyelesaikan keinginannya.” (HR.
An-Nasai dalam Kitab At-Thathbiq, hadits nomor 1129).
Begitulah Rasulullah saw. bersikap kepada anak-anak. Secara
halus Beliau mengajarkan kepada kita untuk memperhatikan anak-anaknya. Beliau
juga mencontohkan dalam praktik bagaimana bersikap kepada anak dengan penuh
cinta, kasih, dan kelemahlembutan.
Karena itu, setiap sikap yang bertolak belakang dengan
apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., adalah bentuk kejahatan kepada
anak-anak. Setidak ada ada empat jenis kejahatan yang kerap dilakukan orang tua
terhadap anaknya.
Selain itu, orang tua juga berkewajiban memenuhi hak
anak-anaknya, seperti hak mendapatkan kasih sayang, perlindungan, nafkah yang
layak, sandang, pangan, nama yang baik, juga jaminan kesehatan.
5. Melebihkan seorang anak dari yang lain
Memberi lebih kepada anak kesayangan dan mengabaikan anak
yang lain adalah bentuk kejahatan orang tua kepada anaknya. Sikap ini adalah
salah satu faktor pemicu putusnya hubungan silaturrahmi anak kepada orang
tuanya dan pangkal dari permusuhan antar saudara.
Nu’man bin Basyir bercerita, “Ayahku menginfakkan sebagian
hartanya untukku. Ibuku –’Amrah binti Rawahah—kemudian berkata, ‘Saya tidak
suka engkau melakukan hal itu sehinggi menemui Rasulullah.’ Ayahku kemudian
berangkat menemui Rasulullah saw. sebagai saksi atas sedekah yang diberikan
kepadaku. Rasulullah saw. berkata kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan hal ini
kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah saw. berkata,
‘Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.’ Ayahku
kemudian kembali dan menarik lagi sedekah itu.” (HR. Muslim dalam Kitab
Al-Hibaat, hadits nomor 3055).
Dan puncak kezaliman kepada anak adalah ketika orang tua
tidak bisa memunculkan rasa cinta dan sayangnya kepada anak perempuan yang
kurang cantik, kurang pandai, atau cacat salah satu anggota tubuhnya. Padahal,
tidak cantik dan cacat bukanlah kemauan si anak. Apalagi tidak pintar pun itu
bukanlah dosa dan kejahatan. Justru setiap keterbatasan anak adalah pemacu bagi
orang tua untuk lebih mencintainya dan membantunya. Rasulullah saw. bersabda,
“Rahimallahu waalidan a’aana waladahu ‘ala birrihi, semoga Allah mengasihi
orang tua yang membantu anaknya di atas kebaikan.” (HR. Ibnu Hibban)
6. Mendoakan keburukan bagi si anak
“Ada tiga doa yang dikabulkan: doa orang yang teraniaya, doa
musafir, dan doa (keburukan) orang tua atas anaknya.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab
Birr wash Shilah, hadits nomor 1828)
Entah apa alasan yang membuat seseorang begitu membenci
anaknya. Saking bencinya, seorang ibu bisa sepanjang hari lidahnya tidak kering
mendoakan agar anaknya celaka, melaknat dan memaki anaknya. Sungguh, ibu itu
adalah wanita yang paling bodoh. Setiap doanya yang buruk, setiap ucapan laknat
yang meluncur dari lidahnya, dan setiap makian yang diucapkannya bisa terkabul
lalu menjadi bentuk hukuman bagi dirinya atas semua amal lisannya yang tak terkendali.
Coba simak kisah ini. Seseorang pernah mengadukan putranya
kepada Abdullah bin Mubarak. Abdullah bertanya kepada orang itu, “Apakah engkau
pernah berdoa (yang buruk) atasnya.” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah bin
Mubarak berkata, “Engkau telah merusaknya.”
Na’udzubillah! Semoga kita tidak melakukan kesalahan seperti
yang dilakukan orang itu. Bayangkan, doa buruk bagi anak adalah bentuk
kejahatan yang akan menambah rusak si anak yang sebelumnya sudah durhaka kepada
orang tuanya.
Hendaknya kita selalu mendoakan kebaikan untuk anak-anak
kita. Karena mereka adalah investasi akhirat kita.
Usamah bin Zaid ketika masih kecil punya kenangan manis
dalam pangkuan Rasulullah saw. “Rasulullah saw. pernah mengambil dan
mendudukkanku di atas pahanya, dan meletakkan Hasan di atas pahanya yang lain,
kemudian memeluk kami berdua, dan berkata, ‘Ya Allah, kasihanilah keduanya,
karena sesungguhnya aku mengasihi keduanya.'” (HR. Bukhari dalam Kitab Adab,
hadits nomor 5544).
***
Islam adalah agama yang adil. Di satu sisi, Islam menyuruh
anak untuk berbuat baik kepada orang tua dan menggolongkan kedurhakaan anak
pada orang tua sebagai dosa besar. Namun di sisi lain, Islam juga mewajibkan
orang tua untuk memenuhi hak anak dan kewajiban mereka terhadap anak. Karena
setiap orang akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak atas amanah
yang dipercayakan kepadanya. Dan amanah terbesar bagi setiap orang tua, adalah
sang anak.
Diceritakan dalam sebuah hadis, tentang seorang anak yang
kedua orang tuanya digiring menuju surga, sedangkan si anak digiring menuju
neraka. Namun si anak mengajukan protes pada malaikat, dia mengatakan bahwa
orang tuanya tidak pernah mengajarkannya hal-hal yang layak mengantarkannya ke
surga. Atas protes sang anak, kedua orang tuanya pun menjadi tertunda
langkahnya menuju surga.
Orang tua yang “durhaka” mungkin tidak akan dihukum dengan
dikutuk layaknya dalam cerita malin kundang, tetapi, ke”durhaka”an orang tua
dalam bentuk pengingkaran hak dan kewajiban terhadap anak, boleh jadi akan
menunda atau bahkan menghalangi langkah orang tua dari memasuki surgaNya.
Wallahu’alam.
***
Sumber Referensi: Majalah Ummi, Dakwatuna
No comments:
Post a Comment