Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Wednesday, March 6, 2019

    Istri Kerja, Suami Jaga Anak


    Assalamu alaikum. Pak ustad, bagaimana hukumnya seorang istri bekerja sedangkan suami ngurus anak-anak.
    Dalam keluarga tentu terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi satu sama lainnya, hak dan kewajiban suami istri tertulis dengan jelas sebagai sebuah kesepatakan antara keduanya di buku akta pernikahan saat mereka mengikat sebuah perjanjian yang kokoh di hadapan penghulu, saksi, para tamu undangan dan Allah Ta’ala.
    Jika kita renungi, seorang wanita atau istri yang bekerja, mereka harus berjuang untuk tetap memenuhi hak dan kewajibannya dalam keluarga dan dalam memberikan kasih sayang serta pendidikan terhadap anak-anaknya.
    Betapa tidak mudahnya seorang istri yang bekerja siang malam di luar rumah, menguras pikiran seharian, lalu letih saat kembali ke rumah, belum lagi hari-harinya habis dengan orang lain daripada dengan keluarganya sendiri kecuali akhir pekan, itupun jika tidak ada lembur atau urusan mendadak soal pekerjaan. Ya inilah konsekuensi wanita pekerja.
    Anak-anak merupakan tanggung jawab suami istri yang harus diperhatikan. Jangan sampai karena alasan ekonomi/duniawi, seorang anak menjadi “yatim” atau ‘piatu” lantaran ditinggal oleh ibunya dalam waktu cukup lama. Kasih sayang ibu adalah hak anak paling asasi dan amat fundamental dalam pembentukan kepribadiannya.
    Tidak masalah jika istri bekerja di dalam rumah atau bekerja di luar tapi aman dari fitnah dan campur baur antara laki-laki dan perempuan. Tapi jika istri bekerja di luar  dengan kondisi lingkungan kerja ikhtilat atau campur baur dengan lelaki, ini sudah melanggar syariat. Kecuali jika istri bekerja di sektor yang memang membutuhkan jasanya, seperti menjadi guru, perawat, dokter dan semacamnya.
    Maka, sekarang lihatlah pekerjaan yang anda lakoni, apakah jauh dari kemungkinan ikhtilat? Apakah aman untuk anda sendiri? Apakah anak-anak tidak terlantarkan? Karena banyak anak yang terlantar karena ibunya bekerja. Terutama yang bekerja di luar negeri dan tidak pulang bertahun-tahun. Sementara anak-anak dijaga sang nenek atau suami.
    Ingatlah sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam,
     “Wahai para umat manusia, bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah dalam mengais rezeki! Sesungguhnya seseorang tidak akan meninggal hingga semua ketentuan rezekinya diberikan.” (HR. Ibnu Majah)
    Selain itu, Alquran telah mengajarkan kepada para wanita untuk senantiasa tetap berada di dalam rumahnya kecuali ada alasan atau keperluan mendesak yang diperbolehkan oleh syariat dan mendapat izin keluarga atau suami bagi yang sudah menikah dengan memperhatikan batasan-batasan seperti:
    Pertama, Tidak keluar sendirian apalagi pulang hingga larut malam. Kalaupun keluar sendiri senantiasa pandai melihat kondisi yang tidak membahayakan dirinya
    Kedua, Berpakaian rapi dan sopan (menutup aurat). Tidak memamerkan perhiasan yang bisa mengundang tindakan kriminal. Tidak berlebihan dalam bersolek dan dalam memakai wangi-wangian
    Ketiga, Menundukkan pandangan terhadap lawan jenis. Memperhatikan batasan pergaulan dengan lawan jenis dan menjaga perilaku. Bertutur kata yang bijak/sopan guna menghindari fitnah dari lawan jenis. Dan yang paling penting adalah berusaha menjaga kehormatan diri serta keluarganya.
    Sekiranya ada wanita yang memberi nafkah keluarga karena berbagai sebab dan ia rela, tentunya dengan memperhatikan hukum-hukum syariat yang tadi disebutkan, maka itu tidak ada masalah baginya. Allah Subhanahu wata'ala akan membalas kebaikan sang istri dengan menafkahi keluarganya. Tapi andai ia tak rela, maka hukum Islam memberikan jalan keluar. Ia dapat mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama, karena ia tidak mendapat nafkah dari suami. Dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah “Khulu” yaitu gugatan cerai yang dilayangkan oleh seorang istri kepada suami.
    Dan tampaknya, wanita yang menafkahi keluarga itu hanya kasus yang seyogyanya tidak terjadi, karenanya itu tidak dapat mengubah aturan dalam Islam, artinya hak-hak dan kewajiban suami istri tetap seperti semula dengan membebankan kewajiban untuk nafkah keluarga kepada suami.
    “dan kewajiban ayah (yang dianugerahi putra) memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah ayat 233)
    Memang membahas masalah ini perlu penjelasan yang kompleks dan uraian yang panjang. Pada intinya.
    Pertama, lihatlah, apakah pekerjaan anda melanggar batasan syariat atau tidak. Jika memang tidak melanggar batasan, maka tidak mengapa bekerja.
    Kedua, jika bekerja itu memberatkan anda, maka anda memiliki hak untuk menuntut suami
    Ketiga, perlu diperjelas alasan kenapa suami tidak bekerja. Apakah karena malas atau karena memang sudah berusaha mencari pekerjaan tapi belum juga mendapatkannya. Jika yang kedua yang terjadi, maka sebagai istri yang baik anda tidak boleh meninggalkan suami dan menuntutnya. Anda harus membersamai suami, mendoakan dan mensupportnya. Keadaan yang menghendaki suami belum mendapatkan pekerjaan jangan diperparah dengan tuntutan anda. Jika anda bisa bekerja dengan kemampuan yang anda mampu dan tidak melanggar batasan syariat, maka insya Allah kebaikan untuk anda,
    Keempat, jangan sampai pekerjaan mengganggu hak-hak suami dan anak anda dari anda sebagai ibu dan istri.
    Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam

    No comments:

    Post a Comment