Dikalangan Bani Israil ada seorang pendosa, kemaksiatannya sebilang hurun pasir. Tetapi hidayah Allah menyapa. Dia mencoba berpindah ke negeri jauh menghapus jejak kesalahan dikotanya.
Dalam perjalanan dipadang pasir yang menyengat, dia berjumpa kawan perjalanan yakni seorang Nabi. Sang Nabi berkata pada si pendosa, “Mari berdoa agar Allah memayungkan awan di perjalanan!” Sang pendosa berkata, “Demi Allah, aku malu meminta hal tersebut, aku merasa tak layak berdoa kepada-Nya.”
Nabi Bani Israil itu tersenyum, “Baiklah aku yang berdoa, kau cukup aminkan saja!” Tak lama, awanpun menaungkan bayang-bayang. Lalu tibalah dipersimpangan, tujuan berbeda haruskan mereka berpisah arah. Maka setelah salam, masing-masing menempih perjalanannya.
Alangkah terkejutnya Nabi itu ketika mendapati awan yang menaungi perjalanan mereka berdua kini tak lagi bersama dirinya. Yang menakjubkan, ternyata awan itu tetap menaungi laki-laki yang tadi bersamanya. Bergegas Nabi itu berbalik san menghampirinya.
“Saudara, tunggu! Kaubilang tadi tak punya keutamaan apapun, bahkan berdoapun merasa tak layak, tapi awan itu malah mengikutimu.”
“Katakan padaku.” desaknya, “apa yang menjadi rahasia kemuliaanmu disisi Allah sehingga justru ucapan amin-mu yang dikabulkan!”
Lelaki pendosa itu kebingungan. “Apa?” Aku tak tahu duhai Nabi Allah. Aku tak tahu. Aku hanya pendosa nista yang lari dari masa lalu. Aku ahli maksiat yang hina, dan kini begitu haus akan ampunan Rabbku!” ujarnya.
“Itulah dia! Itulah dia!” sahut sang Nabi. “Sungguh benar, di sisi Allah, kemuliaan seorang yang bertaubat mengungguli keutamaan seorang Nabi seperti aku.” pungkasnya.
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProMedia
No comments:
Post a Comment