Sameron dan bayinya
Seorang ibu yang akan melahirkan biasanya akan dikondisikan untuk berada pada tempat yang mendukung proses persalinan seperti rumah sakit, dan tentunya dengan penanganan intensif. Namun, tidak demikian dengan pengungsi Rohingya.
Sameron, seorang ibu berusia 20 tahun terpaksa harus menempuh perjalanan berhari-hari setelah tentara Myanmar menyerbu permukimannya dan melakukan pembantaian terhadap warga Muslim Rohingya. Bercerita kepada Al Jazeera, Sameron, Anwar suaminya, serta anaknya yang berumur tiga tahun, Sabiha, memutuskan untuk meninggalkan tempat tinggalnya pada 25 Agustus lalu.
Dalam perjalanan ekstremnya itu, Sameron sejatinya tidak berjalan seorang diri, namun ia membawa jabang bayi yang menurut perkiraannya akan melihat dunia dalam hitungan hari. Dalam kondisi hamil tua seperti itu, Sameron mengingat betul bagaimana dia dan keluarganya, serta bayi yang berada dalam kandungannya berjuang menembus gelapnya malam dalam rangka menyelamatkan diri dari pembantaian.
“Di pagi harinya, kami berhasil sampai di suatu pedesaan yang bernama Itella. Tempat itu telah ditinggalkan (oleh penduduknya) setelah serbuan tentara Myanmar,” ungkap Sameron.
Bersyukur, di desa itu mereka mendapati sebuah rumah yang di dalamnya masih tersedia makanan untuk dikonsumsi sampai lima hari ke depan.
Namun, tidak lama bagi keluarga pelarian itu menetap di Itella. Ketika tanda-tanda tentara mulai mendekat, mereka pun mau tidak mau harus memulai kembali ‘misi’ penyelamatan diri itu. “Kami lari,” ujarnya.
Sameron melanjutkan, setelah dari Itella, perjalanan sesungguhnya baru dimulai. Mereka harus berjalan selama berhari-hari, siang dan malam, tanpa memiliki persediaan makanan sedikit pun.
“Saya tidak ingin memikirkan sakit yang saya derita. (Meskipun) sakit di perut ini saya rasakan terus-menerus dan karena itu saya pun merasa mual. Di tengah-tengah perjalanan itu, saya mulai merasakan sakit perut yang sudah tidak dapat tertahankan lagi. Saya duduk dan membungkuk agar mengurangi rasa sakitnya. Saya sangat bersusah-payah (melanjutkan perjalanan),” tuturnya dengan air mata berlinang ketika menceritakan kisahnya.
“Perjalanan itu merupakan satu fase paling mengerikan dalam hidup saya. Tapi entah bagaimana saya tetap dapat melanjutkannya. Suami saya menggendong tubuh saya dan anak saya yang mulai menangis karena rasa sakit dan penderitaan menempuh perjalanan. Kita semua menangis karena rasa sakit, keputus-asaan serta kelaparan,” ungkapnya.
Setelah berhari-berhari berjalan tanpa makanan dan minuman, akhirnya mereka sampai di desa Mongni Para. Di tempat itu akhirnya Sameron dibantu oleh ibu-ibu tua melakukan persalinan dengan kondisi seadanya.
“Kami meninggalkan desa itu setelah lima hari. Sebenarnya saya sedang dalam keadaan yang tidak memungkinkan melanjutkan perjalanan, namun entah bagaimana kami sampai di tempat yang akan mengantarkan kami ke Bangladesh dengan menggunakan perahu melewati sungai Naf. Kami harus membayar ongkosnya sebesar 655.000 Kyat (sekitar $477). Pada awalnya ia menolak karena uang kami tidak cukup. Namun beberapa orang akhirnya menolong kami,” ujar Sameron yang bercerita sambil mengantre dan menggendong bayinya untuk mendapatkan perawatan di klinik dekat Masjid Cox’s Bazar.
Karena perjalanan berat yang ia lalui, Sameron belum bisa meyusui Sadiha, bayi keduanya yang baru ia lahirkan. “Sulit sekali mendapatkan makanan setelah melalui perjalanan berhari-hari. Bagaimana saya memiliki ASI untuk menyusui bayi ini?” tanyanya.
Ahli nutrisi dari UNICEF, Mayang Sari mengatakan, ibu-ibu muda dan anak-anak di kamp pengungsian kondisinya sangat rentan.
“Kondisi yang begitu sulit dan menegangkan yang mereka alami membuat ibu-ibu dan anak-anak mengalami trauma. Hal ini membuat ibu-ibu sulit menyusui bayi-bayinya. Dan hal ini bisa menjadi masalah besar,” jelasnya.
Ancaman Malnutrisi
Dari ratusan ribu pengungsi Rohingya yang menempati lokasi pengungsian Cox’s Bazar di Bangladesh, sebanyak 60 persennya didominasi oleh anak-anak. Tidak seperti orang dewasa yang memiliki ketahanan tubuh yang lebih kuat, anak-anak tersebut saat ini terpaksa menghadapi situasi dan kondisi pengungsian yang minim sarana kehidupan dan kebutuhan pangan.
Dilansir dari TRT World, juru bicara UNICEF di Bangladesh, Jean-Jacques Simon menyatakan, kondisi memprihatinkan tersebut sangat dikhawatirkan akan membuat anak-anak Rohingya menderita malnutrisi dan ancaman penyakit lainnya.
Sejak militer Myanmar menyerbu permukiman Muslim Rohingya di Rakhine, gelombang pengungsi Rohingya mulai mendatangi kamp-kamp pengungsian di Bangladesh.
Banyak dari anak-anak yang menjadi korban kekerasan tersebut datang dengan trauma psikologis yang luar biasa dan bahkan terpisah dari orangtua dan kerabat terdekat yang dibunuh tentara Myanmar.
Penyediaan air bersih, pembangunan rumah sementara serta sarana kesehatan dan sanitasi menjadi prioritas utama organisasi-organisasi kemanusiaan yang bekerja di kamp pengungsian.
Selain itu, para pekerja kemanusiaan ini juga harus berjibaku dengan cepatnya lonjakan arus pengungsian dari Myanmar yang datang setiap waktu. PBB serta organisasi kemanusiaan lainnya berupaya untuk mencegah meluasnya ancaman penyakit yang disebabkan oleh buruknya kondisi kamp pengungsian. (al-Fath/Salam-Online)
Sumber: Aljazeera, TRT World, Salam-online
No comments:
Post a Comment