(1) Menulis hanya Sekadar Menulis
Jika kamu ingin mendapatkan sesuatu, kamu harus punya
target/tujuan. Hal yang sama berlaku dalam menulis. Misalnya saja, hari ini
kamu ingin pergi ke suatu tempat, tapi kamu nggak tahu mau kemana. Akhirnya,
kamu cuma muter-muter nggak jelas. Beda misalnya kamu sudah punya tujuan mau ke
Solo, kamu jadi tahu kudu ngapain aja. Misal: pertama kudu beli tiket kereta
dulu, lalu ke stasiun, lalu samapi di sana cari bus atau becak, juga ditentukan
mau kemana-kemana. Hal yang sama berlaku dalam menulis naskahmu. Agar kamu bisa
menyelesaikannya, kamu kudu tahu kamu mau nulis apa dan ujungnya kemana. Banyak
penulis pemula yang menulis asal nulis saja, tidak ada tujuan mau nulis novel
apa, nanti akhirnya gimana, ceritanya bakal kayak apa. Jadinya, tulisan-tulisan
itu menjadi tidak terarah, sampai kemana-mana dan lama-lama nggak punya kaitan
dengan tulisan awal. Akhirnya, naskah pun berhenti di tengah-tengah dan tak
pernah terselesaikan.
Awalnya sih mau menulis sebuah novel cinta si anak basket di
SMA, tapi ujung-ujungnya kok malah nulis kisah fanfic boiben Korea gara-gara
lagi rame di Wattpad. Ada juga yang awalnya mau nulis kisah misteri, tapi di
tengah-tengah kok malah kebanyakan adegan cinta-cintaan ala remaja. Bubar jalan
deh dari cerita awalnya. Ada juga yang awalnya pengen nulis buku tentang budidaya
ulat sutera, tapi sampai halaman 50 kok malah sibuk nulis ulasan sepak bola.
Duh, kebangetan bener salfoknya. Tulisan jadi tidak fokus dan tidak terarah ini
karena kita tidak punya tujuan saat menulis, jadinya nulisnya juga kemana-mana.
Seperti saat kita nggak tahu mau main ke mana, akhirnya cuma jalan dan
muter-muter nggak jelas. Begitulah kalau menulis asal menulis saja. Agar
tulisanmu terarah dan bisa selesai, kamu harus punya tujuan jelas tentang: apa
yang akan kamu tulis, gimana isinya, dan akhir kisahnya. Memiliki tujuan saat
menulis akan membantu dan memandumu saat menulis, mencegah tulisanmu meluber ke
mana-mana.
Memiliki tujuan saat menulis juga akan menghindarkanmu dari
menulis hal-hal yang kurang atau tidak relevan dengan tulisan yg sedang ditulis.
Punya tujuan seperti ini juga bakal mengarahkan imajinasimu untuk
mengimajinasikan hal-hal yang mungkin bisa kamu tulis dalam tulisanmu. Jadi,
imajinasimu akan mendukung isi dari tulisan yang sedang kamu garap. Beginilah
ide dan tulisan bagus sering tercipta. Tiba-tiba saja ada moment ‘ITU DIA!’
dalam pikiran kita, sesuatu yang bakal kita gunakan dalam tulisan, mungkin
twist atau ide kunci yang sesuai untuk naskah yang tengah kamu garap. Jadi
misal kamu ingin menulis ttg. berburu naga, kamu lalu baca banyak hal tentang
naga, dan imajinasimu pun akan membantu bikin cerita naga, dan lain sebagainya.
(2) Menulis tanpa Outline
Outline adalah bakal badan dari sebuah tulisan. Tanpanya,
sebuah tulisan akan susah terbentuk dan lama selesainya. Membuat outline tulisan
itu sangat penting, baik dalam naskah fiksi maupun nonfiksi, untuk memandu
penulis dalam menulis dan menyelesaikannya. Jangan salah, bahkan sebuah naskah
novel pun butuh sebuah outline yang matang agar bisa cepat selesai dan jadi
sebuah naskah yang utuh. Outline adalah kerangka dari tulisan kita. Jika
diibaratkan naskah adalah tubuh manusia, maka outline adalah kerangka
tulangnya. Kerangka ini menjelaskan secara singkat bagian apa berisi tentang
apa saja, juga urutan penempatannya sehingga seluruh bagian urut dan padu.
Misal:
Bab 1
a. Beni ketemu Amel di kantin
b. Keduanya saling jatuh cinta
c. Eko cemburu
d. Eko mencegat Beni sepulang sekolah
e. Berantem
Dengan urutan seperti ini, kamu jadi lebih mudah bikin
ceritanya. Nulisnya jadi tidak melebar ke mana-mana nggak jelas jluntrungannya.
Nah, sebelum menulis, coba kamu bikin outline dari Bab 1 sampai bab terakhir.
Dengan begini, kamu sekaligus jadi memikirkan ending novelmu. Membuat outline
tulisan itu bisa diibaratkan telah menyelesaikan seperempat dari naskah, karena
kamu jadi tahu naskahmu bakal berisi apa.
Dengan outline, kita jadi tahu bab-babnya akan berisi apa
saja, dan kita juga bisa cari data/riset ttg hal-hal yang disebut dalam
outline. Dengan outline, kita jadi tahu habis A trus nulis B, trus udah itu
nulis C, dan sesudahnya nulis D. Tulisan pun urut dan runtut. Dengan outline,
otak kita tidak terbebani dengan harus mengingat-ingat mau nulis apa lagi, apa
yang belum dicantumkan, setelah ini nulis apa. Outline membuatmu bisa berfokus
untuk menulis pada satu bab hingga selesai, kemudian setelah itu berlanjut
fokus menyelesaikan bab lain. Coba buatlah kerangka tulisan atau outline untuk
naskahmu, ia akan menjadi pemandu yang sangat berguna dalam menyelesaikan
tulisanmu.Jadi, jika naskahmu tidak kunjung selesai, cobalah buat outline. Apa
saja di bab 1 sampai bab terakhir, lalu gunakan sebagai pemandu dalam
menyelesaikan menulis novelmu.
Dengan outline juga, kita bisa menulis dengan
‘melompat-lompat bab’ tanpa kehilangan alur utama atau cerita besarnya. Kamu
bisa menulis lompat-lompat bab kayak gini tanpa kamu jadi kebingungan bab-bab
mana yang belum dan sudah ditulis. Misal, kamu mau menulis bab terakhir dulu.
Lalu lompat ke bab tengah, lalu balik lagi nulis bab terakhir. Bab 1 baru
belakangan ditulisnya. Jadinya, kamu nggak bakal kehilangan jejak saat sedang
menyelesaikan menulis naskahmu, karena kamu selalu bisa menenggok ke outline
awal. Dalam hal ini, outline merekam ‘kerangka besar tulisanmu.’ Kita juga jadi
tahu, misal bab 1 kurang banyak, bab 3 belum dicari datanya, bab 7 kurang
dipoles, bab 9 terlalu tipis halamannya, dll.
“Jika kau ingin menulis naskah yang bagus, terlebih dulu kau
harus membuat outline atau kerangka tulisan yang bagus.” (Brad Zomick)
Drama Korea mungkin bisa digunakan sebagai contoh. Jika kita
perhatikan, drama Korea itu episodenya pendek-pendek (rata-rata 20 episode)
tapi anehnya kok selalu enak ditonton ulang. Ini karena serial Korea naskahnya
ditulis dengan outline yang bagus. Ada awal dan ada ending yang jelas serta sudah
dipikirkan jauh sebelum filmnya dibuat. Bab-bab (episode-episode) pun jelas.
Penulis naskahnya hanya akan bikin 20 episode dan tidak ditambah lagi. Ada
batas tegas dalam outline yang membuat tulisan fokus dan tidak luber ke
mana-mana sehingga cerita pun jadi lebih kuat. Bandingkan dengan (maaf)
sinetron kita yang tamatnya entah kapan, ceritanya sampai ke mana-mana dan
diulang-ulang, makanya nggak memorable. Batasi jumlah bab dalam naskahmu,
batasi juga kapan kamu akan selesai menulis bab-bab tersebut. Lalu, kerjakan.
Penulis itu menulis, bukan kebanyakan marathon drama Korea hahahaha.
3. Menulis tanpa DL (Tenggat/Batas Waktu)
Satu lagi kenapa naskahmu nggak selesai-selesai, kamu nggak
kasih batas waktu kapan kamu harus menyelesaikan menulisnya. Membuat DL untuk
menyelesaikan menulis naskah ibaratnya merencanakan kepastian dari kapan naskah
novelmu akan selesai kamu tulis. Sudah pada tahu kan kalau digantungin itu
bikin nyesek? Menulis novel tanpa ada kepastian itu juga semacam PHP sama
naskah loh. Nah novelmu juga merasakan nyesek yang sama kalau kamu
terus-menerus nggak kasih kepastian kapan selesai ditulisnya.
Mengapa memberi DL pada diri sendiri itu penting? Karena DL
mengingatkan kita bahwa waktu terus berlalu dan dia tidak akan mau menunggu
kamu. Tidak peduli meski kamu meratap-ratap agar Oktober bisa diperpanjang
lagi, waktu tidak mau berputar ulang. Inilah salah satu fungsi penting dari DL.
Dengan DL, kita diingatkan bahwa waktu kita terbatas di dunia ini. Sungguh rugi
mereka yang selalu menunggu waktu terbaik sebelum berbuat. Dengan DL pula, kita
jadi bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu, termasuk dalam menulis, agar
tidak menyia-nyiakan waktu yang ada.
Ada juga yang bilang bahwa DL adalah inspirasi yang paling
ampuh. Banyak penulis besar yang jadi terpacu menulis karena ada tenggat waktu.
Ingat juga saat kita garap tugas sekolah/kuliah yg biasanya selalu mepet dengan
DL. Garap tugas entah kenapa kok rasanya jadi semangat kalau sudah dekat DL.
Nah, adanya DL inilah yang bikin kita terpaksa menulis tugas. Kasusnya juga
berlaku pada para penulis. Banyak penulis pemula yang malas memulai menulis
karena banyak alasan, mulai dari nggak pede hingga belum riset. DL memaksa kita
untuk mau-nggak-mau harus menulis kalau tidak ingin terlambat. Inilah kuncinya,
DL memaksa kita menulis. Banyak yang ingin jadi penulis tetapi giliran disuruh
menulis kok rasanya mending CoC-an. Dengan DL, paling tidak kamu jadi mulai
menulis.
Jadi, buatlah batas waktu kapan kamu akan selesai menulis
naskahmu. DL akan membuatmu bergerak, memaksamu memulai, dan mendorongmu
beraksi. Mulai sekarang, berhenti berkata: Aku akan menyelesaikan menulis novel
ini. Gantilah dengan, Aku akan menyelesaikan menulis novel ini tanggal 1 bulan
depan (atau beri batas waktu yang tegas) untuk memacumu menyelesaikan tulisanmu.
4. Takut Sama Tulisannya Sendiri
Ada loh yang tulisan tak selesai gara-gara penulisnya takut,
ragu, bahkan benci sama tulisannya sendiri. Ada juga yang malas menyelesaikan
menulis apa yang telah ditulisnya karena dia tidak pede dengan apa yang telah ditulisnya.
Bisa jadi, dia merasa tulisannya jelek dan sampah dan karena itu mending tidak
usah diselesaikan dan cukup disimpan saja di file komputer.
Ketahuilah, bahwa tidak semua tulisan bagus langsung jadi
bagus ketika pertama kali ditulis. Memang ada, tapi yang begitu sangat jarang.
Kebanyakan tulisan bagus adalah tulisan yang biasa-biasa saja saat pertama kali
ditulis. Tulisan itu jadi makin bagus setelah ditulis ulang. Banyak penulis
yang menulis dengan cara ditulis aja dulu, nanti masih bisa diperbaiki dan
disempurnakan kemudian. Tulisan pertama tidaklah harus sempurna. Itulah mengapa
dia disebut tulisan pertama, karena bakal ada tulisan kedua, ketiga, dan
selanjutnya.
Naskah pertama tidak dimaksudkan untuk harus sempurna. Naskah
pertama dimaksudkan untuk “ditulis saja”. (Karen Miller)
Banyak penulis besar yang memilih menulis dulu (walau masih
kasar dan jelek) hingga selesai dan kemudian baru diperbaiki dan disempurnakan.
Penulis laris The Kite Runner, Khalled Housseni, lebih suka menulis secara
spontan dan membiarkan pikirannya bebas mengalir tanpa batasan. Akibatnya,
sering kali hasil tulisannya tidak sebagus seperti yang diharapkannya. Banyak
salah kalimat, bolong logika, dan alur yang aneh. Tetapi, beliau rajin dan
tekun menulis ulang naskah, beliau tidak malas menyunting tulisannya sendiri
untuk memperbaiki apa-apa yang kurang. Naskah pertama baginya adalah draf kasar
yang perlu dipermak, dipoles, ditambah, dipotong, dan diperbaiki. “Good writing
is not always perfect from its beginning. It comes from revision.” Tulisan
bagus tidak selalu sudah sempurna di awal.
Lebih baik menulis sesuatu yang jelek sampai selesai,
ketimbang nggak pernah selesai menulis apa pun karena takut tulisannya jelek.
Karena tulisan yang jelek masih bisa diperbaiki, direvisi, diedit ulang, dan
disempurnakan. Tapi, tulisan yg tak pernah ditulis, tidak bisa. Jangan pernah
takut menyelesaikan tulisanmu. Kelak, kamu akan berterima kasih karena pernah
menulisnya ketimbang tidak pernah menulisnya.
5. Menulis Sambilan
Maksudnya menulis sambil mengedit, sambil buka sosmed, sambil
nonton drama Korea, sambil main game, sambil males. Satu lagi sebab mengapa
banyak calon penulis gagal menyelesaikan naskahnya, yakni karena kita jadi
“penulis sambilan.” Maksudnya, kita menulis tapi sambil mengedit, sambil
marathon nonton film seri, sambil buka sosial media, sambil main hape. Karena
menulisnya sambil-sambil, maka naskahnya pun juga ikut sambil lalu. Akhirnya
bisa ditebak, tulisannya lama banget selesainya. Mohon, menulislah dan hanya
menulislah ketika kamu sedang menulis. Mohon jangan disambi buka sosial media
atau nonton Uttaran. Bagi waktu dengan baik, menulis saat menulis dan baru
setelah itu bisa main sosmed atau game. Jangan dicampur atau barengan, bahaya!
Seorang penulis yang baik selalu meluangkan waktu untuk menulis, dan bukan
sekadar menulis saat ada waktu luang. Jika kamu sudah berkomitmen untuk jadi
penulis dan menyelesaikan menulis naskah, kamu harus menempatkan aktivitas
menulis sebagai prioritas.
Akan lebih baik lagi jika aktivitas menulis ini tidak hanya
jadi prioritas, tetapi juga sebuah rutinitas. Tidak perlu lama, dalam waktu
pendek pun asal dilakukan secara rutin maka tulisanmu akan cepat selesai.Haruki
Murakami biasa bangun jam 4 pagi untuk menulis naskah novelnya selama 5 – 6
jam, setelah itu dia tetap melakukan aktivitas lain. Hemingway memiliki
kebiasaan untuk bangun pagi-pagi untuk menulis. Waktu menulisnya mungkin tidak
panjang, tetapi dia rutin melakukannya. Setiap kita sama memiliki waktu 24 jam
dalam sehari. Jika para penulis dunia bisa menyisihkan waktu untuk menulis,
kita harusnya juga bisa.Intinya bukan pada “kapan saya bisa menulis?” tetapi
“bagaimana agar saya bisa punya waktu untuk menulis?”
Selalu ada jalan bagi mereka yang memiliki keinginan dan
semangat kuat untuk menjadi penulis. Waktu itu selalu ada jika kita
meluangkannya.Pada dasarnya, selesai atau tidak seselesainya naskahmu hanya
ditentukan oleh satu hal: tindakan menulis. Karena seorang calon penulis yang
baik akan menulis dan menyelesaikan naskahnya, sementara seorang pemimpi terus
bermimpi tapi tidak menulis.
[Sumber : Blogdivapress.com]
No comments:
Post a Comment