Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Sunday, May 15, 2016

    Tentara AS Temukan Islam di Penjara Paling Mengerikan

    Hidayah Allah bisa datang kepada siapa saja. Kapan saja, dan di mana saja. Jika Allah sudah berkehendak, tak ada yang bisa mencegahnya.

    Itulah yang dirasakan oleh Terry Colin Holdbrooks. Dia mengenal Islam justru bukan dari masjid atau surau. Tentara Amerika Serikat itu menemukan Islam di dalam penjara paling mengerikan di dunia: Guantanamo!

    Holdbrooks bukanlah pria yang tumbuh dari keluarga religius. Sampai lulus SMA, dia tak tahu tujuan hidup. Hingga akhirnya melihat iklan di televisi tentang perekrutan militer AS.

    Dia tertarik. Dan mengajukan lamaran. Tapi ditolak. Mencoba lagi, kembali ditolak. Holdbrooks baru diterima setelah lamaran ke empat. Setelah menjalani tes, dia ternyata mendapat nilai tinggi.

    Tim rekrutmen mengundangnya kembali. Berdiskusi tentang karier di militer AS yang akan dia jalani. Dan pada 2002, Holdbrooks bergabung dengan tentara dan mulai latihan sebagai polisi militer.

    Pada Mei 2002, Holdbrooks dikirim ke kamp tehanan Guantanamo Bay. Militer AS selalu menyiapkan personelnya sebelum dikirim ke sana. Holdbrooks dan kawan-kawannya dicekoki propaganda.

    Di kamp pelatihan, saban hari mereka didoktrin bahwa penghuni penjara itu adalah orang yang paling buruk di antara orang terburuk di dunia. Para tahanan yang mayoritas Muslim itu disebut teroris.

    Tak hanya itu, doktrin yang dijejalkan ke otak Holdbrooks dan personel lain menyebut bahwa para tahanan itu sangat membenci dan semua ingin membunuh orang AS. Dan semua itu terkait Islam.

    Propaganda meresap. Para tentara itu dikirim ke Guantanamo dengan pesawat. Dalam hati mereka telah tertancap kebencian terhadap Muslim. Itu juga dirasakan Holdbrooks.

    Tapi, setelah tiba di Guantanamo, Holdbrooks sungguh terkejut. Di sana dia melihat pemandangan yang sangat berbeda dengan gambaran sebelumnya. Sama sekali berbeda dari yang diinformasikan sebelumnya.

    Dari 780 tahanan, ada dua remaca berusia 13 tahun. Ada pula kakek-kakek yang berusia lebih dari 70-an tahun. Tak ada tanda-tanda kebrutalan pada mereka.

    Para tahana itu adalah orang-orang Muslim dari 46 negara, berbicara dalam 18 bahasa berbeda. Mayoritas dari mereka ditahan tanpa musabab yang jelas. Bukti penangkapan tak cukup kuat untuk menahan mereka di Guantanamo. Penjara paling mengerikan itu.

    Lambat laun, tabir kebohongan di Guantanamo mulai tersibak. Holdbrooks mulai melihat kebenaran dan keyakinan.

    Di Guantanamo itu, Holdbrooks menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana penjaga memerlakukan tahanan dengan buruk. Untuk meruntuhkan semangat tahanan, para penjaga terkadang mengambil Alquran dari mereka. Membuang dan bahkan merobeknya.

    Tak hanya itu. Raung kesakitan selalu menggema di kamp itu. Tanda penjaga tengah menyiksa tahanan. Holdbrooks mulai bertanya tentang apa yang tengah dia jalani saat itu.

    “Apakah ini tentara yang kuikuti? Apakah ini yang diperjuangkan negaraku? Apakah ini perilaku yang dilakukan Amerika? Apakah ini membuat negaraku bangga?” Berbagai tanya itu menggumpal dalam benak dan hati Holdbrooks.

    Dia tak suka dengan kondisi itu. Setiap hari setelah berjaga, dia pulang ke rumah. Minum sebanyak-banyaknya untuk menenangkan diri. Dia tidur larut malam. Semua dilakukan untuk menghilangkan rasa bersalah dan malu. Tapi kondisi itu malah bertambah buruk.

    Dia lalu mulai memperhatikan perilaku para tahanan. Di tengah siksaan yang mendera, seperti dicambuk dan siksaan yang tak berperi itu, Holdbrooks melihat para tahanan masih saja berdoa.

    Holdbrooks melihat para tahanan menjalankan salat saban pagi, siang, sore, dan bahkan malam hari. Para tahanan itu berwudu. Berdoa kepada Allah. Baik berjamaah maupun sendiri-sendiri.

    Dari sanalah mata Holdbrooks terbuka. Sadar bahwa para tahanan itu sangat percaya Allah mempedulikan mereka. Dan seorang tahanan yang beruntung masih memiliki Alquran, mengajak sesama tahanan untuk membacanya.

    Mereka tersenyum. Bicara mereka pelan, tak kasar. Mereka tak menenggak alkohol, juga tak menyantap daging babi.

    Perilaku ini membuat Holdbrooks bingung. Pasti ada sesuatu yang keliru. Sesuatu yang tidak disampaikan oleh militer AS kepadanya.

    Dalam hati dia berkata. “Bagaimana bisa mereka masih punya keyakinan, kekuatan, dan kedamaian hati untuk berdoa kepada Allah? Mengapa mereka berdoa? Mengapa aku tak punya kebahagiaan itu? Mengapa aku tak punya kedamaian itu? Aku ingin itu.”

    Saat Holdbrooks bertanya kepada para tahanan, mengapa mereka masih punya keyakinan meski menghadapi kemungkinan terburuk yang tak pernah dibayangkan, mereka menjawab, “Allah hanya menguji agama kami, keyakinan kami. Kami bisa melewati ini.”

    Jawaban itu membawa Holdbrooks mendalami konsep agama. Dia mulai membaca buku-buku Islam. Duduk di lantai, di luar sel tahanan, dia bertanya kepada seorang tahanan khusus.

    Setelah itu, dia mulai membaca Alquran. Mulailah Holdbrooks mengubah gaya hidupnya. Meski belum siap menjadi Muslim, dia berusaha sedikit demi sedikit.

    Dia berhenti minum alkohol. Tak lagi makan babi. Mengurangi rokok. Dia menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca. Dan yang mengagumkan, dia menjadi lebih bahagia.

    Dan pada 29 Desember 2003, Holdbrooks membaca Syahadat di depan tahanan khusus yang menjadi pembimbingnya. Holdbrooks menjadi Muslim.

    Pada akhir 2004, Holdbrooks tak lagi berdinas militer. Dia kembali ke AS dengan memori menakutkan tentang Guantanamo. Namun kemudian dia menemukan jalan untuk menjalani kehidupannya lagi.

    Dia terus belajar hidup sebagai Muslim. Dia kembali bersekolah, hingga merengkuh gelar sarjana sosiologi dari Arizona State University. Kini dia aktif menuntut penutupan Guantanamo. Penjara paling mengerikan itu. (Ims, Sumber: Saudi Gazette) 

    No comments:

    Post a Comment