Bagaimanakah perasaan Anda jika rumah anda kedatangan tamu seorang gubernur yang diutus oleh presiden untuk meminang putri anda untuk putranya yang tampan dan nantinya akan menjadi pengganti ayahnya? Anda tentu saja sangat senang, bukan? Bahkan bisa saja di antara anda ada yang pingsan atau bahkan gila karena terlalu gembira. Tapi tidak demikian dengan Sa’id bin al-Musayyab. Sayyidut tabi’in ini memiliki seorang putri cantik yang terdidik secara baik yang tumbuh menjadi perempuan pintar dan baik. Tentang kepintaran putri Sa’id ini, Abdullah bin Abi Widā’ah (suaminya) berkata, “Permasalahan rumit yang tidak mampu dijawab oleh fuqaha’, saya dapatkan jawabannya dari dia’’.
Cerita menarik tentang perjodohan putri Sa’id bin al-Musayyab ini barangkali menarik dan baik untuk dijadikan contoh serta teladan bagi orang tua yang mengharapkan kebahagian dunia dan akhirat untuk putrinya. Sebelum dijodohkan dengan Abdullah bin Abi Widā’ah, putri Sa’id ini pernah dipinang oleh putra Abdul Malik bin Marwan. Mendengar kabar kepintaran, kemuliaan, kecantikan, dan ditambah dengan nasabnya yang merupakan keturunan klan Quraisy ini, Abdul Malik bin Marwan tertarik untuk meminang putri Sa’id bin al-Musayyab untuk putranya yang bernama al-Walid. Melalui beberapa orang utusan keinginan ini dia sampaikan kepada gubernur Madinah yaitu Hisyam bin Isma’il al-Makhzumi yang merupakan kerabat Sa’id bin al-Musayyab. Hisyam sangat gembira mengetahui keinginan Abdul Malik ini sehingga dia menyampaikan kabar ini kepada para tokoh-tokoh di Madinah. Dengan penuh keyakinan, Hisyam disertai utusan Abdul Malik bin Marwan berangkat menuju rumah Sa’id bin al-Musayyab. Tak terlintas sedikitpun dalam hati mereka bahwa pinangan Abdul Malik ini akan ditolak. Siapa yang akan menolak putrinya dipinang anak seorang raja?
Namun bagaimana kenyataannya? Apakah Sa’id bin al-Musayyab senang menjadi besan seorang raja? Apakah Sa’id bin al-Musayyab bangga putrinya dipinang putra seorang yang bertahta dan berharta? Ternyata tidak. Sa’id tidak bahagia apalagi bangga. Sesampai di rumah Sa’id bin al-Musayyab, setelah mereka menyampaiakan keinginan Abdul Malik bin Marwan, mereka justru dikagetkan oleh penolakan Sa’id atas pinangan ini. Bahkan meski berulangkali mereka membujuk Sa’id agar menerima, namun dia tetap menolak. Baginya kemulian bukan ditentukan oleh seberapa banyak uang yang dimiliki dan bukan pula seberapa tinggi jabatan yang dia duduki, tapi seberapa tinggi ketakwaannya kepada Allah. Benar, Al-Walid adalah putra seorang raja yang memilki kedudukan tinggi dan memiliki harta yang banyak, tapi baginya yang terpenting bukan itu. Di dunia barangkali putrinya bisa hidup enak dengan kedudukan yang tinggi dan harta yang banyak, tapi bagaimana di akhirat kelak? Bukankah harta, kedudukan dan semua yang kita miliki, di akhirat kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah? Bahkan bukankah bisa saja, tahta dan harta tersebut yang justru menjadi penyebab seseorang terlempar ke dalam neraka?
Bagi Sa’id, yang paling penting purtinya menikah dengan orang yang bertakwa kepada Allah. Karena takwa adalah wasiat Tuhan kepada seluruh umat manusia dan dengan ketakwaan pula Tuhan menilai kemuliaan manusia.
Sa’id menolak dengan halus lamaran Abdul Malik bin Marwan. Lalu apa keputusan dia selanjutnya? Dengan siapa dia menikahkan putrinya yang cantik, pintar dan baik itu? Sebagai seorang Muslim yang baik, Sa’id selalu berinteraksi dengan manusia dengan prinsip dan etika yang diajarkan Islam. Allah berfirman dalam al-Qur’an:
“sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwa.”
Prinsip ketakwaan ini diterapkan juga dalam memilih siapa yang cocok untuk putrinya. Di antara murid-muridnya, Sa’id melihat seorang murid yang rendah hati, saleh dan bertakwa. Dia selalu berusaha untuk meraih rida Allah. Murid yang sangat beruntung itu adalah Abdullah bin Abi Widā’ah.
Dalam beberapa hari muridnya ini tidak mengikuti pengajian Sa’id bin al-Musayyab. Maka sebagai guru yang baik, Sa’id menanyai alasan ketidakhadirannya: “Hai Abdullah, kemana saja kamu? Mengapa kamu tidak mengikuti pengajian dalam beberapa hari ini?” Abdullah bin Abi Widā’ah berkata, “istriku sakit maka aku menemaninya. Lalu dia meninggal maka aku menguburkannya”. Lalu Sa’id berkata dengan tulus, “Hai Abdullah, kenapa kamu tidak memberitahu bahwa istrimu sakit, maka aku bisa menjenguknya? Kenapa kamu tidak memberitahu berita kewafatannya, maka aku bisa menghadiri jenazahnya? Kemudian Sa’id bertakziah dan berdoa agar Abdullah diberi pahala dan kesabaran dan agar istrinya yang telah meninggal diberi rahmat dan ampunan. Kemudian Sa’id mengingatkan muridnya ini terhadap pesan Islam. Dia berkata, “Hai Abdullah, menikahlah! Jangan sampai kamu menghadap Allah dalam kondisi tidak nikah!” Abdullah berkata dengan rendah hati, “Mudah-mudahan Allah merahmati anda. Siapa yang mau menikahkan putrinya denganku. Demi Allah, aku tidak memiliki uang kecuali empat dirham.” Mendengar perkataan Abdullah ini, Sa’id berkata, “Subhanallah, bukankah empat dirham itu bisa menjaga orang muslim (dari meminta-minta kepada orang lain apalagi mencuri)? Wahai Abdullah, aku akan nikahkan kamu dengan putriku jika kamu mau?” Mendengar tawaran gurunya, Abdullah diam karena merasa malu. Maka Sa’id berkata, “Hai Abdullah, kenapa kamu diam? Apa kamu tidak suka dengan tawaranku?’’ Abdullah berkata, “Semoga Allah merahmatimu. Apakah ada manusia yang menolak tawaran seperti ini? Demi Allah, aku tahu jika kamu mau, kamu bisa menikahkan putrimu dengan mahar empat ribu dan empat ribu.’’ Lalu Abdullah dikejutkankan dengan perkataan Sa’id,’’ berdirilah wahai Abdullah, undanglah kemari seklompok kaum Anshor!”. Menerima permintaan Sa’id tersebut, Abdullah segera mengundang satu halaqah dari kelompok kaum Anshor, lalu Sa’id menikahkan Abdullah dengan putrinya dan mempersaksikan pernikahan tersebut kepada mereka”.
Setelah akad nikah itu selesai mereka melaksanakan salat Isya’ di dalam Masjid Nabawi, lalu mereka semua pulang ke rumah masing-masing. Sesampai di rumah, Sa’id berkata kepada putrinya, “nak, ikat pakaian-pakaianmu lalu ikut aku!’’ Seusai putrinya mengikat pakaian-pakainnya Sa’id berkata lagi, “sholatlah dua rakaat!”. Lalu dia melaksanakan sholat dua rakaat dan Sa’id juga demikian. Selesai salat mereka berdua pergi menuju rumah Abdullah bin Abi Widā’ah.
Sementara itu, Abdullah yang pada hari itu berpuasa sesampai di rumah langsung melaksanakan buka puasa dengan roti. Seperti kebiasaannya dia cepat tidur setelah Isya’ supaya bisa bangun di sepertiga malam yang akhir untuk bertahajjud dan beribadah sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Tatkala hendak tidur dia mendengar ada orang mengetuk pintu, lalu dia bertanya:’’ siapa ini?’’ ‘’Sa’id’’ begitu jawaban yang terdengar dari luar.
Terkait dengan ini, Abdullah berkata, “Demi Allah terlintas dalam benakku semua orang yang bernama Sa’id di Madinah kecuali Sa’id bin Musayyab. Karena dia tak pernah keluar dari rumah kecuali untuk menghadiri jenazah atau ke Masjid. Lalu aku bertanya lagi, “Sa’id siapa?”. Dia menjawab, “Saya Sa’id bin al-Musayyab’’. Lalu aku gemetar. Jangan-jangan Syaikh Sa’id menyesal. Jangan-jangan beliau datang untuk meminta pernikahan purtrinya digagalkan. Lalu aku keluar dan membuka pintu. Tatkala itu aku melihat seorang gadis bersama pelayan dan barang-barangnya. Syaikh Sa’id mengucapkan salam kepadaku, lalu beliau berkata,’’ Hai Abdullah, ini istrimu’’. Aku menjawab dengan penuh rasa malu, “Semoga Allah merahmati anda, sebenarnya saya ingin diundur dulu selama beberapa hari’’. ‘’kenapa? bukankah kamu telah bilang punya uang empat dirham?’’, kata Syaikh Sa’id bin al-Musayyab. “benar seperti yang aku katakan kepada anda, tapi aku pingin diundur beberapa hari’’, kataku. Beliau berkata, “………….ini istrimu, ini barang-barangmu dan ini pembatu yang akan membantumu. Dia memegang uang seribu dirham sebagai nafkah untukmu. Ambillah wahai Abdullullah dengan amanat Allah! Demi Allah, kamu telah beristri wanita yang selalu berpuasa di siang hari, selalu melaksanakan sholat di malam hari, dan mengetahui kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Maka bertakwalah kamu kepada Allah di dalam menjaganya. Jika ada yang tidak kamu suka dari perbuatannya, maka janganlah kedudukanku menghalangimu untuk menegur dan mendidiknya!’’.
Setelah Sa’id bin al-Musayyab pulang, Abdullah memanggil dan mengabarkan kabar bahagia tersebut kepada para tetangganya, termasuk pula kepada ibunya. Setelah mendengar kabar itu, ibu Abdullah berkata, “wajahku dari wajahmu haram jika kamu menyentuhnya sebelum aku rias dia selama tiga hari.” Setelah tiga hari, Abdullah baru menemuinya dan ternyata dia merupakan wanita yang sangat cantik, sangat hafal kitab Allah, sangat mengerti sunnah Rasulullah dan sangat tahu hak-hak suami.
Masyaa Allah, masih adakah seorang bapak yang seperti Sa’id bin al-Musayyab dan masih adakah seorang putri yang seperti putri beliau? Seorang bapak dan seorang putri yang pandangannya terhadap manusia selalu berdasarkan prinsip dan ajaran Islam, yaitu, “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwa.”
(Disarikan dari kitab Imām al-Tābi’in Sa’id ibn al-Musayyab karya Syaikh al-Azhar Abdul Halim Mahmud)
Cerita menarik tentang perjodohan putri Sa’id bin al-Musayyab ini barangkali menarik dan baik untuk dijadikan contoh serta teladan bagi orang tua yang mengharapkan kebahagian dunia dan akhirat untuk putrinya. Sebelum dijodohkan dengan Abdullah bin Abi Widā’ah, putri Sa’id ini pernah dipinang oleh putra Abdul Malik bin Marwan. Mendengar kabar kepintaran, kemuliaan, kecantikan, dan ditambah dengan nasabnya yang merupakan keturunan klan Quraisy ini, Abdul Malik bin Marwan tertarik untuk meminang putri Sa’id bin al-Musayyab untuk putranya yang bernama al-Walid. Melalui beberapa orang utusan keinginan ini dia sampaikan kepada gubernur Madinah yaitu Hisyam bin Isma’il al-Makhzumi yang merupakan kerabat Sa’id bin al-Musayyab. Hisyam sangat gembira mengetahui keinginan Abdul Malik ini sehingga dia menyampaikan kabar ini kepada para tokoh-tokoh di Madinah. Dengan penuh keyakinan, Hisyam disertai utusan Abdul Malik bin Marwan berangkat menuju rumah Sa’id bin al-Musayyab. Tak terlintas sedikitpun dalam hati mereka bahwa pinangan Abdul Malik ini akan ditolak. Siapa yang akan menolak putrinya dipinang anak seorang raja?
Namun bagaimana kenyataannya? Apakah Sa’id bin al-Musayyab senang menjadi besan seorang raja? Apakah Sa’id bin al-Musayyab bangga putrinya dipinang putra seorang yang bertahta dan berharta? Ternyata tidak. Sa’id tidak bahagia apalagi bangga. Sesampai di rumah Sa’id bin al-Musayyab, setelah mereka menyampaiakan keinginan Abdul Malik bin Marwan, mereka justru dikagetkan oleh penolakan Sa’id atas pinangan ini. Bahkan meski berulangkali mereka membujuk Sa’id agar menerima, namun dia tetap menolak. Baginya kemulian bukan ditentukan oleh seberapa banyak uang yang dimiliki dan bukan pula seberapa tinggi jabatan yang dia duduki, tapi seberapa tinggi ketakwaannya kepada Allah. Benar, Al-Walid adalah putra seorang raja yang memilki kedudukan tinggi dan memiliki harta yang banyak, tapi baginya yang terpenting bukan itu. Di dunia barangkali putrinya bisa hidup enak dengan kedudukan yang tinggi dan harta yang banyak, tapi bagaimana di akhirat kelak? Bukankah harta, kedudukan dan semua yang kita miliki, di akhirat kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah? Bahkan bukankah bisa saja, tahta dan harta tersebut yang justru menjadi penyebab seseorang terlempar ke dalam neraka?
Bagi Sa’id, yang paling penting purtinya menikah dengan orang yang bertakwa kepada Allah. Karena takwa adalah wasiat Tuhan kepada seluruh umat manusia dan dengan ketakwaan pula Tuhan menilai kemuliaan manusia.
Sa’id menolak dengan halus lamaran Abdul Malik bin Marwan. Lalu apa keputusan dia selanjutnya? Dengan siapa dia menikahkan putrinya yang cantik, pintar dan baik itu? Sebagai seorang Muslim yang baik, Sa’id selalu berinteraksi dengan manusia dengan prinsip dan etika yang diajarkan Islam. Allah berfirman dalam al-Qur’an:
“sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwa.”
Prinsip ketakwaan ini diterapkan juga dalam memilih siapa yang cocok untuk putrinya. Di antara murid-muridnya, Sa’id melihat seorang murid yang rendah hati, saleh dan bertakwa. Dia selalu berusaha untuk meraih rida Allah. Murid yang sangat beruntung itu adalah Abdullah bin Abi Widā’ah.
Dalam beberapa hari muridnya ini tidak mengikuti pengajian Sa’id bin al-Musayyab. Maka sebagai guru yang baik, Sa’id menanyai alasan ketidakhadirannya: “Hai Abdullah, kemana saja kamu? Mengapa kamu tidak mengikuti pengajian dalam beberapa hari ini?” Abdullah bin Abi Widā’ah berkata, “istriku sakit maka aku menemaninya. Lalu dia meninggal maka aku menguburkannya”. Lalu Sa’id berkata dengan tulus, “Hai Abdullah, kenapa kamu tidak memberitahu bahwa istrimu sakit, maka aku bisa menjenguknya? Kenapa kamu tidak memberitahu berita kewafatannya, maka aku bisa menghadiri jenazahnya? Kemudian Sa’id bertakziah dan berdoa agar Abdullah diberi pahala dan kesabaran dan agar istrinya yang telah meninggal diberi rahmat dan ampunan. Kemudian Sa’id mengingatkan muridnya ini terhadap pesan Islam. Dia berkata, “Hai Abdullah, menikahlah! Jangan sampai kamu menghadap Allah dalam kondisi tidak nikah!” Abdullah berkata dengan rendah hati, “Mudah-mudahan Allah merahmati anda. Siapa yang mau menikahkan putrinya denganku. Demi Allah, aku tidak memiliki uang kecuali empat dirham.” Mendengar perkataan Abdullah ini, Sa’id berkata, “Subhanallah, bukankah empat dirham itu bisa menjaga orang muslim (dari meminta-minta kepada orang lain apalagi mencuri)? Wahai Abdullah, aku akan nikahkan kamu dengan putriku jika kamu mau?” Mendengar tawaran gurunya, Abdullah diam karena merasa malu. Maka Sa’id berkata, “Hai Abdullah, kenapa kamu diam? Apa kamu tidak suka dengan tawaranku?’’ Abdullah berkata, “Semoga Allah merahmatimu. Apakah ada manusia yang menolak tawaran seperti ini? Demi Allah, aku tahu jika kamu mau, kamu bisa menikahkan putrimu dengan mahar empat ribu dan empat ribu.’’ Lalu Abdullah dikejutkankan dengan perkataan Sa’id,’’ berdirilah wahai Abdullah, undanglah kemari seklompok kaum Anshor!”. Menerima permintaan Sa’id tersebut, Abdullah segera mengundang satu halaqah dari kelompok kaum Anshor, lalu Sa’id menikahkan Abdullah dengan putrinya dan mempersaksikan pernikahan tersebut kepada mereka”.
Setelah akad nikah itu selesai mereka melaksanakan salat Isya’ di dalam Masjid Nabawi, lalu mereka semua pulang ke rumah masing-masing. Sesampai di rumah, Sa’id berkata kepada putrinya, “nak, ikat pakaian-pakaianmu lalu ikut aku!’’ Seusai putrinya mengikat pakaian-pakainnya Sa’id berkata lagi, “sholatlah dua rakaat!”. Lalu dia melaksanakan sholat dua rakaat dan Sa’id juga demikian. Selesai salat mereka berdua pergi menuju rumah Abdullah bin Abi Widā’ah.
Sementara itu, Abdullah yang pada hari itu berpuasa sesampai di rumah langsung melaksanakan buka puasa dengan roti. Seperti kebiasaannya dia cepat tidur setelah Isya’ supaya bisa bangun di sepertiga malam yang akhir untuk bertahajjud dan beribadah sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Tatkala hendak tidur dia mendengar ada orang mengetuk pintu, lalu dia bertanya:’’ siapa ini?’’ ‘’Sa’id’’ begitu jawaban yang terdengar dari luar.
Terkait dengan ini, Abdullah berkata, “Demi Allah terlintas dalam benakku semua orang yang bernama Sa’id di Madinah kecuali Sa’id bin Musayyab. Karena dia tak pernah keluar dari rumah kecuali untuk menghadiri jenazah atau ke Masjid. Lalu aku bertanya lagi, “Sa’id siapa?”. Dia menjawab, “Saya Sa’id bin al-Musayyab’’. Lalu aku gemetar. Jangan-jangan Syaikh Sa’id menyesal. Jangan-jangan beliau datang untuk meminta pernikahan purtrinya digagalkan. Lalu aku keluar dan membuka pintu. Tatkala itu aku melihat seorang gadis bersama pelayan dan barang-barangnya. Syaikh Sa’id mengucapkan salam kepadaku, lalu beliau berkata,’’ Hai Abdullah, ini istrimu’’. Aku menjawab dengan penuh rasa malu, “Semoga Allah merahmati anda, sebenarnya saya ingin diundur dulu selama beberapa hari’’. ‘’kenapa? bukankah kamu telah bilang punya uang empat dirham?’’, kata Syaikh Sa’id bin al-Musayyab. “benar seperti yang aku katakan kepada anda, tapi aku pingin diundur beberapa hari’’, kataku. Beliau berkata, “………….ini istrimu, ini barang-barangmu dan ini pembatu yang akan membantumu. Dia memegang uang seribu dirham sebagai nafkah untukmu. Ambillah wahai Abdullullah dengan amanat Allah! Demi Allah, kamu telah beristri wanita yang selalu berpuasa di siang hari, selalu melaksanakan sholat di malam hari, dan mengetahui kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Maka bertakwalah kamu kepada Allah di dalam menjaganya. Jika ada yang tidak kamu suka dari perbuatannya, maka janganlah kedudukanku menghalangimu untuk menegur dan mendidiknya!’’.
Setelah Sa’id bin al-Musayyab pulang, Abdullah memanggil dan mengabarkan kabar bahagia tersebut kepada para tetangganya, termasuk pula kepada ibunya. Setelah mendengar kabar itu, ibu Abdullah berkata, “wajahku dari wajahmu haram jika kamu menyentuhnya sebelum aku rias dia selama tiga hari.” Setelah tiga hari, Abdullah baru menemuinya dan ternyata dia merupakan wanita yang sangat cantik, sangat hafal kitab Allah, sangat mengerti sunnah Rasulullah dan sangat tahu hak-hak suami.
Masyaa Allah, masih adakah seorang bapak yang seperti Sa’id bin al-Musayyab dan masih adakah seorang putri yang seperti putri beliau? Seorang bapak dan seorang putri yang pandangannya terhadap manusia selalu berdasarkan prinsip dan ajaran Islam, yaitu, “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwa.”
(Disarikan dari kitab Imām al-Tābi’in Sa’id ibn al-Musayyab karya Syaikh al-Azhar Abdul Halim Mahmud)
No comments:
Post a Comment