Kisah berikut ini mengajarkan kepada
kita tentang satu hal yang barangkali beranjak disepelekan dalam kehidupan
sekarang, yaitu menepati janji.
Jika hari-hari biasa sinar matahari
begitu panas menyengat di Makkah dan Madinah, tidak hari itu. Embusan angin
menyapu lembut ke setiap penjuru kota. Menikmati kondisi tersebut, Umar bin
Khattab bersama sahabat lainnya sedang duduk-duduk setelah mengerjakan urusan
yang menjadi kewajibannya sebagai khalifah.
Umar memang terkenal loyal dengan
rakyat. Ia selalu melihat keadaan rakyatnya sebelum dia berdiskusi dengan
sahabat-sahabatnya yang membantunya dalam menjalankan pemerintahan.
"Salam, wahai Khalifah Umar. Semoga engkau selalu dalam keadaan
baik."
Umar langsung menjawab salam dan
balik mendoakannya. "Semoga engkau juga demikian, wahai anak muda."
Kata Umar kepada dua pemuda yang sedang memegangi seorang laki-laki dengan
tangan terikat.
Setelah menjawab salam, pandangan mata
Umar tidak lagi tertuju ke dua orang pemuda itu, tetapi beralih kepada
seseorang dengan tangan terikat yang datang bersama dua pemuda itu. Meski
mengetahui bahwa itu adalah ketidakadilan, Umar tak tergesa-gesa berkesimpulan.
Ia tidak mendahului bertanya sebelum mendengarkan penjelasan langsung dari
kedua pemuda itu, mengapa ia membawa seseorang kepadanya dengan tangan terikat
"Wahai Amirul Mukmin, pemuda ini
telah membunuh ayah kami." Setelah itu, pemuda yang sementara terikat
tangannya berkata. "Wahai Amirul Mukminin, dengarkanlah penjelasanku
terlebih dahulu," pintanya.
Mendengar permintaan dari pemuda yang
terikat tangannya itu, salah seorang di antara pemuda itu berkata. "Tidak,
hal itu tidaklah penting. Kamu beruntung kami tidak melakukan balas dendam
padahal ayah kami telah engkau bunuh. Kami justru membawamu kepada Khalifah
Umar," kata kedua lelaki itu dengan tinggi dan menyelak.
Kondisi mulai tegang dan Umar pun
segera menenangkan mereka yang saling beradu pendapat. Umar kemudian meminta
mereka untuk tidak emosi dalam memberi penjelasan. "Lebih baik kalian
berdua diam terlebih dahulu. Aku ingin mendengar cerita tentang kejadian
sebenarnya," kata Umar mulai membuka penyelesaian perkara.
Pemuda yang terikat tangannya segera
bercerita. Sebelum tiba di sini, ia sedang menaiki seekor unta untuk pergi ke
satu tempat. Karena terlalu letih, pemuda yang terikat itu tertidur. Namun,
ketika terbangun, ia mendapati untanya telah hilang. "Lalu saya segera
mencarinya," katanya.
Tak jauh dari lokasi dia tertidur,
pemuda itu melihat untanya sedang asyik memakan tanaman di sebuah kebun.
"Lalu saya berusaha menghalaunya, tetapi unta itu tidak juga berpindah
dari tempat dia berhenti."
Tak lama kemudian, datanglah
seseorang dan terus melempar batu ke arah untanya. Lemparan itu tepat ke arah
kepala untanya. "Maka unta saya seketika itu juga mati," kata pemuda
itu.
Pemuda itu mengakui, setelah melihat
untanya mati akibat lemparan batu tersebut, ia marah dan kesal. "Lalu saya
mengambil batu dan melempar batu tersebut ke arah orang yang melempari untaku
itu." Tak disangka, batu itu mengenai kepalanya hingga lelaki itu jatuh
tersungkur dan meninggal. "Sebenarnya saya tidak berniat untuk
membunuhnya," kata pemuda itu kepada Umar.
Mendengar penjelasan sang pemuda,
Umar memutuskan bahwa ganjaran atas perbuatannya itu adalah qisas, yaitu
hukuman mati. Pemuda itu ikhlas menerimanya.
"Wahai Amirul Mukminin,
tegakkanlah hukum Allah, laksanakan qisas atasku. Aku ridha pada ketentuan
Allah, tetapi izinkan aku menunaikan semua amanah yang tertanggung dulu."
Amanah yang tertanggung itu, katanya,
bahwa dia masih memiliki seorang adik yang juga sudah ditinggalkan ayahnya.
Sebelum meninggal, ayahnya itu telah mewariskan harta. "Dan saya
menyimpannya di tempat yang tidak diketahui oleh adik saya." katanya
Untuk itu ia meminta Khalifah Umar
berkenan memberi waktu selama tiga hari untuk pulang ke kampung agar ia bisa
menyerahkan warisan dari orang tuanya kepada adiknya. Mendengar permintaan itu,
Umar tidak buru-buru mengabulkannya sebelum ada yang memberikan jaminan.
"Siapakah yang akan menjadi penjaminmu?" tanya Umar.
Pemuda itu tertunduk bingung siapa
yang akan menjadi penjaminnya karena ia adalah orang asing. "Jadikan aku
penjaminnya, Amirul Mukminin!" Sebuah suara berat dan berwibawa menyeruak
dari arah hadirin. Suara itu, seperti dikisahkan dalam buku 19 Kisah Sahabat
Nabi, adalah suara Salman al-Farisi.
"Salman?!" hardik Umar.
Umar memberikan peringatan seakan
meminta Salman menarik kesediaannya sebagai penjamin dan Khalifah Umar berkata,
"Demi Allah, engkau belum mengenalnya! Demi Allah, jangan main-main dengan
urusan ini! Cabut kesediaanmu!" perintah Umar.
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap
perintah Khalifah Umar, Salman berkata, "Pengenalanku padanya tak beda
dengan pengenalanmu, ya Umar. Aku percaya kepadanya sebagaimana engkau
memercayainya," kata Salman yang membuat orang-orang tertegun mendengar
kata-kata bermakna itu.
Dengan berat hati, Umar melepas
pemuda itu dan menerima penjaminan yang dilakukan oleh Salman. Sementara, dua
pemuda yang ayahnya terbunuh itu harap-harap cemas.
Pada hari ketiga, Umar, para sahabat,
serta dua lelaki itu menunggu pemuda tersebut. Hingga tengah hari, pemuda itu
belum juga datang. Kedua lelaki tersebut mulai gelisah. "Hari sudah siang,
tetapi pemuda itu belum datang. Jika tidak
datang, Salman akan menjadi penggantinya menerima hukuman mati,"
kata salah seorang lelaki itu.
Waktu sudah siang dan pemuda itu
tidak kunjung datang. Salman dengan tenang dan tawakal melangkah ke tempat
qisas sebagai penerima jaminannya. Ketika Salman sudah berada di tempat akhir
hukuman, tiba-tiba sesosok bayang-bayang berlari terengah dalam temaram,
terseok terjerembab lalu bangkit dan nyaris merangkak. Pemuda itu dengan tubuh
berpeluh dan napas putus-putus ambruk ke pangkuan Umar.
"Maafkan aku hampir
terlambat!" ujar pemuda itu. Pemuda itu langsung menggantikan posisi
Salman. Pemuda itu berterima kasih kepada Salman telah bersedia menjadi
penjaminnya meski ia belum dikenalnya sama sekali.
Umar protes atas keterlambatan pemuda
itu. Namun, sang pemuda berkata, "Urusan kaumku memakan waktu. Kupacu
tungganganku tanpa henti hingga ia sekarat di gurun dan terpaksa kutinggalkan,
lalu aku berlari (ke tempat pemutusan hukuman qisas)."
Sebelum melakukan hukuman, Khalifah
Umar berkata. "Demi Allah, bukankah engkau bisa lari dari hukuman ini?
Mengapa susah payah kembali?" kata Umar sambil menenangkan dan memberinya
minum.
Setelah menerima pemberian dari Umar,
pemuda itu berkata, "Supaya jangan sampai ada yang mengatakan di kalangan
Muslimin tak ada lagi kesatria tepat janji," kata pemuda itu sambil
tersenyum.
Umar mendekati Salman yang tidak jauh
dari pemuda yang akan dieksekusi mati itu. "Mengapa kau mau menjadi
penjamin seseorang yang tak kau kenal sama sekali?"
Dengan tegas tetapi lembut menjawab
pertanyaan Khalifah Umar, Salman berkata, "Agar jangan sampai dikatakan di
kalangan Muslimin tak ada lagi saling percaya dan menanggung beban
saudara," tuturnya.
Kedua lelaki yang ayahnya telah
terbunuh lalu merasa terharu dengan sikap sang pemuda dan keberanian Salman.
Mereka berkata, "Wahai Amirul Mukminin, kami mohon agar tuntutan kami
dibatalkan. Kami telah memaafkan pemuda penepat janji ini."
Mendengar perkataan tersebut,
Khalifah Umar bertanya, "Mengapa kalian berbuat seperti itu?" tanya
Umar. "Agar jangan ada yang merasa di kalangan kaum Muslimin tak ada lagi
saling memaafkan dan kasih sayang," katanya.
"Wahai Salman, kamu sungguh
berani, dan wahai pemuda, kamu adalah al-Wafi. Kamu berdua sangat mulia, lalu
bersalamanlah dan kuatkan ukhuwah di antara kalian," kata Umar.
Sesama umat Islam memang sudah
selayaknya saling memaafkan. Allah telah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 263, "Perkataan
yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah SWT Mahakaya lagi Maha
Penyantun."
Dalam ayat itu dijelaskan, Allah
menyebut empat tingkatan kebajikan, yaitu nafkah yang terlahir dari niat yang
saleh dan pemberi nafkah tidak mengiringinya dengan menyebut-nyebutnya dan
menyinggung perasaan penerima.
Kedua, berkata yang baik, yaitu
kebajikan berupa perkataan dengan segala bentuknya yang mengandung kebahagiaan
bagi seorang Muslim, meminta maaf dari orang yang meminta apabila dia tidak
memiliki apa yang diminta, dan sebagainya dari perkataan yang baik.
Kebajikan dengan memberi maaf dan
ampunan kepada orang yang telah berlaku buruk, baik dengan perkataan maupun
dengan perbuatan. Dua yang terakhir ini lebih utama dan lebih baik dari
tingkatan berikut.
Keempat, pemberi infak itu mengiringi
infaknya dengan perlakuan menyakitkan kepada penerimanya karena dia telah
mengotori kebaikannya tersebut dan dia telah berbuat baik dan jahat
(sekaligus). Kebajikan yang murni walau sangat sedikit adalah lebih baik
daripada kebajikan yang dicampuri oleh keburukan walau kebajikan itu banyak.
https://republika.co.id/berita/piwydu313/kisah-khalifah-umar-dan-dua-pemuda-part4
No comments:
Post a Comment