Demokrasi adalah jalan darurat. Ia bukan jalan normal. Ia tidak lahir dari rahim tauhid, tapi dari rahim paganisme. Ia menokak peran Allah dalam menjaga kedaulatan negara. Demokrasi hanya mau menerima peran manusia. Ia memanjakan manusia, apapun keinginannya akan diakomodasi. Sementara kehendak Allah ditolak, sebaik apapun, jika kehendak mayoritas manusia menolak-Nya.
Tapi masalahnya, demokrasi menjadi realita kekinian umat Islam yang tak bisa ditolak. Kita mewarisinya dari pendahulu, para pendiri negeri ini. Menyalahkan para pendahulu, tak ada gunanya karena realita yang ada tak lantas berubah karenanya. Cuci tangan dari Demokrasi begitu saja, sama artinya membiarkan musuh Islam kian leluasa mendominasi kekuasaan dan kita tambah tersudut tak punya peran di tengah umat Islam sendiri.
Demokrasi memaksa kita mengambil pilihan dilematis, mau tak mau harus terlibat dalam pertarungan di panggung yang didesain oleh Demokrasi dan dengan aturan main buatan Demokrasi. Kita dipaksa untuk mengambil hak dengan cara adu banyak suara, tidak boleh pakai kekuatan senjata. Padahal adu suara sangat sulit dimenangkan karena obyeknya masyarakat luas yang rentan dengan tawaran uang. Ketika suara mayoritas sudah dikantongi sekalipun, kekuasaan belum tentu didapat. Masih harus berhadapan dengan politik dagang sapi; negosiasi kepentingan dengan koalisi yang tidak jelas. Kadang minoritas A bergabung dengan minoritas B dan C, bisa mengalahkan mayoritas tunggal yang tidak sampai 50%. Kemenangan dan kekalahan menjadi sangat labil, tak ada pijakan kaki yang kuat.
Belum lagi soal jeratan aturan main yang bersifat sistemik. Seperti keharusan menerima rumusan HAM yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kita dipaksa oleh Demokrasi untuk tidak mengusung isu agama, sebab pilihan keyakinan bersifat bebas, karenanya agama tertentu tidak boleh mendominasi konstitusi masyarakat. Dan aturan main Demokrasi yang paling merugikan, tak boleh ada sumber kebenaran tunggal, sesama agama bersifat setara, masing-masing dianggap benar secara relatif. Padahal kita sedang memperjuangkan kebenaran tunggal dan mutlak yaitu Al-Qur’an. Dalam aturan main Demokrasi, kandungan Al-Quran hanya akan menjadi masukan, bukan keharusan diterima yang bersifat sakral. Dengan aturan main ini, kita sudah kalah sebelum berperang.
Pada sisi lain, umat Islam memikul amanat memenangkan Islam dengan kemenangan mutlak atau kemenangan paripurna; musuh Islam lumpuh tak berkutik, dan Islam berdaulat penuh di muka bumi, seluruh bagian syariat dapat dilaksanakan dengan sempurna. Amanat ini hanya bisa ditunaikan dengan jalan jihad; jalan perang yakni meruntuhkan kekuatan kafir hingga rata dengan tanah. Kemenangan ini tak bisa diraih dengan negosiasi dan adu perolehan suara ala Demokrasi karena sifat labil singgasana kemenangan Demokrasi tak akan bisa menopang kemenangan mutlak. Islam harus dimenangkan dengan pijakan kokoh, dan itu hanya ada di balik jalan jihad, bukan demokrasi. Lalu di balik reruntuhan peradaban kafir itu, Islam dibangun dengan kedaulatan penuh.
Dengan demikian, Demokrasi tak bisa dijadikan jalan untuk kemenangan Islam yang paripurna. Tapi masih bisa digunakan untuk memenangkan bagian-bagian tertentu dari Islam, menggunakan ‘senjata’ tuntutan mayoritas rakyat yang beragama Islam. Meski hanya kemenangn yang labil. Atau setidaknya mengurangi daya cengkeram kebatilan di tengah masyarakat muslim. Atau menguragi madharat yang bakal menimpa umat Islam. Dari sisi ini, umat Islam dituntut untuk mendukung upaya-upaya yang dilakukan unsur umat Islam dalam membela Islam melalui jalan Demokrasi.
Bagi para aktifis yang berjuang memenangkan Islam dengan kemenangan paripurna melalui jalan jihad, mereka harus fokus pada pilihan jalannya. Tapi saat bersamaan ia harus menyediakan hati yang lapang untuk menghormati bahkan mendukung jalan yang ditempuh aktifis lain yang berjuang melalui jalur Demokrasi, sepanjang perjuangannya memang untuk Islam. Sebaliknya, bagi aktifis Islam yang bergelut dengan Demokrasi, jangan lupa Demokrasi hanya boleh digunakan dalam rangka membela kepentingan Islam dan umat Islam. Selain itu, mereka harus menyediakan dada lapang untuk menghormati dan membela aktifis lain yang fokus membangun kekuatan jihad untuk meruntuhkan singgasana kekafiran.
Persimpangan ini menjadi dilema. Kerap terjadi konflik antara pengusung jihad dengan penumpang Demokrasi (Aktifis Islam yang berjuang lewat Demokrasi). Pengusung jihad menuduh penumpang Demokrasi sebagai sesat bahkan kafir. Sebaliknya, penumpang Demokrasi mendiskreditkan kaum jihadis bahkan antipati. Mereka menuduhnya sebagai teroris jahat yang merusak citra Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Ada memang sebagian pengusung jihad yang serampangan hingga merusak nafas rahmat Islam, tapi untuk mayoritas tuduhan itu tidak akurat.
Maka diperlukan arahan yang hati-hati agar semua dilema ini terakomodasi dan melahirkan rekomendasi yang bijak, terarah dan terukur. Bukan hanya dari sisi syar’i tapi juga sisi taktik strategi pemenangan Islam. Dan rekomendasi ini bisa dipakai oleh kedua kubu sekaligus sebagai upaya mencari titik temu, sinkronisasi dan sinergi. Beberapa pertimbangan dalam interaksi dengan demokrasi sebagai berikut:
Pertama, pada asalnya Demokrasi bertolak belakang dengan Islam, karenanya tidak boleh seorang aktifis secara sengaja menempuhnya dalam kondisi normal dengan meninggalkan Islam. Tak boleh terjadi hati kecilnya lebih menyukai Demokrasi dibanding Islam. Kesadaran ini masih menjadi masalah di tengah aktifis penumpang Demokrasi. Umumnya mereka menyerahkan jiwa raganya untuk Demokrasi, dan meletakkan Islam hanya sebagai jargon pemanis dalam rangka menangguk suara pemilih yang mayoritas muslim. Demokrasi dijunjung tinggi di atas kepala dan disucikan, sementara Islam hanya dijadikan alas kaki untuk berjalan mengusung Demokrasi. Tragis. Perih. Tapi nyata. Kalau sudah begini, umat jadi serba salah.
Kedua, secara bangunan konseptual, sistem Demokrasi adalah syirik, kufur dan kontradiktif dengan Islam. Karenanya wajib disalahkan, dihujat, dan diruntuhkan dengan kekuatan argumen yang bertumpu pada khazanah ilmu Islam dan keadilan universal. Kaum jihadis umumnya sudah memainkan peran mendelegitimasi Demokrasi dalam banyak kajian mereka. Namun dari para penumpang Demokrasi belum nampak serangan mereka terhadap bangunan konseptual Demokrasi. Umumnya justru memoles wajah Demokrasi dan merendahkan Islam. Mereka tersinggung jika ada dai yang menghujat sistem Demokrasi. Mereka merasa hujatan terhadap Demokrasi bermakna hujatan terhadap para aktifis penumpang Demokrasi. Padahal serangan ilmiah ini sama sekali tak kontradiktif dengan keberadaan mereka di gerbong Demokrasi, jika saja mereka menempatkan dirinya secara benar di hadapan Demokrasi, yaitu menempuhnya melalui pintu darurat. Karenanya tidak perlu baper. Berawal dari menyerahkan jiwa raga mereka untuk Demokrasi, maka mereka marah tambatan hatinya itu diserang secara konseptual. Akibatnya Demokrasi masih duduk manis di singgasana kehormatan di mata umat.
Ketiga, menumpang kendaraan Demokrasi dalam rangka membela Islam dan umat Islam, adalah menggunakan pintu darurat sehingga tidak merubah sama sekali substansi Demokrasi yang bertolak belakang dengan Islam alias haram. Sebagai pembanding, orang yang mengkonsumsi babi karena kondisi darurat yakni menyelamatkan nyawa sama sekali tak merubah substansi babi sebagai barang haram yang harus dibenci dan dijauhi. Sikap ini akan membuat upaya membela Islam melalui Demokrasi bisa berjalan seiring dengan dakwah yang menyerang bangunan konseptual Demokrasi.
Keempat, menumpang kendaraan Demokrasi dalam mencapai tujuan, adalah bersifat sementara. Saat umat Islam sudah berhasil memukul kekuatan kekafiran, dan terbuka peluang untuk membangun kedaulatan bernegara dengan sistem Islam, para penumpag Demokrasi harus legowo melepas Demokrasi, lalu hanya mau pakai Islam. Jika momentum seperti itu masih bersikukuh dengan Demokrasi, itu artinya ia telah beraqidah Demokrasi dan menganggap Islam hanya aksesori. Ia tidak mengerti betapa mematikan racun Demokrasi. Dan tidak tahu visi pemenangan Islam yang hakiki. Celakanya, fenomena ini sudah terbaca sejak jarak kita dengan kemenangan Islam yang hakiki masih jauh. Banyak penumpang Demokrasi yang sudah kadung jatuh cinta terhadapnya sehingga gak kuasa berpisah dengannya.
Kelima, Demokrasi hanya bisa dipakai untuk memperjuangkan Islam secara parsial. Ia bukan alat yang tepat untuk meraih kemenangan Islam secara paripurna dan kokoh. Oleh karenanya, para jihadis harus mengerti bahwa mustahil menitipkan agenda pemenangan Islam yang sempurna melalui kendaraan Demokrasi. Jangan memberi beban target pencapain ideal atau terlalu berat kepada para penumpang Demokrasi. Bila itu terjadi, akhirnya akan kecewa lalu menghujat secara tidak sehat kepada para aktifis penumpang Demokrasi. Siklus saling hujat tak terelakkan.
Keenam, para penumpang Demokrasi wajib menghormati jalan jihad sebagai alat memenangkan Islam yang paripurna. Cita-cita kemenangan Islam paripurna harus pula meresap di benak sanubari para penumpang Demokrasi, meski ini bukan jalur perjalanan mereka. Jangan sampai penumpang Demokrasi salah paham dengan para pengusung jihad dengan menganggapnya sebagai para perusuh yang merusak Islam. Saling memahami peran masing-masing, dan saling mendukung akan melahirkan sinergi yang baik.
Ketujuh, para penumpang Demokrasi harus sadar, bahwa Demokrasi harus dideligitimasi dan diruntuhkan secara konseptual sebagai konsekwensi batilnya Demokrasi. Mereka tak boleh marah terhadap para dai yang menghujat Demokrasi, sebab mereka sedang menunaikan amanat dakwah. Serangan ilmiah ini tak boleh mati hanya karena menghormati para penumpang Demokrasi secara keliru. Masalah bermula ketika para penumpang Demokrasi membahasakan dirinya di hadapan umat sebagai pecinta Demokrasi dan pembelanya yang paling militan, mengalahkan militansi Barat dalam membelanya. Sikap ini membuat syubhat Demokrasi di mata umat kian parah. Toh jika para penumpang Demokrasi mengakui bahwa keberadaan mereka di kendaraan Demokrasi adalah karena tuntutan situasi darurat, umat akan bisa memahami dan syubhat batilnya Demokrasi bisa dikikis.
Kedelapan, kisruh dan konflik yang terjadi antara kaum jihadis dengan para penumpang Demokrasi lahir karena masing-masing tak sadar peran. Padahal keduanya dibutuhkan umat dalam rangka memperbaiki keadaan umat dan Islam. Jalur Demokrasi berguna untuk menghadang penguasaan kaum kafir terhadap umat Islam. Sementara jalur jihad berguna untuk memenangkan Islam yang paripurna dan membasmi kekuatan kufur hingga akar-akarnya.
Kesembilan, jika ada penumpang Demokrasi yang larut dalam kenikmatan Demokrasi, perlu diingatkan agar kembali pada kesadaran amanat awal. Lakukan upaya ini dengan semangat ukhuwah Islamiyah, bukan kemarahan dan kebencian jahiliyah.
Kesepuluh, jika ada pengusung jihad yang kelewat semangat hingga menimbulkan kerusakan dan kezaliman, harus pula diingatkan dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang sama. Ingatkan juga kepada semangat awal jihad, sebagai alat meruntuhkan kekuatan kafir, bukan untuk menciptakan ketakutan di internal umat Islam.
Demikianlah upaya mencari titik temu antara dua kubu yang terkesan saling berseteru. Padahal keduanya dibutuhkan oleh umat untuk memperbaiki keadaan dan meraih kemenangan. Wallahu a’lam bis shawab.
@elhakimi – 14 April 2017
Disadur dari >> https://www.kiblat.net/2017/04/18/mencari-titik-temu-antara-aktifis-dalam-panggung-demokrasi/
No comments:
Post a Comment