Assalamu alaikum. Pak ustad, bagaimana hukumnya seorang istri
bekerja sedangkan suami ngurus anak-anak.
Dalam keluarga tentu terdapat hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi satu sama lainnya, hak dan kewajiban suami
istri tertulis dengan jelas sebagai sebuah kesepatakan antara keduanya di buku
akta pernikahan saat mereka mengikat sebuah perjanjian yang kokoh di hadapan
penghulu, saksi, para tamu undangan dan Allah Ta’ala.
Jika kita renungi, seorang wanita
atau istri yang bekerja, mereka harus berjuang untuk tetap memenuhi hak dan
kewajibannya dalam keluarga dan dalam memberikan kasih sayang serta pendidikan
terhadap anak-anaknya.
Betapa tidak mudahnya seorang
istri yang bekerja siang malam di luar rumah, menguras pikiran seharian, lalu
letih saat kembali ke rumah, belum lagi hari-harinya habis dengan orang lain
daripada dengan keluarganya sendiri kecuali akhir pekan, itupun jika tidak ada
lembur atau urusan mendadak soal pekerjaan. Ya inilah konsekuensi wanita
pekerja.
Anak-anak merupakan tanggung
jawab suami istri yang harus diperhatikan. Jangan sampai karena alasan
ekonomi/duniawi, seorang anak menjadi “yatim” atau ‘piatu” lantaran ditinggal
oleh ibunya dalam waktu cukup lama. Kasih sayang ibu adalah hak anak paling
asasi dan amat fundamental dalam pembentukan kepribadiannya.
Tidak masalah jika istri bekerja
di dalam rumah atau bekerja di luar tapi aman dari fitnah dan campur baur
antara laki-laki dan perempuan. Tapi jika istri bekerja di luar dengan kondisi lingkungan kerja ikhtilat atau
campur baur dengan lelaki, ini sudah melanggar syariat. Kecuali jika istri
bekerja di sektor yang memang membutuhkan jasanya, seperti menjadi guru,
perawat, dokter dan semacamnya.
Maka, sekarang lihatlah pekerjaan
yang anda lakoni, apakah jauh dari kemungkinan ikhtilat? Apakah aman untuk anda
sendiri? Apakah anak-anak tidak terlantarkan? Karena banyak anak yang terlantar
karena ibunya bekerja. Terutama yang bekerja di luar negeri dan tidak pulang
bertahun-tahun. Sementara anak-anak dijaga sang nenek atau suami.
Ingatlah sabda Rasulullah
shollallahu 'alaihi wasallam,
“Wahai para umat manusia, bertakwalah kepada
Allah dan berbuat baiklah dalam mengais rezeki! Sesungguhnya seseorang tidak
akan meninggal hingga semua ketentuan rezekinya diberikan.” (HR. Ibnu Majah)
Selain itu, Alquran telah
mengajarkan kepada para wanita untuk senantiasa tetap berada di dalam rumahnya
kecuali ada alasan atau keperluan mendesak yang diperbolehkan oleh syariat dan
mendapat izin keluarga atau suami bagi yang sudah menikah dengan memperhatikan
batasan-batasan seperti:
Pertama, Tidak keluar sendirian
apalagi pulang hingga larut malam. Kalaupun keluar sendiri senantiasa pandai
melihat kondisi yang tidak membahayakan dirinya
Kedua, Berpakaian rapi dan sopan
(menutup aurat). Tidak memamerkan perhiasan yang bisa mengundang tindakan
kriminal. Tidak berlebihan dalam bersolek dan dalam memakai wangi-wangian
Ketiga, Menundukkan pandangan
terhadap lawan jenis. Memperhatikan batasan pergaulan dengan lawan jenis dan
menjaga perilaku. Bertutur kata yang bijak/sopan guna menghindari fitnah dari
lawan jenis. Dan yang paling penting adalah berusaha menjaga kehormatan diri
serta keluarganya.
Sekiranya ada wanita yang memberi
nafkah keluarga karena berbagai sebab dan ia rela, tentunya dengan
memperhatikan hukum-hukum syariat yang tadi disebutkan, maka itu tidak ada
masalah baginya. Allah Subhanahu wata'ala akan membalas kebaikan sang istri
dengan menafkahi keluarganya. Tapi andai ia tak rela, maka hukum Islam
memberikan jalan keluar. Ia dapat mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama,
karena ia tidak mendapat nafkah dari suami. Dalam ajaran Islam dikenal dengan
istilah “Khulu” yaitu gugatan cerai yang dilayangkan oleh seorang istri kepada
suami.
Dan tampaknya, wanita yang
menafkahi keluarga itu hanya kasus yang seyogyanya tidak terjadi, karenanya itu
tidak dapat mengubah aturan dalam Islam, artinya hak-hak dan kewajiban suami
istri tetap seperti semula dengan membebankan kewajiban untuk nafkah keluarga
kepada suami.
“dan kewajiban ayah (yang
dianugerahi putra) memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara
ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah ayat 233)
Memang membahas masalah ini perlu
penjelasan yang kompleks dan uraian yang panjang. Pada intinya.
Pertama, lihatlah, apakah
pekerjaan anda melanggar batasan syariat atau tidak. Jika memang tidak
melanggar batasan, maka tidak mengapa bekerja.
Kedua, jika bekerja itu
memberatkan anda, maka anda memiliki hak untuk menuntut suami
Ketiga, perlu diperjelas alasan
kenapa suami tidak bekerja. Apakah karena malas atau karena memang sudah
berusaha mencari pekerjaan tapi belum juga mendapatkannya. Jika yang kedua yang
terjadi, maka sebagai istri yang baik anda tidak boleh meninggalkan suami dan
menuntutnya. Anda harus membersamai suami, mendoakan dan mensupportnya. Keadaan
yang menghendaki suami belum mendapatkan pekerjaan jangan diperparah dengan
tuntutan anda. Jika anda bisa bekerja dengan kemampuan yang anda mampu dan
tidak melanggar batasan syariat, maka insya Allah kebaikan untuk anda,
Keempat, jangan sampai pekerjaan
mengganggu hak-hak suami dan anak anda dari anda sebagai ibu dan istri.
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment