Sahabat hijrah yang berbahagia, menjadi seorang pemaaf itu
hal yang keren lho. Dengan menjadi pribadi yang pemaaf, hidup kita jauh lebih
tentram dan tentunya disukai orang-orang. Sahabat, mungkin ketika ada orang
yang menyakiti kita, kita terpancing untuk membalas sikap buruknya. Atau bahkan
lebih parah lagi, walaupun orang yang bersangkutan tidak sengaja menyakiti
kita, kita masih ingin membalasnya. Sudahlah sob, maafkan saja.
Memang sih wajar jika kita merasa jengkel ketika ada orang
lain yang berbuat seenaknya sama kita, tapi dibalik itu semua, sifat pemaaf
adalah sifat yang mulia dan nggak boleh kita anggap remeh. Apalagi islam telah
menekankan kita untuk menjadi seorang pemaaf.
Nggak percaya? Mari kita simak quran surat Fushilat ayat 34
berikut,
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ
وَلِيٌّ حَمِيمٌ
Tentu tidaklah sama antara kebajikan dengan kejahatan.
Balaslah dengan cara- cara yang lebih baik, niscaya dalam sekejap antara dirimu
dan orang yang memusuhimu akan terjalin hubungan baik, seakan-akan dia adalah
pembelamu yang paling setia”
Nah sob, di ayat ini disebutkan untuk membalas kejahatan
orang lain dengan kebaikan. Coba saja, ketika ada orang yang membuat kita
jengkel atau menyakiti kita, balaslah dengan kebaikan. Pasti dia akan malu atau
setidaknya sikapnya berubah. Bahkan bisa jadi menjadi teman.
Memang terasa berat sih ketika kita harus memaafkan, apalagi
membalasnya dengan kebaikan. Misalkan memberi hadiah atau mengunjunginya. Atau ketika
dia cemberut kita balas dengan senyum, ketika dicaci maki, kita balas dengan
kata-kata yang lembut dan tatapan yang menentramkan. Memang perlu sikap lapang
dada untuk melakukannya.
Kalau kita berat melakukannya, maka itu berarti kita bukan
termasuk orang yang istimewa, kita orang rendahan yang berada di bawah standar
dari kesholihan. Karena memaafkan adalah sifat orang sholeh. Makanya Allah subhanahu
wata'ala berfirman di dalam quran surat Fushilat ayat 35,
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Sikap itu tidaklah dikaruniakan kecuali kepada orang-orang
yang bersabar dan tidaklah dikatuniakan kecuali kepada orang- orang yangdapat
keberuntungan besar”
Marilah kita belajar menjadi orang-orang yang berjiwa besar,
agar kita beruntung besar.
Sahabat hijrah, pribadi yang pemaaf identik dengan kesabaran
dari menahan amarah dan keinginan untuk membalas dendam. Orang yang pemaaf
tidak akan pernah menuruti kemarahan dan kejengkelan yang timbul. Dia juga
tidak akan pernah memelihara sikap dendam.
Sahabat, cukup Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam menjadi
teladan bagi kita dalam mengelola kesabaran dan menjadi pribadi yang lapang
dada.
Di dalam hadits riwayat Imam Muslim disebutkan,
“Rasulullah sama sekali tidak pernah memukul dengan
tangannya, baik terhadap seorang wanita ataupun pelayan, melainkan di waktu
beliau shollallahu 'alaihi wasallam sedang
berjihad fisabilillah, yakni di medan pertempuran melawan kaum kafir. Beliau
juga tidak pernah membalas keburukan orang yang menyakiti beliau, kecuali jika
ada sesuatu dari larangan-larangan Allah dilanggar, maka beliau memberikan
pembalasan karena mengharapkan keridhaan Allah Ta'ala.
Bahkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori disebutkan bahwa Rasulullah shollallahu
'alaihi wasallam menceritakan tentang seorang Nabi yang dipukul oleh kaumnya
hingga bercucuran darah, dan ia mengusap darah dari wajahnya sembari
mengatakan,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ
لَا يَعْلَمُونَ
“Ya Allah, ampunilah
kaumku, karena sesungguhnya mereka itu tidak tahu”.
Sahabat hijrah yang berbahagia, Selain meneladani Rasulullah,
kita juga bisa meneladani para Sahabat rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam dalam
hal memaafkan. Hal yang harus kita tiru adalah kelapangan dada Abu Bakar as-shidiq
dalam memaafkan kerabatnya yang menyebarkan berita bohong tentang putrinya
sendiri, yakni Ibunda Aisyah radiyallahu anhu.
Disebutkan bahwa Bakar as-Shiddiq Radhiallahu ‘anhu dikenal
sebagai sahabat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sering
memberikan sedekah kepada fakir miskin, terutama yang masih ada hubungan
kekerabatan dengannya. Satu di antara orang yang biasa dia santuni adalah
Misthah bin Utsatsah, anak bibinya yang tergolong miskin.
Sayangnya Misthah kurang berhati-hati menjaga lidahnya. Pada
saat beredar fitnah bahwa ‘Aisyah binti Abu Bakr Radhiallahu ‘anhuma telah
berselingkuh, Misthah ikut serta menyebarkan fitnah tersebut. Sehingga ketika
turun ayat yang menjelaskan bahwa tuduhan itu merupakan berita bohong, Abu
Bakar marah kepada Misthah serta bersumpah tidak akan berbuat baik dan memberi
bantuan nafkah lagi kepadanya.
Namun rupanya Allah tidak menyukai sikap Abu Bakr tersebut.
Allah subhanahu wata'ala kemudian
memberikan teguran kepada Abu Bakr karena bersumpah untuk tidak akan berbuat
baik lagi kepada Misthah.
Teguran Allah subhanahu wata'ala tertuang di dalam quran
surat an-Nur ayat 22,
وَلَا
يَأْتَلِ أُوْلُوا الْفَضْلِ مِنكُمْ وَالسَّعَةِ أَن يُؤْتُوا أُوْلِي الْقُرْبَى
وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا
أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Yang artinya,
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan
kepada kaum kerabatnya, orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah
pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah
kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
Setelah Abu Bakr mendengar ayat tersebut beliau berkata,
“Benar, demi Allah aku senang bila Allah mengampuni dosa-dosaku dan aku akan
memberi nafkah kepada Misthah lagi.”
Nah sahabat hijrah, di ayat tersebut ada kalimat,
أَلَا تُحِبُّونَ
أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Nah sob, dari penggalan ayat ini kita bisa menarik kesimpulan
bahwa orang yang suka memaafkan kesalahan orang lain pasti akan diampuni oleh
Allah subhanahu wata'ala. Pastinya kita ingin diampuni oleh Allah kan? Nah,
salah satu jalan untuk mendapatkan ampunan Allah subhanahu wata'ala adalah
dengan memaafkan kesalahan orang lain. Kita memaafkan kesalahan orang lain, dan
Allah subhanahu wata'ala memaafkan atau menghapus dosa-dosa kita. Subhanallah
sob, siapa yang nggak mau diampuni oleh Allah?
Sahabat hijrah yang berbahagia, terkadang keengganan untuk
memberi maaf akan menguat ketika ada kesempatan untuk membalas dendam terhampar
luas. Ditambah lagi jika status sosial yang membuat kesalahan itu berada di
bawah kita. Untuk itu kita harus menjaga diri dan meminta kepada Allah subhanahu
wata'ala untuk menjaga kita dari keburukan rasa dendam.
Karena sahabat hijrah, Untuk bisa memaafkan orang yang telah
berbuat zalim kepada kita butuh kebesaran jiwa dan kelapangan hati.
Mungkin sobat hijrah ada yang bertanya, lho, bukannya di dalam
islam itu ada konsep keadilan? Bukankah kita diperbolehkan menuntut balas atas
keburukan yang kita terima? Lalu bukanlah di dalam islam juga ada qishosh?
Memang sih dalam syariat Islam diperbolehkan untuk menuntut
balas terhadap kejahatan yang ditimpakan kepada kita dengan balasan yang
serupa. Namun memaafkan merupakan sikap yang jauh lebih baik dan lebih mulia
daripada membalas kejahatannya meski dengan balasan yang serupa.
Ingat lho sob, Allah subhanahu wata'ala berfirman di dalam
quran surat asy-Syuro ayat 40,
وَجَزَاء سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa,
maka Barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas tanggungan
Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang lalim.”
Kemudian di surat yang sama di ayat yang ke 43 Allah subhanahu
wata'ala juga berfirman,
وَلَمَن صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ
عَزْمِ الْأُمُورِ
Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang
demikian itu termasuk perbuatan yang mulia.”
Sikap mulia inilah yang dicontohkan oleh Abu Bakar
As-Shiddiq. Atas petunjuk dari Allah, dia lebih memilih memaafkan anak bibinya
dengan tulus daripada membalas kejahatannya meski dia berada pada pihak yang
benar dan juga mampu untuk melakukan pembalasan karena status sosial jauh lebih
tinggi daripada anak bibinya itu. Akhlaq mulia yang dimiliki Abu Bakr ini patut
kita teladani dan kita tumbuhsuburkan dalam pribadi kita.
Akhir kalam, semoga kita menjadi generasi muda yang pemaaf ya
sob. Semoga bermanfaat.
Wassalamu alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
No comments:
Post a Comment