Sebut saja namanya Nisa, dia
seorang perempuan muda yang bekerja pada sebuah keluarga Taiwan untuk
menyambung roda kehidupannya di indonesia. Tidak seperti teman-teman kebanyakan
yang menjadi asisten rumah tangga dengan pekerjaan seputar membereskan dan
membersihkan rumah ditambah tugas memasak, Nisa bekerja untuk menjaga serta
merawat orang tua majikannya yang sudah jompo dan pikun.
Setiap hari Nisa harus menjaga
majikan jomponya dan merawatnya dengan telaten. Mulai dari menyuapi makan,
mengganti baju, memandikan bahkan mengganti popok yang berlumuran kotoran.
Tapi satu hal yang diam-diam
disadari oleh Nisa. Di hati terdalamnya dia menangis karena dia tidak pernah
melakukan semua hal tersebut kepada orang tuanya. Dia belum pernah menyuapi,
memandikan atau merawat orang tuanya.
Dulu, ketika orang tuanya sakit,
dia tidak mau tahu dan menyerahkan urusan itu kepada adiknya di kampung. Dia merasa
menyesal. Bagaimana mungkin dia bisa mengurus orang lain dengan telaten
sementara orang tua sendiri yang melahirkannya dia tidak pernah melakukan hal
yang sama.
Ingin rasanya Nisa menangis
mengenang itu semua. Tapi semuanya sudah terlambat. Kedua orang tuanya sudah
meninggal dunia dua tahun yang lalu. Dia tidak pernah sempat merawat mereka. Dia
hanya sempat mendampingi ibunya beberapa saat sebelum kematiannya dan mengurus
jenazahnya.
Mendengar kisah Nisa, tiba-tiba
saya teringat dengan orang tua saya sendiri. Apa yang telah saya berikan dan
saya lakukan selama ini terhadap mereka. Uang? Saya belum pernah mengirimkan
uang kepada orang tua saya bertahun-tahun lamanya. Ya, dulu pernah ketika saya
memiliki pekerjaan dengan gaji yang lebih dari cukup. Tapi sekarang sepertinya,
ah, kenapa saya jadi terkesan mengasihani diri sendiri?
Ya, memang orang tua tidak pernah
menuntut saya untuk mengirimi mereka uang secara berkala. Lagi pula bapak saya
masih sehat dan bisa menafkahi ibu dan adik-adik saya. Tapi anak mana pun itu,
akan merasa bangga jika bisa membantu roda ekonomi keluarganya. Saya hanya
berharap suatu saat kelak saya bisa mengirimi mereka uang dan bapak tidak lagi
susah payah berpikir tentang nafkah. Semoga Allah mengabulkan harapan saya.
Berbicara tentang bapak, saya
jadi teringat bahwa sudah lama saya tidak menelponnya. Ah, memang bapak saya
bukan tipe bapak yang romantis. Bapak itu sosok pendiam yang tidak membutuhkan
basa basi dan jauh dari kata hangat ketika berkomunikasi. Berbeda dengan emak
yang selalu memiliki topic untuk dibicarakan sehingga tidak ada rasa canggung
yang menjadi sekat ketika berkomunikasi.
Lalu, pantaskah ini menjadi
alasan untuk tidak menelpon bapak? Saya rutin menelpon emak paling tidak
sebulan sekali. Tapi bapak? Entah kapan terakhir kali saya menyapanya.
Tiba-tiba mata saya berkaca-kaca.
Saya tidak mau terlambat dalam penyesalan. Kenapa saya begitu sombong dan tak
tahu diri. saya segera merogoh saku dan mencari nomor kontak bapak dan
menghubunginya saat itu juga.
Tak perlu menunggu lama kami
sudah tersambung dan bapak menanyakan keperluanku.
Aku tersenyum. Tak ada lagi rasa
canggung. Yang ada rasa dan getar rindu yang tiba-tiba muncul.
“Pa,” kata saya dengan suara yang
bergetar.
“Ya.” jawabnya pendek. Memang itulah
khas bapak. Selalu to the point.
Aku terdiam beberapa saat dan
tampaknya bapak juga menunggu.
“Ada apa?” tanyanya tak sabar.
“Maafkan Husni yang tidak pernah
nelpon bapak. Husni sayang bapak.” Saya tahu, kalimat ini terdengar aneh di
telinga saya. Begitu juga mungkin di telinga bapak. Saya dan bapak memiliki
tipe yang sama dalam mengepresikan rasa. Kami terlalu miskin kata untuk
mengepresikan perasaan secara verbal.
Tapi, malam ini saya ingin
mengepresikan rasa cinta saya kepada bapak saya. Daripada saya menyesal kelak, maka
sepantasnya saya mengucapkannya sekarang.
Saya teringat kata-kata bijak
yang entah darimana pertama kali saya membacanya, tapi begitu menempel lekat di
benak saya, “Mereka tidak membutuhkan ungkapan cintamu di pusara mereka, tapi
mereka membutuhkan ungkapan cintamu ketika mereka hidup.”
Ya, memang belum terlambat dan
hati ini lega telah mengungkapkan rasa cintanya.
No comments:
Post a Comment