Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Wednesday, August 29, 2018

    Sebelum Semuanya Terlambat


    Sebut saja namanya Nisa, dia seorang perempuan muda yang bekerja pada sebuah keluarga Taiwan untuk menyambung roda kehidupannya di indonesia. Tidak seperti teman-teman kebanyakan yang menjadi asisten rumah tangga dengan pekerjaan seputar membereskan dan membersihkan rumah ditambah tugas memasak, Nisa bekerja untuk menjaga serta merawat orang tua majikannya yang sudah jompo dan pikun.

    Setiap hari Nisa harus menjaga majikan jomponya dan merawatnya dengan telaten. Mulai dari menyuapi makan, mengganti baju, memandikan bahkan mengganti popok yang berlumuran kotoran.
    Tapi satu hal yang diam-diam disadari oleh Nisa. Di hati terdalamnya dia menangis karena dia tidak pernah melakukan semua hal tersebut kepada orang tuanya. Dia belum pernah menyuapi, memandikan atau merawat orang tuanya.

    Dulu, ketika orang tuanya sakit, dia tidak mau tahu dan menyerahkan urusan itu kepada adiknya di kampung. Dia merasa menyesal. Bagaimana mungkin dia bisa mengurus orang lain dengan telaten sementara orang tua sendiri yang melahirkannya dia tidak pernah melakukan hal yang sama.

    Ingin rasanya Nisa menangis mengenang itu semua. Tapi semuanya sudah terlambat. Kedua orang tuanya sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu. Dia tidak pernah sempat merawat mereka. Dia hanya sempat mendampingi ibunya beberapa saat sebelum kematiannya dan mengurus jenazahnya.
    Mendengar kisah Nisa, tiba-tiba saya teringat dengan orang tua saya sendiri. Apa yang telah saya berikan dan saya lakukan selama ini terhadap mereka. Uang? Saya belum pernah mengirimkan uang kepada orang tua saya bertahun-tahun lamanya. Ya, dulu pernah ketika saya memiliki pekerjaan dengan gaji yang lebih dari cukup. Tapi sekarang sepertinya, ah, kenapa saya jadi terkesan mengasihani diri sendiri?

    Ya, memang orang tua tidak pernah menuntut saya untuk mengirimi mereka uang secara berkala. Lagi pula bapak saya masih sehat dan bisa menafkahi ibu dan adik-adik saya. Tapi anak mana pun itu, akan merasa bangga jika bisa membantu roda ekonomi keluarganya. Saya hanya berharap suatu saat kelak saya bisa mengirimi mereka uang dan bapak tidak lagi susah payah berpikir tentang nafkah. Semoga Allah mengabulkan harapan saya.

    Berbicara tentang bapak, saya jadi teringat bahwa sudah lama saya tidak menelponnya. Ah, memang bapak saya bukan tipe bapak yang romantis. Bapak itu sosok pendiam yang tidak membutuhkan basa basi dan jauh dari kata hangat ketika berkomunikasi. Berbeda dengan emak yang selalu memiliki topic untuk dibicarakan sehingga tidak ada rasa canggung yang menjadi sekat ketika berkomunikasi.
    Lalu, pantaskah ini menjadi alasan untuk tidak menelpon bapak? Saya rutin menelpon emak paling tidak sebulan sekali. Tapi bapak? Entah kapan terakhir kali saya menyapanya.

    Tiba-tiba mata saya berkaca-kaca. Saya tidak mau terlambat dalam penyesalan. Kenapa saya begitu sombong dan tak tahu diri. saya segera merogoh saku dan mencari nomor kontak bapak dan menghubunginya saat itu juga.

    Tak perlu menunggu lama kami sudah tersambung dan bapak menanyakan keperluanku.
    Aku tersenyum. Tak ada lagi rasa canggung. Yang ada rasa dan getar rindu yang tiba-tiba muncul.
    “Pa,” kata saya dengan suara yang bergetar.

    “Ya.” jawabnya pendek. Memang itulah khas bapak. Selalu to the point.

    Aku terdiam beberapa saat dan tampaknya bapak juga menunggu.

    “Ada apa?” tanyanya tak sabar.

    “Maafkan Husni yang tidak pernah nelpon bapak. Husni sayang bapak.” Saya tahu, kalimat ini terdengar aneh di telinga saya. Begitu juga mungkin di telinga bapak. Saya dan bapak memiliki tipe yang sama dalam mengepresikan rasa. Kami terlalu miskin kata untuk mengepresikan perasaan secara verbal.

    Tapi, malam ini saya ingin mengepresikan rasa cinta saya kepada bapak saya. Daripada saya menyesal kelak, maka sepantasnya saya mengucapkannya sekarang.

    Saya teringat kata-kata bijak yang entah darimana pertama kali saya membacanya, tapi begitu menempel lekat di benak saya, “Mereka tidak membutuhkan ungkapan cintamu di pusara mereka, tapi mereka membutuhkan ungkapan cintamu ketika mereka hidup.”

    Ya, memang belum terlambat dan hati ini lega telah mengungkapkan rasa cintanya.

    No comments:

    Post a Comment