Aku adalah
seorang katolik yang taat. Tapi kedua anakku lebih memilih menjadi muslim.
Entahlah, mungkin mereka menemukan jalan mereka sendiri. Mau tak mau aku harus
merelakan mereka sesuai apa yang mereka inginkan.
Aku mengunjungi
putriku yang tinggal di Arab Saudi. Pertama kali aku menginjakan kaki di negeri
tersebut, aku mulai jatuh cinta dengan negaranya, cuaca dan orang-orangnya. Aku
tidak ingin pulang setelah enam bulan tinggal di sana. Jadi aku minta perpanjangan
waktu. Aku selalu mendengar alunan adzan
lima kali dalam sehari. Dan aku merasa takjub ketika orang-orang mulai menutup
toko-toko mereka dan bergegas menuju masjid.
Meskipun sangat
menyentuh, tapi bagiku saat itu, kristen adalah agamaku yang harus aku pegang
kuat dan telah diwariskan dari kedua orang tuaku dahulu. Saat itu aku
menganggap tak ada yang lebih baik dari kristen walau islam pun menurut yang
aku lihat tidak terlalu buruk.
Aku membaca
alkitab secara rutin di setiap harinya. Setiap pagi dan sore aku setia
mengucapkan Rosario. Tidak pernah ada yang mengusikku tentang apa yang aku
lakukan. Putriku juga tidak pernah mempersoalkan semua apa yang aku lakukan.
Tidak juga berbicara tentang islam dan mengajakku untuk ikut agama yang dia
anut. Mereka menghormatiku dan mengizinkan aku untuk mempraktekan agamaku
sendiri.
Anak lelakiku
yang tinggal di negara tetangga datang ke arab Saudi untuk mengunjungiku. Dia
tahu bahwa aku telah lama tinggal di rumah saudari kandungnya, sehingga dia
menyempatkan diri untuk datang. Aku sangat senang kala itu. Tapi rasa bahagia
itu terusik ketika anak lelakiku itu mulai berbicara tentang agama dan Keesaan
Tuhan. Aku marah.
Aku katakan
padanya bahwa aku telah berada di Arab Saudi selama hampir satu tahun dan tidak
pernah ada yang berani berbicara kepadaku tentang agama yang aku anut. Dan dia
di malam kedua kehadirannya mulai berani berkhotbah. Anak lelakiku merasa
bersalah dan meminta maaf kepadaku. Tapi dia dengan jujur mengatakan bahwa
betapa dia menginginkan aku menjadi seorang muslim.
Sekali lagi aku
katakan kepadanya bahwa aku tidak akan pernah menjadi seorang muslim. Lalu
entah bagaimana, anak lelakiku itu mulai mengawali perbincangan dengan sesuatu
hal yang lain. Yang tidak pernah dia utarakan.
Dia bertanya
kepadaku tentang trinitas dan bagaimana bisa aku percaya kepada sesuatu yang
sama sekali tidak masuk akal. Dia mengatakan bahwa sudah saatnya aku
mempertanyakan keimananku kepaada Yesus. Tapi aku mengatakan kepada anak
lelakiku bahwa segala sesuatu tidak selalu harus masuk akal. Aku menjelaskan
kepada anak lelakiku bahwa yang terpenting adalah iman. Jangan bicara tentang
masuk akal atau tidak masuk akal. Dia akhirnya menerima jawabanku. Aku merasa
senang karena bisa memenangkan diskusi
tersebut.
Di hari
berikutnya anak lelakiku menyuruhku untuk menjelaskan tentang mukjizat Yesus
kepadanya. Aha! Pikirku, ini saat yang tepat untuk membungkam anak lelakiku
yang kurang sopan santun ini. Maka aku mulai menjelaskan tentang kelahiran
Yesus Kristus, Perawan Maria, Yesus yang mati untuk dosa-dosa kita, Allah
menggerakan Roh-Nya di dalam diri Yesus, Yesus sebagai Allah dan Yesus sebagai
anak Allah.
Kemudian anakku
bertanya:
“Mom, jika Yesus
mati untuk dosa-dosa kita pada hari jumat, kemudian seperti yang kau katakan,
dia dibangkitkan tiga hari kemudian, yakni di hari minggu, lalu siapa yang
mengatur alam semesta selama tiga hari tersebut?”
Aku hanya terdiam
dan memikirkan pertanyaan anakku. Aku sadar bahwa ini memang tidak masuk akal.
Lalu aku jawab:
“Yesus adalah
anak Tuhan Allah. Yesus dan Tuhan adalah sama satu sama lain.”
Kemudian anakku
menjawab, “Sapi memiliki anak sapi, bernama sapi kecil. Kucing memiliki anak
kucing bernama kucing kecil. Manusia memiliki anak bernama manusia kecil. Bila
Tuhan memiliki anak laki-laki, lalu apa dia? Tuhan kecil? Jika demikian, apakah
Mom memiliki dua Tuhan?”
Lalu anakku masih
bertanya, “Mungkinkah Mom bisa menjadi Tuhan?”
Aku mengatakan
padanya bahwa itu pertanyaan konyol. Tentu saja manusia tidak mungkin bisa
menjadi Tuhan. Saat itu aku benar-benar marah karena anakku ini banyak
bertanya. Walau aku akui pertanyaannya sangat masuk akal
Kemudian anakku
mulai bertanya lagi, “Apakah Yesus manusia?”
Aku hanya diam.
Karena walau bagaimana pun anak lelakiku ini memiliki argumen yang kuat. Jika aku
katakan bukan manusia, jelas Yesus seorang lelaki yang memiliki tubuh dan jiwa
layaknya manusia.
“Karena itulah,
Yesus tidak akan pernah bisa menjadi Tuhan.” Cecar anak lelakiku.
Aku hanya
terdiam. Aku mengakui bahwa dia memang lebih masuk akal. Tapi aku butuh waktu
untuk memikirkan itu semua.
Hingga pertanyaan
demi pertanyaan bermunculan di benakku. Pertanyaan itu lahir dari pertanyaan
anakku yang telah memojokkan diriku hingga tidak bisa berkata-kata.
Yesus bermula
dari ketiadaan, kemudian dia ada. Lalu bagaimana mungkin dia yang menciptakan?
Lalu jika Yesus Tuhan, kenapa dia tidak muncul ketika Adam pertama kali
diciptakan?
Aku memiliki
kesimpulan dari pertanyaan yang tiba-tiba saja muncul di benakku. Yesus itu
dilahirkan sehingga dia tidak mungkin sebagai Tuhan.
Menurut definisi penciptaan memang membutuhkan pencipta.
Bagi ciptaan harus memiliki pencipta untuk mewujudkannya. Tuhan tidak mungkin membutuhkan pencipta karena
Tuhan adalah Pencipta. Jadi, ada kontradiksi yang jelas.
Malam itu, aku
habiskan dengan memikirkan kata-kata anakku. Anakku kemudian menyuruhku untuk
berdoa kepada Tuhan supaya Dia memberku petunjuk sehingga bisa berjalan di atas
kebenaran. Terakhir, anakku memberiku sebuah buku kecil tentang konsep
ketuhanan dan memintaku untuk membacanya dengan pikiran yang jernih.
Aku beranjak ke
kamarku dengan pikiran yang mulai terbuka. Selanjutnya aku membuka terjemah
al-quran dan mulai membacanya. Sepertinya ada sesuatu yang terangkat dari
hatiku. Aku merasa berbeda. Aku melihat kebenaran yang sejati hanya ada di
dalam islam. Apa yang telah saya lalui selama tahun-tahun yang telah aku
habiskan selama ini?
Untuk pertama
kalinya, malam itu aku berdoa kepada Tuhan, bukan kepada Yesus, bukan kepada
Maria, bukan kepada malaikat atau Roh Kudus. Hanya kepada Tuhan aku menangis
dan meminta bimbingan. Aku berdoa jika islam adalah pilihan yang tepat, maka
tolong ubah hati dan pikiranku. Aku pergi tidur dan keesokan paginya aku bangun
dan mengumumkan kepada kedua anakku bahwa aku siap untuk memeluk islam.
Putri dan
menantuku tentu saya sangat terkejut dengan keputusan yang aku ambil. Karena
mereka tidak tahu diskusi yang telah aku lakukan bersama kakak mereka malam
tadi.
Mereka semua
menangis haru dan memeluk saya dengan pelukan yang sangat erat. Sungguh, belum
pernah aku melihat mereka bahagia seperti kebahagiaan mereka di hari itu.
Hari itu juga aku
bersyahadat dengan dibimbing anak-anakku dan cucuku dalam bahasa arab, Italia
dan Inggris.
“Asyhadu An La
Ilaha Illa-Allah, Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”
"Non c'è altro Dio al di fuori di Dio, e Mohammed è il
Messaggero di Dio;"
"Tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad (saw)
adalah hamba dan utusan-Nya yang
terakhir.”
Aku kini telah
berubah. Aku merasa bahagia dan seakan-akan seseorang telah mengangkat selubung
kegelapan yang selama ini menutupi hati saya selama puluhan tahun lamanya.
Setiap orang yang mengenal saya tidak percaya bahwa saya telah berubah dan
menjadi seorang muslim seutuhnya. Baik teman muslimku atau teman katolikku.
No comments:
Post a Comment