Keberadaan hati senantiasa berubah, naik-turun, ke kiri-ke kanan, hingga ke depan-belakang. Ketika sudah dalam keadaan lurus, kadang kala kembali kepada jalan berkelok. Ya, dengan adanya masalah dan dinamika dalam hidup.
Namun, hal tersebut tak berlaku bagi orang yang jembar hati, dan luas pikiran. Yang senantiasa hatinya dipenuhi dengan rasa syukur. Debu-debu kotor akan bersih kembali.
Kita simak perumpamaan hal tersebut lewat percakapan murid dengan gurunya, satu ini.
Guru : Tadi kamu minum segelas air yang aku beri satu sendok gula, apa yang kamu rasakan?
Murid : Rasanya manis, guru.
Guru : Lalu yang aku beri satu sendok garam, bagaimana rasanya?
Guru : Waduh, kalau yang itu benar asin rasanya.
Lalu sang Guru mengajak murid itu menuju telaga yang airnya sangat jernih dan indah dipandang seribu kilauan, serta luas. Lalu sang guru menaburkan satu sendok gula,
Guru : Coba kamu minum air telaga ini, dan apa yang kamu rasakan?
Murid : Segar, guru.
Kemudian Guru menaburkan satu sendok garam ke telaga itu,
Guru : Sekarang kamu minum lagi air telaga ini dan bagaimana rasanya?
Murid : Tetap segar, guru.
Guru : Itulah kehidupan, manis dan asin itu menjadi tidak terasa bagi orang yang hatinya jembar, luas dan penuh dengan rasa syukur menghadapi liku kehidupan.
Rasa Syukur, jembar hati, ikhlas dan berniat suci bisa berlaku kapan saja dan untuk apapun.
Pemanis bagi ketirnya permasalah kehidupan dan mempertahankan jejak kita di bumi.
Yang ada, marilah kita berusaha meraih dan merasakannya.
[Sumber; Inspira Data.]
No comments:
Post a Comment