Wilayah Palestina terdiri dari dua bagian, Tepi Barat dan Jalur Gaza. Masing-masing dikuasai faksi politik yang berbeda: Fatah di Tepi Barat, dan Hamas di Jalur Gaza. Setelah kemenangan Hamas dalam pemilu tahun 2005 lalu, Israel memang sudah memindahkan pemukiman penduduk Yahudi ke luar Gaza dan menarik mundur pasukannya. Tapi, tentara Israel masih tetap mengontrol lalu lintas udara, pasokan air, dan pintu perbatasan antara Gaza dan Israel.
Jalur Gaza sendiri merupakan tanah seluas 225 km persegi -kurang lebih sepertiga luas Jakarta- dengan sekitar 1,7 juta penduduk. Sekilas mungkin ini tidak terlihat begitu padat. Tapi, sepertiga dari 1,7 juta manusia itu hidup di Gaza City, yang hanya memiliki luas sekitar 45 km persegi. Ini menjadikan Gaza City salah satu wilayah urban terpadat di dunia. Padahal kota ini selalu menjadi sasaran tiap kali Israel melancarkan serangan. Jatuhnya korban sipil pun jadi nggak terhindarkan.
Selama konflik di tahun 2008-2009 lalu, misalnya, rakyat Gaza yang menjadi korban sipil mencapai lebih dari 900 orang. Sementara pada konflik yang sedang berjalan saat ini, korban jiwa telah mencapai lebih dari 300 orang, sebagian besar di antaranya kaum sipil.
1. Perang Yang Nggak Imbang
Aktivis HAM Israel yang tergabung dalam B’Tselem mengatakan jumlah korban yang jatuh pada konflik di tahun 2008 saja berjumlah 762 orang di pihak Palestina (300 diantaranya adalah anak-anak) dan hanya 3 korban jiwa di pihak Israel. Sementara pada konflik Juli 2014 jumlah warga Gaza yang tewas akibat serbuan roket Israel telah melewati mencapai 360 jiwa. Tahu berapa jumlah korban di pihak Israel? Hanya 11 tentara Israel yang tewas, itupun baru berupa klaim dari Hamas.
Dilihat dari perbandingan jumlah korban tewas, bisa disimpulkan bahwa ini adalah pertikaian dengan kekuatan yang nggak seimbang. Nyawa satu warga Israel pun dipandang lebih berharga dari nyawa rakyat Palestina.
2. Hukuman Kolektif
Pemerintah Israel berdalih serangan-serangan yang mereka luncurkan selama ini untuk melindungi keamanan negaranya. Padahal, Israel udah mengurung Gaza sejak Januari 2006 sebagai akibat dari keputusan rakyat Palestina memenangkan Hamas dalam sebuah pemilu yang sah. Israel lalu memblokade jalur perdagangan Gaza, sehingga rakyatnya gak bisa memperoleh beberapa komoditas seperti ketumbar, jahe, pala, dan bahkan koran. Blokade ini ditengarai sebagai hukuman koletif yang dijatuhkan kepada warga Gaza karena memilih Hamas sebagai pemimpin mereka.
3. Bikin Mereka ‘Diet’
Dov Weisglass, mantan Kepala Staf untuk pemerintahan PM Ariel Sharon pernah mengakui bahwa pendekatan yang dilakukan Israel terhadap warga Gaza adalah “bikin orang Palestina itu berdiet, tapi jangan sampai mereka mati kelaparan”. Israel mengatur (dan melarang) makanan dan bantuan yang memasuki Gaza serta menghitung jumlah asupan gizi yang boleh mereka nikmati.
10% balita di Gaza terhambat pertumbuhannya karena mengalami gizi buruk yang tak berkesudahan. Gizi buruk di Gaza udah dalam tahap kronis dan gak menampakkan tanda-tanda perbaikan, demikian dilaporkan WHO.
4. Kaum muda yang Menganggur dan Anak yang Rentan Stress
Menurut data dari Biro Statistik Palestina, tingkat pengangguran di Gaza menyentuh angka 28% yang mana 58% diantaranya berada pada kisaran umur 20-24 tahun.
Selain itu, ebih dari setengah penduduk Gaza adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Menurut psikiater kenamaan Palestina Dr. Eyad El Sarraj, satu dari lima anak-anak tersebut menderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). PTSD adalah gangguan emosional yang diantaranya ditandai dengan kecemasan parah akibat dari peristiwa yang menakutkan, serangan fisik, atau perasaan terancam di masa lampau.
Anak-anak di Gaza gak bisa tidur dengan tenang karena mimpi buruk dan kecemasan yang hebat akibat serangan demi serangan yang mereka lihat. Untuk pulih, mereka membutuhkan konseling, psikoterapi serius, serta pengobatan.
5. Gaza Yang Miskin dan Tempat Mengungsi Orang Palestina dari Luar Gaza Pasca Perang 1948
Data dari PBB mengungkapkan bahwa 80% keluarga di Gaza menggantungkan hidupnya dari bantuan kemanusiaan, dan 39% warganya hidup di bawah garis kemiskinan.
Dua dari tiga warga Gaza -itu lebih dari setengah juta orang- menyebut diri mereka sebagai pengungsi alias orang yang tak memiliki negara. Mereka adalah pengungsi dari wilayah palestina yang dicamplok oleh Israel setelah perang 1948.
Ide untuk menjalankan sistem satu tanah untuk dua negara atau two-state solution sebagai jawaban dari konflik Israel-Palestina telah muncul sejak 1974, dan dipertegas dalam Perjanjian Oslo tahun 1993. Namun, sebuah poling yang baru-baru ini dilaksanakan mengungkapkan bahwa sebagian besar rakyat Israel maupun Palestina ‘sepakat’ kalau mereka tidak sudi berbagi negara. Hanya 35% warga Israel yang mendukung ide ini dan 27% Palestina yang percaya bahwa pendudukan di Tepi Barat dan Gaza bisa diakhiri dengan solusi dua negara.
No comments:
Post a Comment