Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Thursday, January 5, 2017

    Zainab Al-Ghazali, Srikandi Islam Penuh Karamah (2/2)

    Zainab Al-Ghazali, Srikandi Islam Penuh Karamah (2/2)


    KIBLAT.NET – Pada edisi sebelumnya telah dijelaskan bagaimana kehidupan awal Zainab Al-Ghazali hingga menjelma menjadi seorang muslimah tangguh yang memperjuangkan diennya. Akhirnya, nasib Zainab sama dengan nasib aktivis lainnya yang teguh dalam perjuangan, yaitu merasakan penjara rezim.

    Sebenarnya kisah-kisah pengalaman Zainab selama di penjara telah dibahas habis dalam bukunya yang berjudul Ayyam min Hayati. Namun, tak ada salahnya jika kita memaparkannya pada edisi kedua ini agar kita dapat mengambil keteladanannya.

    Buku Ayyam min Hayati karya Zainab
    Buku Ayyam min Hayati karya Zainab
    Mengapa berbicara pengalaman penjara Zainab?

    Ketika kita membaca sebagian kisahnya, kita akan menyaksikan mereka yang mengikuti jejak Salafush Shalih; senantiasa sabar dengan berbagai penyiksaan dan pasrah kepada Rabb mereka.

    Mereka ingin menerapkan Islam di pemerintahan Mesir secara bertahap dan mengajarkannya kepada masyarakat sesuai tuntunan Rasulullah. Lantaran ketulusan dan ketawakalan mereka kepada Allah atas apa yang mereka lakukan, Allah menganugerahkan banyak karamah kepada mereka dalam menghadapi berbagai rintangan.

    Kita akan melihat berbagai keajaiban yang Allah anugerahkan kepadanya di bawah ini insya Allah. Kita juga akan mengetahui berbagai penyiksaan yang dihadapi oleh umat Islam di dalam penjara rahasia di seluruh dunia saat ini. Dan mungkin ini akan menginspirasi kita untuk mendukung mereka. Inilah beberapa kisah karamah Zainab Al-Ghazali dari bukunya. Dalam kisah nanti Zainab berposisi sebagai orang pertama karena ia sedang menceritakan pengalaman dirinya.

    Perjalanan ke Kamar Tahanan 24
    Dalam perjalanan ke kamar tahanan no. 24, saya diiringi dua orang yang memegang cambuk. Saya sengaja ditempatkan di ruangan yang berbeda dalam penjara, supaya saya bisa melihat halhal mengerikan yang terjadi di sana.

    Mata saya hampir tidak percaya dan tidak ingin menerima kebiadaban yang terjadi disana. Diam-diam saya mengamati beberapa anggota Ikhwanul Muslimin yang tergantung di udara dengan tubuh telanjang dan dicambuk. Sebagian yang lain dibiarkan bersama anjing-anjing liar yang mengoyak tubuh mereka. Sebagian yang lain lagi, dengan wajah menghadap ke dinding menunggu giliran. Ironisnya, saya tahu bahwa mereka adalah orang-orang saleh; pemuda-pemuda yang beriman.

    Saya sangat menyayangi mereka seperti rasa sayangku kepada anakanakku sendiri. Terlebih, mereka sering hadir di majelis tafsir dan hadits yang diadakan di rumahku maupun di rumah-rumah mereka.

    Pemuda-pemuda Islam itu disiksa satu per satu. Mereka dihadapkan ke dinding dan dicambuk dengan kasar. Darah mengalir di dahi mereka; dahi yang tidak pernah tunduk kepada siapa pun kecuali Allah. Cahaya tauhid bersinar dari wajah mereka, bangga berada di atas jalan Allah (kebenaran).

    Salah satu dari mereka berteriak kepada saya, “Ibu! Semoga Allah menguatkan Anda!”

    “Anakku! Ini adalah janji kesetiaan. Bersabarlah keluarga Yasir, imbalanmu adalah surga.”

    Pria yang menjagaku memukul kepala ini begitu keras hingga mata dan telingaku bergetar seperti terkena sengatan listrik. Dan cahaya dari dalam penjara membuat saya sadar akan banyak hal; semakin banyak tubuh yang disiksa mengisi tempat itu. Saya pun berujar menentang, “Biarlah, ini demi Allah! Biarlah, ini demi Allah!”

    Di dalam kamar 24 (Gigitan Anjing-Anjing Liar)
    “Dengan nama Allah, semoga Allah selalu merahmatimu!” saya terus mengulang-ulangnya. Setelah itu, pintu dikunci dan lampu yang terang dinyalakan. Sekarang tujuan mereka terungkap. Ruangan itu penuh dengan anjing; jumlahnya sangat banyak hingga tak terhitung. Aku takut! Kupejamkan mata dan meletakkan tangan di dada.

    Dalam hitungan detik anjing menggeram mengelilingi tubuhku, dan saya bisa merasakan gigi mereka merobek setiap bagian dari tubuhku. Aku kepalkan tanganku erat-erat di ketiak. Saya mulai menyebut nama Allah, “Ya Allah! Ya Allah!”

    Anjing-anjing itu tak henti-hentinya mencabik-cabik kulit kepala, bahu, punggung, juga dada. Semua tubuhku terkoyak tanpa sisa. Saya berulang kali memanggil nama Rabbku,

    “Ya Allah! Buat saya tidak terganggu oleh apa pun kecuali Engkau. Biarlah segala perhatian saya hanya kepada Engkau saja. Engkau Rabbku Yang Maha Esa Maha-abadi, bawalah aku dari dunia ini. Alihkan perhatianku dari semua fenomena ini. Biarkan seluruh perhatianku hanya kepada-Mu. Buat hamba berdiri di hadapan-Mu. Anugerahilah hamba ketenangan. Berilah hamba pakaian cinta-Mu. Anugerahilah hamba kematian di jalan-Mu dan cinta kepada-Mu. Ya Allah! Teguhkanlah diri hamba di atas agama-Mu.”

    Saya terus mengulang kalimat-kalimat itu dalam hati hingga beberapa jam, sampai akhirnya pintu dibuka, anjing-anjing buas diambil paksa menjauhi tubuh saya dan saya dibawa. Saya menyangka pakaianku berlumuran darah, karena saya yakin anjing-anjing itu telah menggigit setiap bagian tubuhku. Akan tetapi, tidak ada noda darah satu pun pada pakaian, seolah-olah anjing-anjing itu hanya imajinasiku saja. “Allah Maha Agung! Dia senantiasa bersama hamba-Nya.”

    Saya kemudian bertanya dalam hati, apakah diriku pantas mendapat semua karunia ini dan hadiah dari Allah? Sipir pun heran tidak percaya. Langit di angkasa penuh dengan cahaya senja, menunjukkan matahari telah terbenam. Maka dari itu, saya menyimpulkan bahwa tadi saya terkunci di dalam bersama anjing-anjing itu lebih dari tiga jam.

    Segala puji bagi Allah atas segala rintangan! Saya didorong, dan berjalan terhuyung-huyung sepanjang jalan. Perjalanan itu terasa lama hingga akhirnya pintu dibuka. Saya masuk dan merasa asing dalam aula yang luas. Saya dituntun sepanjang koridor, melewati banyak pintu tertutup. Salah satu pintu sedikit terbuka, dan memberikan cukup cahaya untuk menerangi ketidakjelasan koridor. Tanpa sengaja terlihat wajah Muhammad Rashad Mahna, mantan Putra Mahkota Mesir. Rezim Nasir percaya bahwa Ikhwanul Muslimin akan memakai dirinya sebagai Kepala Negara jika mereka mengambil alih kekuasaan. Oleh karenanya, Muhammad Rashad ditangkap. Tiba-tiba, sel nomor 3 dibuka dan aku dilempar ke dalam.

    Mimpi Pertama Bertemu Rasulullah
    Saya tidak tahu bagaimana proses terjadinya, tapi ketika saya berzikir menyebut nama Allah, tiba-tiba saya tertidur pulas. Saat itulah saya mengalami mimpi pertama dari empat kali mimpi bertemu Rasulullah. Saya memimpikan hal ini selama mendekam di penjara.

    Tiba-tiba Rasulullah ada di depanku, segala puji bagi Allah. Kala itu saya berada di padang pasir yang luas; di sana terdapat unta-unta dengan pelana yang terbuat dari cahaya. Masing-masing pelana terdapat empat laki-laki, wajah mereka bercahaya.

    Saya menemukan diri saya berada di belakang iring-iringan unta yang sangat panjang, gurun tak berujung, dan berdiri di belakang seorang pria terhormat. Orang ini memegang tali kekang kuda dan melewati setiap unta. Aku bertanya-tanya dalam hati, “Mungkinkah orang ini Rasulullah?”

    Sebuah suara tiba-tiba memecah kesunyian, “Zainab! Anda mengikuti jejak Muhammad, Hamba Allah dan Rasul-Nya.”

    “Maksud tuan, aku? Mengikuti jejak Muhammad, Hamba Allahdan Rasul-Nya?”

    “Ya, Kau, Zainab Ghazali, mengikuti jejak Muhammad, HambaAllah dan Rasul-Nya.”

    “Wahai kekasihku! Benarkah aku mengikuti jejakmu?”

    “Zainab! Kamu berada di jalan yang benar. Kamu berada di jalan yang benar. Zainab! Kamu mengikuti jejak Muhammad, Hamba Allah dan Rasul-Nya.”

    Saya mengulangi pertanyaan yang sama dua kali, dan menerima jawaban yang sama dari Rasulullah.

    Saya terbangun, kembali ke dunia nyata. Namun heran, “Aku di mana dan apa yang akan kuhadapi?” Saya pun bingung dengan rasa sakit yang aku alami, juga heran dengan tiang kayu dekat jendela yang kulihat.

    Tampaknya saya telah dibawa ke tempat lain yang lebih terisolasi. Selain itu, saya juga heran, meskipun saya dikenal sebagai Zainab Al-Ghazali, tapi nama saya yang tercatat sejak lahir adalah Zainab Ghazali, dan dengan nama itu Rasulullah memanggilku. Tentu saja itu bisa terjadi, karena mimpi membawaku melintasi waktu dan ruang.

    Saya melakukan tayamum dan mulai berdoa, bersyukur kepadaAllah atas karunia ini. Di dalam salah satu sujud, saya menemukan diri saya berdoa dan memohon:

    “Ya Rabb, dengan cara apa saya bersyukur? Tidak ada yang bisa saya lakukan selain tetap teguh di atas jalan-Mu. Ya Allah, saya berjanji untuk mati di atas rida-Mu. Ya Allah, saya berjanji kepadaMu, tidak ada yang harus disiksa karena aku. Ya Allah, teguhkanlah aku dalam mengikuti kebenaran yang Engkau ridhai, dan ikatlah aku di atas kebenaran yang Engkau ridhai.”

    Kedamaian dan ketenangan memenuhi pikiranku…

    Makanan dari Surga
    Saat matahari terbenam, para algojo penjara semakin meningkatkan penjagaan. Roda penyiksaan mulai bergulir. Pada waktu malam, mereka membawaku kembali ke sel air. Perutku menjerit kelaparan, tenggorokan kering karena haus, dan luka tubuhku menghanguskan jiwaku.

    Ajaibnya, saya tertidur dan menikmati mimpi paling indah. Wanita-wanita cantik mengenakan pakaian yang indah terbuat dari sutra hitam, dihiasi mutiara yang dijahit dalam beludru bersulam emas. Mereka membawa piring emas dan perak penuh dengan daging dan buah-buahan yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saya mulai memakan semua hidangan satu per satu.

    Saat saya terbangun, saya tidak lagi merasa lapar atau haus. Dan rasa makanan yang saya makan dalam mimpi masih terasa di mulut. Saya bersyukur kepada Allah dan memuji Dia karena karunia-Nya.

    Tikus-Tikus pun Taat Kepada-Nya
    Saya tetap berada di sel air sampai siang hari di hari keenam. Setelah itu saya pindah lagi ke ruang tahanan. Sekarang, saya tidak lagi gelisah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebab, semua jenis penyiksaan yang bisa dibayangkan di tempat itu telah saya rasakan.

    Saya serahkan segala urusan kepada Allah dan duduk bersandar di dinding. Selang beberapa saat, terlihat sesuatu bergerak-gerak. Ternyata, manusia-manusia biadab itu memasukkan banyak tikus ke dalam ruanganku.

    Saya merasa ngeri dan mulai gemetar tak terkendali, lalu berdoa, “Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan dan hal-hal berbahaya. Ya Allah, lindungilah aku dari kezaliman dengan hal apa pun yang Engkau inginkan dan dengan cara apa pun yang Engkau suka!”

    Saya mengulangi doa ini hingga terdengar azan Zuhur. Saya bertayamum, shalat, dan berdoa. Saya terus berdoa kepada Allah sampai shalat Ashar. Seusai shalat Ashar, Safwat Al-Rubi datang.

    Ajaibnya, pada saat itu hampir semua tikus telah lenyap. Tikus-tikus itu pergi lewat jendela. Safwat heran, ia mengamati sudut-sudut sel. Beribu pertanyaan seolah tampak di wajahnya.

    Ia tidak bisa mencerna apa yang baru dilihatnya. Dia pun mengutuk dan bersumpah dalam kekecewaan. Dia kembali membawaku ke sel air, dan membiarkannya selama delapan hari. Kelelahan begitu terasa dan hampir tak tertahankan. Pada hari kesembilan, Safwat, Riyad, dan seorang tentara berseragam militer datang ke sel dan mengancam bahwa ini adalah kesempatan terakhirku untuk menyelamatkan diri. Lagi-lagi, mereka menyuruhku untuk mengakui segala sesuatu yang mereka inginkan dariku. Jika tidak, mereka akan menghabisiku.

    Riyad menggertak, “Apakah kamu benar-benar berpikir bahwa Tuhanmu memiliki neraka? Neraka itu di sini, di bawah kekuasaan Nasir! Surganya Nasir nyata, dan ada di sini. Bukan imajinatif, seperti surga yang Allah janjikan untukmu!”

    Saya terus berdoa kepada Allah, meskipun Hamzah dan sepuluh tentaranya datang.

    “Hamzah, apa yang harus kita lakukan dengan keparat ini?” Safwat bertanya kepada Hamzah. Hamzah melihat tentara-tentara bawahannya dengan muka garang.

    “Apa yang kamu minum?” Teriaknya.

    “Teh, pak…” Kata para prajurit.

    “Teh…?” tanya komandan Hamzah dengan rona bengis. Kemudian ia memberi instruksi kepada Safwat, “Safwat! Bawa mereka pergi dan beri masing-masing sebotol anggur dan ganja. Beri mereka makan segala sesuatu yang mereka ingin makan. Kemudian lemparkan wanita jalang ini (Zainab) kepada mereka. Aku akan memberikan masing-masing hadiah atas jasanya.”

    Mereka kemudian berlalu. Saya tetap berada di sel sampai shalat Ashar dan terus berdoa. Tiba-tiba pintu terbuka, dan Safwat bergegas ke arahku, menarikku dengan lengannya. Riyad lantas angkat bicara, “Apakah kau ingin menjadi orang suci? Tentara yang kami utus kepadamu kemarin, sekarang di rumah sakit, menderita keracunan. Mereka akan kembali besok untuk melahap dagingmu. Ini adalah perintah Nasir, karena dia tidak akan pernah meninggalkanmu. Kami telah mencoba berkali-kali, tapi kau menolak mengubah pendirianmu. Apakah kau ingin menjadi syuhada?”

    Saya tidak menjawab ocehannya, diam seribu bahasa.

    “Jawab aku! Jawab aku!” dia berteriak lantang.

    “Di mana cambukmu Safwat?” lanjutnya.

    Safwat mencambuk tubuhku. “Cambuk terus Safwat…jangan berhenti!” teriak Riyad.

    “Apa yang kamu inginkan dengan menjadi orang suci, dasar wanita jalang…!” Riyad kembali membentakku.

    “Apakah kamu ingin setelah 30 tahun kematianmu, orang-orang akan membangun monumen di masjid dan mengatakan bahwa Zainab Al-Ghazali Al-Jubaili menunjukkan karamahnya di penjara?

    Tapi ingat, kau sekarang di sini bersama kami, bahkan iblis tidak akan tahu apa yang kita lakukan kepadamu!”

    Saya tertawa di depan wajahnya meskipun rasa sakit mendera seluruh tubuhku. Itu tawa ejekan, mencaci kebodohan dan arogansi. Saya berkata pelan, “Setelah apa yang kau katakan, Allah tidak akan menjauhi kami. Kami akan berusaha melawan, bersabar, dan mengalahkan apa yang Anda sebut sebagai nerakanya Nasir. Kami adalah pencari kebenaran, kami mencari Allah dan keridhaanNya. Allah akan melihat kemenangan kami atas kalian dan akan membalasnya dengan siksaan yang lebih pedih dari yang kami alami.”

    Kematian Mendadak Jamal Abdul Nasir
    Nasir tidak bisa menerima kenyataan bahwa seorang pria dan seorang wanita telah menggagalkan masa depannya. Pria itu adalah Abdul Fattah Ismail, dan wanita itu adalah saya (Zainab Al-Ghazali). Kedua aktivis muslim itu telah membuat begitu banyak kekacauan, hingga Nasir tidak bisa menikmati kekuasaannya dengan damai. Penguasa diktator, Jamal Abdul Nasir, terkena serangan jantung.

    Zainab menuturkan:

    Hari demi hari, malam demi malam, kematian Nasir terus diberitakan dengan terus diiringi isak tangis, teriakan, dan ratapan kesedihan. Ironinya, kami membaca berita dari seorang Syekh yang menjelaskan bahwa Nasir adalah pahlawan Islam.

    Saya bersumpah, itu adalah Syekh yang beberapa tahun lalu pernah datang ke rumahku. Maka dari itu, saya katakan bahwa mereka yang menganggap Nasir sebagai pahlawan Islam adalah kafir; keluar dari agama Islam dan rugi dunia-akhirat. Dalam kondisi seperti ini, kami menerima berita kematian Nasir. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang hidup abadi.

    Bebas dari Penjara

    Tanggal 9 Agustus menjadi momen yang tak terlupakan bagi Zainab. Setelah merasakan getirnya siksaan di penjara selama 6 tahun sekaligus berakhirnya kekuasaan Jamal Abdul Nasir. Maka, atas banyaknya desakan, pemerintah saat itu, yaitu Anwar Sadat membebaskan Zainab dari kurungan.

    Apakah setelah bebas dari penjara ujian dan hambatan dakwah hilang? Tentu tidak. Setelah keluar dari penjara, Zainab kembali ke dunia dakwah. Ia ia dianjurkan untuk menghidupkan kembali majalah Sayyidat Muslimah dengan menjadikan dirinya sebagai direkturnya. la akan menerima kucuran dana sebanyak 300 Pounds perbulan, dengan catatan harus bersedia mengusung kepentingan-kepentingan pihak donatur.

    Dengan sangat tegas Zainab menolak dan mengatakan bahwa mustahil baginya mendirikan sebuah penerbitan untuk mengusung pemikiran-pemikiran sekuler. la mengatakan pula bahwa penerbitan ini didirikan untuk kepentingan Islam dan bukan untuk kesesatan.

    Zainab kembali menggalakkan kegiatan dakwah dengan melakukan pengajian-pengajian dan seminar-seminar di Mesir sendiri maupun di luar negeri. Adapun negara-negara yang pernah ia kunjungi adalah Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Yordania, Al-Jazair, Turki, Sudan, India, Francis, Amerika, Kanada, Spanyol, dan lain sebagainya.

    Meski kehidupan keluarganya tidak dihadiri dengan buah hati, Zainab menganggap bahwa semua anak-anak Islam merupakan anak-anaknya juga. Begitulah, Zainab menghabiskan sisa hidupnya dalam gelimang dakwah Islamiyah. Hingga akhirnya jatah rizkinya telah habis dan  Allah pun memanggilnya dalam ketenangan pada Rabu, 3 Agustus 2005 di kala umurnya menginjak 88 tahun.

    Buku Ayyam min Hayati versi bahasa Melayu
    Buku Ayyam min Hayati versi bahasa Melayu
    Kehidupannya begitu mulia dalam dakwah. Kisah-kisahnya penuh hikmah dan karya-karyanya begitu menginspirasi seperti  “Ayyam min Hayati”, Nahwa Ba ‘su Jadid, Maa Kitabullah, Muskilatu Sabab wa Fatayat.”

    Selamat jalan wahai muslimah shalihah nan tangguh. Meskipun dirimu telah tiada, jiwa dan semangatmu tetap tertanam pada muslimah-muslimah masa kini. Wallahu a’lam bi shawab.

    Penulis : Dhani El_Ashim

    Sumber

    Return of The Pharaoh, Zainab Al-Ghazali
    Tarbiyah Jihadiyah, syaikh Abdullah Azzam
    Zainab al-Ghazali: Pioneer of Islamist Feminism By Pauline Lewis
    Salaf-Stories, Abdullah bin Abdurrahman

    No comments:

    Post a Comment