Pada saat itu, saya sedang melakukan kunjungan kumpul keluarga di salah satu daerah di Jakarta. Tiba-tiba, ada seorang anak perempuan berumur empat tahun bernyanyi lagu dari salah satu girlband Indonesia yang sedang populer. Semua orang sangat menikmati tiap lirik yang dinyanyikan anak tersebut. Lucu, sih. Tapi apakah pantas anak berumur empat tahun bernyanyi tentang cinta?
Waktu saya kecil dulu, saya hanya menyanyikan lagu-lagu, seperti Bintang Kecil dan Balonku. Tapi anak kecil zaman sekarang justru lebih sering menyanyikan lagu-lagu bertema cinta.
Mari kita merenung sejenak. Ada berapa banyak acara berita gosip selebritas di televisi? Berapa jumlah total jam tayang acara tersebut selama 24 jam? Pukul 06.00 WIB, Anda sudah disuguhi berita gosip selebritas yang rata-rata memiliki durasi satu jam. Lalu, sekitar 09.30 WIB, Anda kembali disuguhi acara dengan berita yang nyaris sama.
Untuk menemani makan siang, Anda juga disuguhi acara yang sama dengan materi berita yang nyaris sama dengan acara gosip pagi hari. Menjelang magrib, Anda kembali disuguhi acara dan materi berita yang nyaris sama, dengan durasi sekurang-kurangnya satu jam.
Lantas bandingkan dengan porsi acara anak-anak di televisi sudah cukupkah acara edukasi untuk anak? Sangat tidak lucu jika anak-anak di bawah umur sudah mengerti apa itu perselingkuhan, perceraian, dan hal lain yang belum saatnya mereka ketahui.
Sejauh ini, sangat sedikit acara yang mengatasnamakan edukasi anak. Sisanya, Anda bisa menilai bagaimana kualitas acara-acara televisi saat ini. Film animasi yang dipertontonkan selama ini pun sebenarnya juga masih kurang layak untuk dikonsumsi anak-anak. Alasannya? Terlalu banyak adegan kekerasan di dalamnya dan hal ini bisa mempengaruhi perilaku anak-anak.
Sebenarnya tidak hanya acara televis, musik-musik yang sering kita dengar saat ini pun juga sangat amat minim edukasi untuk anak-anak. Hampir semua musik yang kita dengarkan bertema cinta. Dan ironisnya, acara yang menyuguhkan musik tersebut dikonsumsi juga oleh anak-anak. Itu semua membuat anak-anak zaman sekarang menjadi “dewasa sejak dini”.
Lantas bagaimana peran orangtua dalam mencegah terjadinya penurunan kualitas mental generasi muda untuk masa depan? Para orangtua harus memahami tentang betapa pentingnya literasi media. Istilah orang awamnya, literasi media adalah melek media. Kita harus tahu benar apa-apa saja yang sebenarnya ada pada media tersebut.
Caranya sangat sederhana, langkah pertama yang harus dilakukan oleh orangtua adalah menganalisis. Orangtua harus menganalisis isi pesan yang terkandung dalam segala hal yang dipublikasikan melalui media massa. Seperti halnya film kartun yang menceritakan tentang perseteruan kucing dan tikus. Bagi kita orang dewasa memang lucu. Melihat kucing dan tikus berkelahi dengan saling pukul. Lalu terkadang mereka berdamai lagi karena suatu alasan. Namun nyatanya, adegan saling pukul tersebut sangat tidak pantas jika dikonsumsi anak-anak. Hal ini akan berdampak pada perilaku si anak yang menonton.
Dalam musik juga demikian, orangtua juga harus menganalisis secara menyeluruh tentang musik-musik yang anak-anak konsumsi. Pesan cinta yang disampaikan lirik suatu lagu tersebut sejatinya memang kurang pantas jika didengar oleh anak-anak. Secara tidak langsung, anak-anak Anda dicekoki urusan orang dewasa yang tidak perlu mereka ketahui.
Langkah kedua yang harus dilakukan orangtua adalah menilai. Orangtua yang mampu melakukan penilaian, maka orangtua tersebut mampu menghubungkan informasi atau pesan yang ada di media massa dengan kondisi anaknya sendiri. Orangtua harus pandai menilai acara televisi mana yang memang pantas untuk ditonton.
Seperti yang kita ketahui, saat ini setiap malam banyak sekali sinetron yang menyuguhkan adegan percintaan. Tidak hanya itu, adegan saling fitnah dan menjatuhkan juga kerap mewarnai tiap episodenya. Jika orangtua kecolongan, maka akan sangat berpengaruh pada kebiasaan anak dalam berperilaku. Anak-anak akan lebih sering mengucapkan kata-kata yang mereka dengar dari sinetron tersebut, serta meniru adegan yang ditonton di sinetron tersebut.
Langkah ketiga adalah pengelompokan, yaitu menentukan setiap unsur yang sama maupun yang berbeda dengan berbagai cara. Pada tahap ini orangtua harus mengelompokkan tayangan, lagu, dan apa pun yang beredar di media massa agar anak-anaknya berada di jalur yang benar. Jika perlu, orangtua harus menonton secara utuh acara yang mereka tonton, dan mendengarkan secara menyeluruh musik-musik yang anak mereka dengarkan.
Pakar psikologi Swiss, Jean Piaget (1896-1980) dalam buku Life Span Development mengatakan bahwa anak dapat membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Dalam hal ini, Piaget memiliki suatu teori yang menggambarkan fase perkembangan anak usia 2-7 (tahap kedua perkembangan anak), yaitu tahap praoperasional (preoperational stage).
Pada tahap ini, anak-anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Selain itu juga mulai muncul pemikiran egosentrisme, animisme, dan intuitif. Egosentrisme adalah suatu ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif seseorang dengan perspektif orang lain dengan kata lain anak melihat sesuatu hanya dari sisi dirinya. Animisme adalah keyakinan bahwa objek yang tidak bergerak memiliki kualiatas semacam kehidupan dan dapat bertindak. Sedangkan intuitif adalah segala sesuatu yang bersal dari bisikan hati.
Dari apa yang mereka dapatkan melalui panca indra (sensasi), maka mereka yang berada pada fase praoperasional akan mencernanya menjadi sebuah persepsi. Ketika apa yang dilihat dianggap bagus, maka anak akan menirunya. Sangat sulit jika apa yang mereka tiru adalah sesuatu yang tidak pantas mereka lakukan. Akibatnya, mereka akan sulit sekali diberi tahu tentang nilai-nilai kebaikan yang seharusnya mereka anut.
Memang begitu penting pengawasan media oleh orangtua yang akan dikonsumsi anak. Apalagi, kita hidup di tengah derasnya arus informasi. Jika kita tidak pintar melangkah di tengah arus deras tersebut, maka kita semua akan hanyut dan terbawa arus informasi tersebut.
Seperti kata Sir Alex Ferguson,"You are what your parents are." Jadi jika seorang anak menjadi nakal, bukan semata-mata hanya salah lingkungan bermainnya. Tetapi juga salah orangtuanya yang kurang mengawasi anak-anaknya.
(BeritaSatu.com)
Saturday, April 30, 2016
Slider
No comments:
Post a Comment