Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Saturday, April 30, 2016

    Menyoal Bayaran dalam Menulis

    SORE itu langit mendung dan butiran-butiran air hujan mulai berjatuhan. Kami berdelapan sudah sepakat untuk membahas tentang mekanisme penerbitan di divisi sebuah komunitas kepenulisan. Pada awalnya materi serasa berjalan lambat, entah kenapa, bahasan jadi ngalor ngidul kemana-mana hingga diskusi formal ini berakhir.

    Hujan masih deras menghantam bumi. Kami pun mulai membicarakan hal lain di luar diskusi formal. Mulai dari mendiskusikan fiksi horror, film yang di angkat dari novel zaman dulu, hingga cara-cara agar tulisan tembus ke penerbit, atau setidaknya ke media. Yang ketiga menjadi pembahasan yang dirasakan mendapat perhatian lebih dalam diskusi.

    Mulai dari penerbit yang besar hingga penerbit indie dibahas satu-satu. Bedanya yang ISBN dan tidak ISBN seperti apa, berapa bulan karya ditahan penerbit, hingga bagaimana mekanisme pembayaran royalti.

    Kami mulai memuji takjim ketika seorang penulis mendapat royalti yang besar dari tulisannya. Memuji juga salah satu rekan kami yang telah tembus ke penerbit yang cukup populer di Indonesia. Hingga akhirnya sampailah pembicaraan kami kepada karya yang dipublikasikan di media.

    “Coba kirim esai atau karya kamu ke media-media saja dulu, atau ikuti beberapa sayembara kepenulisan,” kata senior kami.

    Ia mulai melanjutkan menjelaskan beberapa media yang sering membayar karya tulis kontributor dan yang tidak. Fiksi atu nonfiksi, yang dihadiahi sekadar buku sampai berbentuk uang. Seniorku mulai menceritakan tentang tulisannya yang dimuat di beberapa media.

    “Jangan lupa kalian coba kirim tulisan ke media islam,” katanya. “Coba buka tuh web … (menyebutkan nama web yang terkenal), kalian bisa kirim ke sana.”

    Tiba-tiba teman di sebelahku menyahut, “Dapet bayaran gak, Teh?”

    Seniorku menggeleng dan mengatakan, “Nggak…” Sementara temanku hanya berkata “Oh” dengan wajah yang terlihat kecewa.

    Sembari perbincangan terus berlanjut, entah kenapa aku mulai merenung sendiri. Terutama saat peristiwa yang baru saja terjadi. Aku terdiam, sekali dua kali memperhatikan kembali jalannya pembicaraan. Entah kenapa aku mulai menarik kesimpulan diskusi ini yaitu selanjutnya adalah hanya membicarakan masalah honor, hadiah, dan pembayaran royalti.

    Kemudian aku segera beristigfar akan dua hal, jangan-jangan aku yang berpikiran seperti itu bukan mereka dan jangan-jangan aku malah bersuudzan kepada temanku. Astagfirullahaladzim.

    Aku sungguh-sungguh menyadari, ketika menjadi mahasiswa, manusia mulai mengaktualisasikan diri, terlepas bahwa kita masih memikirkan faktor fisiologisnya, dibuktikan dengan omongan tentang uang. Mencari kerja sampingan dilakukan oleh banyak mahasiswa, dan mengirimkan tulisan untuk mendapat upah adalah sasaran empuk.

    Namun lagi aku termenung, lebih pada diri sendiri, ketika hal apa pun dikatitkan dengan dakwah. Bukankah dakwah adalah perintah Allah SWT? Ingat sekali beberapa waktu yang lalu, aku sempat nonton televisi, dikabarkan bahwa seorang ustad terkenal di negeri ini digugat gara-gara masalah uang bayaran. Kemudian media meliput ustad lain untuk menanyakan terkait bayaran bagi seorang ustad.

    Si Ustad menjawab, bahwa ketika berdakwah kita tidak boleh mengharapkan balasan dari manusia, karena berdakwah adalah perintah Allah SWT, orientasinya adalah agar kita mendapat rahmat dari Allah SWT.

    Seorang ustad di daerahku juga pernah bilang, boleh-boleh saja kita menerima bayaran dari hasil berdakwah kita. Hanya semata-mata menyadari bahwa Allah SWT memberikan rezeki melalui tangan si pemberi tersebut, dan semata-mata karena menghormati si pemberi, untuk tidak menolaknya. Bahkan dia berpesan, jangan sampai membuka amplop di depan si pemberi, apalagi dengan memperilhatkan wajah kecewa saat menerimanya. Hal itu menghilangkan adab kesopanan.

    Lalu apalah bedanya dakwah langsung melalui ceramah dan dakwah melalui tulisan? Hanya beda medianya saja bukan? Dakwah tetaplah dakwah. Dan sudah sepantasnya kita tak kecewa ketika kita sebut saja tak dibayar ketika mengirim tulisan, jika orientasinya adalah untuk menyebarkan kebaikan agama Allah SWT.

    Wallahu alam bissawab. Akhirnya sebagai makhluk dhaif hanya bisa memohon perlindungan dan bimbingan kepada Allah SWT agar selalu berada di jalan yang lurus. [islampos.com]

    Dini Sri Mulyati, Redaktur Muda Islampos

    No comments:

    Post a Comment