Perempuan kelahiran Medan 2 April 1970 ini membuat kelompok yang mencetak kader penulis lewat Forum Lingkar Pena. Berkat kerja kerasnya, FLP sudah ada di 30 provinsi di Indonesia, bahkan di beberapa negara tetangga. Yang luar biasa, sudah 5.000 orang jadi anggota dan 750 di antaranya berhasil menjadi penulis. Selain itu, karya sastra ketua umum FLP ini juga sudah mendunia.
Siapa yang punya ide untuk mendirikan Forum Lingkar Pena?
Awalnya memang saya yang menggagas. Lantas saya, adik saya yang juga penulis, Asma Nadia, dan beberapa rekan, tanggal 22 Februari 1997 membentuk Forum Lingkar Pena. Kami mengajak rekan-rekan sampai terkumpul 30 orang. Visinya, sih, sederhana saja. Yaitu membangunh Indonesia yang cinta membaca dan menulis.
Tanpa saya duga, FLP berkembang pesat. Kebetulan waktu itu saya jadi Pemimpin Redaksi Majalah Annida, sebuah majalah remaja yang berisi kumpulan cerita pendek. Saya di Annida mulai tahun 1991 - 2001. Tiras Annida mencapai seratus ribu eksemplar. Nah, penulis-penulis di Majalah Annida banyak yang bergabung. Salah satu rekrutmen anggota memang lewat Annida.
Bagaimana perkembangannya?
Pesat sekali. Tahun 1998, ada rekan penulis dari Kalimantan Timur bernama Muthi Masfufah yang membuka FLP Kaltim. Setelah itu, semakin banyak lagi FLP di berbagai daerah. Hingga sekarang, FLP sudah ada di 30 provinsi di lebih dari 100 kota. Anggotanya sekitar 5.000 orang yang 60 persen adalah wanita berusia remaja. Banyak pula anggota FLP ibu rumah tangga. Dari sekian anggota, sudah 750 yang menjadi penulis. Sampai saat ini, sekitar 250 buku dari anggota FLP yang diterbitkan. Per bulan rata-rata terbit 10 - 20 buku.
Saya dan teman-teman memang bertekad untuk memunculkan satu penulis baru tiap bulan dengan prioritas penulis dari daerah. Pertimbangannya, di Jakarta mudah sekali seorang penulis berkembang. Beda, kan, dengan daerah yang susah sekali mencari penerbit. Rasa sosial teman-teman memang luar biasa. Ketika ada satu penulis yang sudah jadi, dia terpacu untuk melatih yang lain sampai jadi. Ada kebanggaan untuk mencetak penulis baru. Begitu semangat yang ada di tiap daerah.
Kabarnya FLP juga ada di beberapa negara?
Memang benar. Banyak teman yang kebetulan studi di luar negeri ingin membuka cabang FLP di sana. Tentu saja saya gembira. Sekarang sudah ada FLP untuk kawasan Eropa dengan ketuanya Muthmainnah Herawati yang berdomisili di Inggris. Ada juga di Jepang yang ketuanya seorang kandidat doktor bernama Femina Sagita. Ada lagi di Mesir. Beberapa hari lalu, saya terima surat dari seorang nakerwan di Hongkong. Ia berharap, kami membuka FLP di sana. Katanya, banyak nakerwan yang ingin belajar menulis. Saya terharu mendengar keinginan mereka.
Apa saja, sih, kegiatan FLP untuk mencetak penulis?
Tiap minggu selalu ada kegiatan. Kami memberikan pelatihan kepada teman-teman anggota yang membayar iuran Rp 2.500 perbulan itu, sampai bisa menjadi penulis. Kegiatannya bisa mendiskusikan karya mereka. Satu karya dibahas ramai-ramai. Anggota lain mengkritik dan memberi masukan. Bisa juga lewat seminar dan workshop. Selain pengajarnya anggota FLP yang sudah jadi penulis, sering pula kami mengundang pakar. Misalnya saja di Purwokerto yang sering mengundang Pak Ahmad Tohari. Banyak, kok, sastrawan yang membantu. Dan yang sangat mensupport adalah Pak Taufik Ismail, sehingga beliau kami angkat menjadi penasihat kami.
Omong-omong tentang FLP Purwokerto, mereka memberi nama pelatihan dengan istilah yang lucu-lucu. Misalnya saja bakar sate kepanjangan dari bahas karya sambil telaah. Ada lagi nama sambel terasi yang artinya sama-sama belajar sastra dan seni.
Bagaimana kondisi masing-masing daerah?
Saya sering ke berbagai daerah untuk memberi pelatihan kepada teman-teman. Masing-masing daerah memang kondisinya berbeda-beda. Ada daerah yang termasuk kaya yaitu di Kalimantan Timur. Mereka sudah punya cabang di Sangata, Bontang, Balikpapan, Samarinda. Kalau pelatihan, makannya pun prasmanan.
Sebaliknya, ada daerah yang sederhana. Misalnya saja saya pernah ke suatu kota di Sumatera yang tidak usah saya sebut namanya. Karena keterbatasan dana, saya dicarikan hotel murah yang banyak kecoaknya. Saking lugunya, mereka enggak tahu hotel itu tempat mangkal pelacur. Akibatnya, jam satu malam pintu kamar diketok pria iseng. Ha ha.
Wah, banyak cerita menarik ketika keliling daerah?
Memang benar. Pernah saya ke Aceh tahun 2001. Di sana, kumpul-kumpul saja harus ada izin dari polisi. Waktu diskusi, tiba-tiba terdengar suara mortir menggelegar. Tentu saja saya ngeri. Eh, teman-teman bilang, "Ini baru empat kali ada bunyi mortir." Teman-teman di sana juga maju pesat. Mereka, yang semuanya penulis perempuan, baru saja membuat antologi bersama Doa untuk Sebuah Negeri yang semuanya berlatar Aceh.
Saya juga pernah keliling di daerah Kaltim dengan jalan darat. Misalnya saja dari Bontang menuju Balikpapan yang menempuh jarak sekitar 6 jam dengan kendaraan
darat. Capek belum hilang saya sudah mengadakan pelatihan. Yang tidak saya duga, mereka memperlakukan saya seperti artis. Banyak orang rela antre untuk mendapat tanda tangan. Padahal, di Jakarta, saya naik angkutan umum tidak ada yang mengenali saya.
Agar anggota FLP semangat, salah satunya tentu mempublikasikan karya mereka. Bagaimana caranya?
Hingga sekarang, saya bekerja sama dengan 15 penerbit. Mulai dari penerbit kecil sampai besar seperti Gramedia dan Mizan. Buku terbaru Asma Nadia berjudul Cinta Tak Pernah Menari, beberapa waktu lalu diterbitkan Gramedia. Tentu saja awalnya sulit bukan main. Tahun 1997, penerbit masih melihat nama besar. Sulit sekali meyakinkan bahwa kualitas karya teman-teman FLP sudah bagus.
Lama-kelamaan, karya teman-teman sudah diterbitkan. Nah, teman yang sudah berhasil punya buku ini, meyakinkan penerbit bahwa karya teman lain kualitasnya juga bagus. Begitu seterusnya. Kebetulan pula, ada beberapa teman penulis anggota FLP yang bekerja di penerbitan. Nah, mereka juga bertugas meyakinkan penerbit.
Saturday, April 30, 2016
Tokoh Inspiratif
No comments:
Post a Comment