Peserta lomba (sebanyak 110 penghafal Al-Qur’an) dari 70 negara hadir, mereka berusia antara 7 – 20 tahun. Tidak ada peng-klasifikasian berdasarkan usia. Usia tidak penting, yang penting adalah hafalannya. Mereka menghadapi tantangan yang berat selama waktu pelaksanaan lomba di bulan Ramadhan, dimana para peserta harus berpuasa di siang hari dan berlomba di malam hari hingga dini hari. Penggunaan komputer dalam perlombaan juga membuat beberapa peserta bertambah gugup. Komputer bertugas untuk memperdengarkan ayat Al-Qur’an, kemudian peserta diminta untuk melanjutkan bacaannya sampai ayat yang telah ditentukan. Penilaian juga meliputi ketepatan makhraj dan tajwid.
Penilaian dilaksanakan oleh beberapa juri yang telah dikenal memiliki kompetensi dalam hafalan Al-Qur’an. Bahasa komunikasi antara juri dengan peserta selama lomba adalah bahasa Arab. Jika peserta salah dalam melanjutkan ayat, namun ia mampu menyadari kesalahannya, maka ia akan dipotong setengah poin. Namun, jika juri yang membetulkan kesalahannya, maka peserta kehilangan satu poin. Kalau salah tiga kali dalam pertanyaan yang sama, maka peserta tidak akan mendapat poin.
Film “Koran by Heart” ini berfokus pada sisi parenting yaitu mengangkat kisah anak – anak sebagai contoh kasus, diantaranya Saidov Nabiollah Muhammad dari Tajikistan; Rifdha Muhammad Rasyid dari Maladewa; dan Djamil dari Senegal. Ketiganya adalah mutiara yang kini tersebar di permukaan bumi yang memiliki kesamaan, antara lain:
Sama-sama berusia 10 tahun dan sama-sama telah hafal Al-Qur’an 30 juz;
Tidak satu pun dari ketiga bocah itu yang bisa berbahasa Arab;
Jarak tempat tinggal ketiganya terpisah ribuan kilometer, namun mereka mempelajari Al-Qur’an yang sama.
Melalui fakta ini, sutradara ingin menunjukkan sebuah hikmah dari mukjizat Al-Qur’an yang mudah dihafalkan sehingga terpelihara sepanjang masa, meski para penghafal tidak bisa berbahasa Arab. Begitu juga pesan-pesan keutamaan menjadi penghafal Al-Qur’an dikemas secara apik melalui penggalan kisah sederhana hidup ketiga anak ini. Dalam postingan terpisah akan saya coba sharing tentang bagaimana Greg Baker yang non-muslim ini menggarap sebuah film dokumenter yang mengupas dunia Islam yang menakjubkan, melalui riset yang sungguh-sungguh, sehingga menghasilkan sebuah karya yang menyentuh hati. Ini seharusnya menjadi pelajaran bagi sineas-sineas Indonesia agar saat mengangkat tema religi tidak malah menyulut konflik karena kekurang-pahamannya akan ajaran Islam dan tradisi yang menyelimutinya sebagai latar belakang.
Selain menggambarkan suasana kompetisi hafidz di Kairo, film ini juga menceritakan kehidupan ketiga bocah muslim tersebut di atas di kampungnya, yaitu tentang sekolah mereka, cita-cita mereka, dan harapan orang tuanya. Adegan bolak-balik dari Kairo dan di negara mereka masing-masing. Gambaran masing-masing perjalanan ketiga anak itu adalah sebagai berikut:
Perjalanan Saidov Nabiollah Muhammad
Saidov Nabiollah MuhammadBerasal dari Tajikistan di sebelah utara Asia dan merupakan negara bekas wilayah Uni-Sovyet, berasal dari ras Kaukasus, dan bahasa sehari-harinya adalah Tajik. Ia belajar di sebuah pesantren yang sangat jauh dari keramaian kota, dibimbing seorang qari bernama Umar. Cara ia menghafal pun sangat mengagumkan setiap ayat dibacakan oleh gurunya lalu ditirukannya begitu seterusnya sampai dia selesai menghafal 30 juz Al-Qur’an. Bocah yang tidak tahu bahasa Arab sama sekali ini mempunyai kelebihan yaitu daya ingat yang luar biasa. Nabiollah terlihat sangat percaya diri, tenang, cerdas, dan ia pun pandai bergaul dengan siapa saja.
Saat perlombaan, ia sempat grogi karena tidak tahu bagaimana cara mengoperasikan komputer untuk memilih ayat secara acak, sampai ada petugas yang membantunya, dan ketika penggalan surat selesai dibacakan oleh komputer, ia pun harus meneruskannya. Setelah agak tenang ia membaca hafalannya dengan memejamkan mata dan membayangkan tiap kalimat yang dia baca, seperti sedang membuka halaman-halaman Al-Qur’an dalam pikirannya. Masya Allah… sungguh suaranya itu lho … sangat menawan, merdu dan lembut. Sampai salah satu juri senior, Sha’aysha, meneteskan air mata, menangis dan mencium pipi Nabiollah setelah proses tes. Saya merasa merinding mendengar suara dan ketenangan Nabiollah ini. Sayapun melihat istri saya juga meneteskan air mata, dan beberapa kali menyeka matanya yang basah. Saya rekomendasikan Anda sekeluarga nonton film ini deh…
Di bawah ini, bagian film saat Nabiollah mengikuti lomba, termasuk pandangan dari pakar kajian lantunan dan rima Al-Qur’an dari Barat (non-muslim). Mari kita jeda sejenak untuk menyaksikannya.
Dengan skor 95 / 100, akhirnya Nabiollah menjadi juara ke-3, dan ia satu-satunya peserta yang dipilih untuk mentasmi’ Qur’an dihadapan Presiden, pejabat dan masyarakat Kairo dalam Award Ceremony perlombaan tersebut (di malam Lailatul Qadr). Meski tidak bisa berbahasa Arab, ia mampu menghadirkan bacaan Al-Qur’an dengan hati dan menghafal seluruh bacaan dengan sempurna.
Hal yang mengenaskan adalah ketika Nabiollah sedang mengikuti kompetisi internasional ini, pesantrennya dituding sebagai alat penyebar ekstremisme Islam dan akhirnya ditutup. Sungguh fitnah yang sangat keji dari mereka yang islamophobia.
Perjalanan Rifdha Muhammad Rasyid
Rifdha Muhammad RasyidAnak ini berasal dari Maladewa/Maldives yang terletak di Samudra Hindia. Anaknya lucu, aktif dan jenius itu bercita-cita menjadi peneliti. Ia selalu berprestasi di semua mata pelajaran sekolah. Nilainya selalu 100 untuk dua mata pelajaran yang disukainya yaitu Matematika dan Sains.
Rifdha adalah salah satu mutiara muslim di zaman modern ini, ayahnya punya pemahaman Islam yang baik, ia ingin anaknya bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya untuk mencapai cita-citanya sebagai peneliti tanpa meninggalkan kodratnya sebagai muslimah yaitu menjadi istri yang baik bagi suaminya.
Rifdha yang didampingi ayahnya dalam mengikuti lomba, di akhir kompetisi mendapat peringkat dua, dengan skor 97. Ia juga tidak bisa berbahasa Arab, namun diakui juri mampu membaca Al-Qur’an dengan tajwid yang sempurna.
Perjalanan Djamil
djamilAnak ini berasal dari Senegal, pesisir barat Afrika. Ayahnya adalah seorang imam dan khatib masjid di Senegal, ia berharap kelak Djamil akan menjadi penerusnya, seorang imam lokal yang dihormati dalam lingkungannya. Djamil diajarkan oleh gurunya di Senegal bahwa Islam adalah agama damai dan orang Islam harus menganut prinsip tersebut dalam hidupnya, tetapi pemerintah Senegal menutup sekolah yang dikhawatirkan akan mengembangkan ajaran fundamentalis. Lagi-lagi kebijakan membabi-buta dari pemerintah yang islamophobia.
Seperti keluarga Senegal pada umumnya, Djamil hidup dalam tingkat kesejahteraan yang tidak terlalu baik, sehingga ia tidak ditemani satupun keluarganya saat mengikuti lomba di Kairo, Mesir. Ketika perlombaan, Djamil gugup sekali karena ia tidak paham dengan komunikasi bahasa Arab apalagi mengoperasikan komputer lomba, sehingga dia tidak bisa berkonsentrasi dan tampak kebingungan. Ketika berkali-kali salah membaca ayat yang ditentukan, ia diingatkan oleh juri namun masih juga tidak faham, jelas bahasa menjadi kendalanya. Namun demikian, ia mempunyai kualitas bacaan yang mengagumkan, dengan penghayatannya iapun membaca sambil meneteskan air mata. Meski akhirnya, ia hanya mendapatkan skor 22,4; karena kesalahpahamannya dalam berkomunikasi yang menyebabkan ia salah mengikuti arahan juri.
Sebagai bentuk penghormatan atas kegigihan Djamil dalam menghafal Al-Quran, di-usia yang baru 10 tahun itu ia dipersilahkan membacakan Al-Qur’an di salah satu masjid terbesar di Kairo. Masya Allah… it’s simply beautiful and touching.
Peran orang tua sebagai pondasi dasar
Meski banyak dari mereka yang tidak bisa berbahasa Arab, namun mereka mampu melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan merdu nan indah. Sulit bagi saya untuk menahan emosi ketika menonton film ini. Rasanya bergelora melihat anak-anak seusia anak saya sudah mampu mencapai titik yang saya sendiri belum pernah mencapainya. Untuk itu, saya rekomendasikan kepada para keluarga muslim untuk menonton film ini, biar juga merasakan emosi yang membawa perubahan positif. Film ini benar-benar tontonan keluarga yang inspiratif, mencontohkan betapa pendidikan Al-Qur’an diawali di rumah, dari orangtuanya dulu kepada anak.
Selain ketiga tokoh sentral film ini, saya mengagumi semangat seluruh peserta dari seluruh dunia dalam menghafal Al-Quran. Para hafidz lain yang muncul dalam film dokumenter ini adalah Muhammad (10 th) dari Australia, Susana (17 th) dari Italia, Nu’man (10 th) dari Afrika Selatan, Yasser (7 th) dari Mesir, Abdel (10 th) dari Pakistan, Omar (19 th) dari Nigeria, Abdullah (17 th) dari Mesir – ia menjadi Juara 1, dan masih banyak lagi. Semua kontestan yang ikut dalam kompetisi tersebut adalah manusia luar biasa, karena dalam ingatannya-lah, ayat-ayat Al-Qur’an itu ditanam, dan mereka menjadi bagian dari para penjaga Al-Qur’an sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan seseungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” [QS Al-Hijr: 9]
Mereka dan kita, sama-sama memiliki jumlah waktu 24 jam setiap harinya. Pembedanya yakni sikap kecintaannya pada Al-Qur’an, sehingga mereka optimalkan waktu dan potensi untuk mencapai cita-cita menjadi Hafidzul Qur’an. Kunci keberhasilan mereka lainnya yang ditonjolkan dalam film ini yakni terletak pada peran keluarga. Ayah sebagai kepala keluarga dan pelopor keteladanan memiliki peranan besar menjadi motivator anak untuk menghafal Al-Qur’an. Dukungan kedua orang tua lah yang menjadi pondasi terkuat mereka untuk tetap bersemangat menghafal dan mewujudkan cita-cita menjadi Hafidzul Qur’an, bagian dari generasi pewaris Qur’an yaitu orang-orang yang menjaga orisinalitas Qur’an.
Perlu perjuangan yang sungguh – sungguh untuk menghafal sebanyak 6236 ayat, 540 paragraf dalam 114 surah Al-Qur’an. Sehingga menjadi penghafal Al-Qur’an masih menjadi hal yang berat bagi sebagian masyarakat. Namun, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menunjukkan pada kita sebaliknya, bahwa faktanya betapa banyak anak-anak di dunia ini yang menorehkan prestasi gemilang sebagai penghafal Al-Qur’an di usia belia. Sesuai dengan firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” [QS Al-Qamar: 17]
Empat kali ayat tersebut diulang pada surah Al-Qamar. Pengulangan ayat ini merupakan penekanan akan janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwa Al-Qur’an telah dimudahkan bagi hamba-Nya untuk dipelajari. Pilihannya adalah, maukah kita mempelajarinya atau tidak.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menambahkan ilmu dan semangat dalam diri kita dan anak cucu kita untuk menjadi pribadi yang cerdas intelektual, peduli sosial, dan penghafal Al-Quran. (iwanyuliyanto.co)
No comments:
Post a Comment