Kemunculan penulis perempuan yang kian menunjukkan eksistensinya semakin memperkaya khasanah dunia sastra Tanah Air. Mereka datang dengan ciri khas serta keunikannya masing-masing. Salah satunya adalah Helvy Tiana Rosa. Bagi penggemar karya tulis fiksi bernuansa Islami, namanya pasti tidak asing lagi.
Karya-karya Helvy mampu menggugah rasa kemanusiaan pembacanya. Sebagian besar diolah dalam bingkai sastra Islami.
Putu Wijaya bahkan menyebut karya Helvy adalah sastra zikir dan meditasi.
Helvy terlahir di keluarga yang kental darah seninya, sang ayah Amin Usman adalah penulis lirik lagu Jangan Ada Dusta Di Antara Kita yang dipopulerkan oleh Dewi Yull. Bakat seni Helvy dalam bidang tulis menulis sudah terlihat sejak kecil karena kegemarannya membaca dan menulis. Meski demikian ia mengaku termasuk orang yang tak percaya pada bakat. Menurut Helvy, peran bakat dalam menulis itu hanya sebesar 10 persen, sementara yang 90 persennya lagi adalah tekad. Selain tekad, juga harus latihan.
"Meski orang tua saya memang memiliki darah seni, ayah saya penulis lagu, ibu saya penari. Tapi, saya merasa kemampuan saya dalam menulis karya-karya sastra ini karena dari tekad saya dan latihan. Bakat itu bonus dari Allah," ujarnya.
Sejak kelas 1 SD, putri dari Maria Eri Susianti ini sering mencorat-coret di buku untuk menulis catatan harian. Kelas 3 SD tulisannya sudah dimuat di majalah anak-anak dan koran, dan ketika kelas 6 SD ia sudah menulis cerpen. Awalnya, karena terlahir dari keluarga yang sederhana, selain karena hobi, menulis juga untuk membiayai sekolahnya. Waktu itu ia berpikir cara mencari uang yang cepat adalah dengan menulis. Ketika SMP, tulisan Helvy bahkan sudah dimuat di Koran Sinar Harapan. Dalam kurun waktu tahun 1980-1990 memenangkan berbagai perlombaan menulis tingkat provinsi dan nasional. Buku yang paling menginspirasinya dalam menulis menurutnya adalah buku karya Toto Chan.
Ketika masih anak-anak, cita-cita Helvy sebenarnya terbilang sederhana. Ia mengaku ingin bisa berbicara di hadapan orang banyak dengan baik dan lancar, juga bisa menulis semua gagasan, pikiran-pikirannya dengan baik dan lancar. "Kita harus terampil membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Dengan keterampilan yang saya miliki tersebut akhirnya saya manfaatkan untuk menulis dan membuat karya," jelas Helvy.
Karena sejak kecil ia sudah bertekad bahwa menulis adalah bentuk keterampilan yang harus bisa dilakukan dan dikuasainya, maka setiap kali ia menulis selalu ada inspirasi karena sedari kecil ia sudah banyak membaca karya sastra. Setiap dia membaca, dia pun mengaku selalu berpikir sebaiknya dia menulis. Akhirnya, ia pun mencoba untuk menulis.
Menulis buat Helvy malah bisa jadi salah satu obat jiwa yang sakit. Ia banyak bertutur tentang cerita haru orang-orang yang tadinya sama sekali merasa tidak punya harapan, akhirnya tercerahkan.
Sebagai seorang muslimah maka pada tahun 1988 ia mulai mengangkat tema-tema bernuansa Islami. Meski dikenal sebagai penulis yang mengangkat tema Islami, Helvy ingin karyanya universal dan dapat dinikmati oleh semua penganut agama.
perempuan kelahiran Medan,
Sumatera Utara, 2 April 1970 ini menyelesaikan S1 di Fakultas Sastra UI jurusan Sastra Arab dan S2 jurusan Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Budaya UI. Meski berlatar belakang pendidikan sastra, namun Helvy menekankan kalau menulis itu tidak mengandalkan latar belakang pendidikannya. Menurutnya yang terpenting adalah tekad dan latihan. Menurutnya, meskipun tidak mempunyai latar belakang sastra, sangat bisa untuk menjadi sastrawan, tergantung bagaimana mengasahnya. "Contohnya anak saya Faiz suka bilang; Bundaku, aku mau jadi Presiden yang penulis atau atlet yang sastrawan, seperti halnya Taufik Ismail sastrawan yang dokter hewan," kata Dosen Berprestasi UNJ tahun 2008 itu.
Puluhan judul buku, berupa kumpulan cerpen, novel, cerita anak, drama, kritik sastra, kumpulan esai, kumpulan puisi, dan sejumlah antologi telah berhasil dihasilkannya. Beberapa di antaranya, baik cerpen maupun tulisan-tulisan dalam bentuk esai juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Arab, Jepang serta Swedia. Novelnya Mc Alliester misalnya, pertama kali terbit di London, Inggris. Novel ini merupakan novel bersambung di majalah Inthilaq dari bahasa Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Arab dan bahasa Inggris. Di samping itu, ia adalah editor puluhan buku dan kerap diundang sebagai juri dalam berbagai sayembara penulisan di dalam dan luar negeri.
Karena dedikasinya yang tinggi pada dunia tulis menulis, karya-karyanya pun mendapat pengakuan dengan keberhasilannya meraih sejumlah penghargaan sastra. Cerpennya "Jaring-Jaring Merah", yang menggambarkan kehidupan dan kekerasan masyarakat di Nangro
Aceh Darussalam misalnya, menjadi salah satu cerpen terbaik majalah sastra Horison dalam satu dekade (1990-2000). Namun karena cerpennya itu pula, ia pernah diancam akan dibunuh. Penyebabnya, karena salah satu tulisannya mengenai kasus bom di
Aceh. Tapi menanggapi teror-teror itu, Helvy menganggapnya hanya ulah penggemar.
Atas kontribusi dan perannya mengembangkan sastra Islami dan membina banyak penulis muslim, Eramuslim dalam rangka Milad ke-6 memilih Helvy Tiana Rosa sebagai salah satu penerima eramuslim award. Tapi Helvy sendiri mengaku sebenarnya tidak pernah mengharapkan penghargaan-pengghargaan itu.
Tak hanya piawai menulis cerpen, Helvy juga piawai menulis cerpen puisi. Puisinya yang berjudul Fi Sabililah memenangkan Sayembara Penulisan Puisi tingkat nasional yang diselenggarakan Yayasan Iqra (1992) dengan Ketua Dewan Juri HB. Jassin dan lain-lain.
Di sela-sela kesibukan menulis karya sastra, ia juga pernah bekerja sebagai redaktur dan pemimpin Redaksi Majalah Annida selama 10 tahun. Sebuah majalah bernuansa Islami yang ditujukan untuk remaja. Di samping menulis puisi dan cerpen serta sebagai redaktur, ia juga menulis 10 naskah drama dan menyutradai pementasan-pementasan
teater Bening di Gedung Kesenian Jakarta, Taman
Ismail Marzuki, dan keliling Jawa serta Sumatera.
teater Bening adalah
teater yang anggotanya mayoritas
perempuan. Teater ini didirikan Helvy ketika dia masih aktif sebagai mahasiswa di Fakultas Sastra UI pada tahun 1990.
Tak hanya aktif sebagai penulis, ibu dari Abdurrahman Faiz dan Nadya Paramitha ini juga dikenal sebagai motivator bagi para penulis pemula. Ia ingin agar menulis menjadi sebuah kegiatan seperti halnya makan. Karenanya, Helvy ingin agar di seluruh pelosok negeri ini, kegiatan menulis menjadi sebuah kegiatan rutin yang harus terus menerus dilakukan.
Untuk mewujudkan obsesinya itu, Helvy kemudian mendirikan Forum Lingkar Pena (FLP) pada tahun 1997. FLP merupakan sebuah forum penulis muda beranggotakan lebih 7000 orang yang tersebar di 125 kota di Indonesia dan mancanegara. Ia terpilih sebagai Ketua Umum FLP (1997-2005). Dalam kapasitas dan pengalamannya sebagai pendiri sekaligus ketua umum FLP, membuat ia secara rutin diundang memberikan ceramah dan pelatihan penulisan karya sastra keliling Indonesia dan luar negeri. Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, Hongkong, Jepang, serta pernah membacakan karyanya di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir (2002) adalah negara-negara yang sudah dikunjungi Helvy dalam memotivasi kegiatan menulis fiksi. Bahkan di tahun 2003, ia diminta menyampaikan ceramah sastra di Universitas Michigan dan Universitas Wisconsin, Amerika Serikat.
Selain itu, bersama teman-temannya di FLP, ia mendirikan dan mengelola "Rumah baCA dan HAsilkan karYA" (Rumah Cahaya) yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Selama 11 tahun keberadaannya, bekerjasama dengan puluhan penerbit, FLP telah meluncurkan lebih dari 1000 judul buku.
Teori sastra modern yang mengatakan ketika tulisan dilempar ke publik maka pengarangnya sudah mati karena dia telah menjadi milik publik, tidak disetujui oleh Helvy karena hal itu menurutnya dapat membuka celah bagi penulis untuk lepas tangan atas karyanya. Padahal menurutnya, penulis yang baik adalah penulis yang dapat mempertanggungjawabkan karyanya dari mulai niat membuatnya sampai karya itu dilempar ke publik bahkan sampai pengarang itu meninggal.
"Jadi walaupun sudah dilempar ke publik, itu tetap karya penulis yang bersangkutan, yang setiap hurufnya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Bagi saya seperti itu, sehingga saya berusaha menulis yang bisa mendatangkan manfaat bagi orang lain, jangan sampai tulisan saya merusak suatu masyarakat," tutur
wanita berpenampilan sederhana itu.
Pemikiran itu pulalah yang melatarbelakangi Helvy membentuk FLP, sebab ia tidak ingin sendiri berpendapat seperti itu, tetapi orang juga mempunyai gagasan yang sama bahwa menulis itu untuk mencerahkan orang lain, menulis dengan hati nurani, berkumpul bersama dan membina generasi yang lebih muda untuk ikut menulis.
Pengalaman lainnya yang pernah digeluti Helvy adalah Ketua Departemen Litbang Yayasan Prakasa Insan Mandiri (1997-2002), Litbang Senat Mahasiswa UI (1994-1995, dan Litbang Senat Mahasiswa FSUI (1993-1994). Karena dedikasi dan semangat yang dikobarkan Helvy dalam dunia tulis menulis membuat surat kabar Tempo menyebutnya sebagai "Lokomotif Penulis Muda Indonesia"
Kesibukan sehari-hari Helvy Tiana Rosa, selain sebagai pengarang adalah dosen di Jurusan Bahasa dan
sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta. Istri dari Tomi Satryatomo, ini pernah menjadi Anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006).
Bagi Helvy sebagai seorang muslim, segala sesuatu yang dijalani mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi harus bernilai ibadah. Oleh karena itu ia menulis dengan mengikuti hati nuraninya. Ketika ia menulis, ia berusaha menghasilkan karya yang bernilai ibadah.
Kalaupun banyak orang yang mengatakan tulisannya itu sastra Islami, sebenarnya itu bukan datang dari Helvy melainkan dari penilaian mereka. Walau demikian, untuk hal tersebut Helvy tak mengelak. Karena menurutnya itulah pikiran, perasaan, dan perjuangannya. Ia hanya ingin tulisannya tersebut dapat memberikan kebaikan bagi umat dan bernilai pahala di sisi Allah. Dan yang terpenting, bila sudah menyangkut dengan urusan ibadah, setidaknya ia bisa merubah orang yang "ambisius dan rakus".
Dalam setiap tulisannya, Helvy berharap bisa mencerahkan para pembacanya, sekaligus bisa membuat mereka tergerak. Tentunya menurut pengarang buku "Pelangi Nurani" itu, orang yang pertama kali tergerak dan tercerahkan adalah si penulis. Karena tulisan yang baik itu adalah tulisan yang bisa mencerahkan dan membuat si penulis maupun orang yang membacanya bergerak dalam artian setelah membaca tulisan itu dapat melakukan sesuatu yang lebih baik. Jadi ada efeknya, begitulah pendapat mantan anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta itu.
Sebelum namanya banyak dikenal orang, Helvy menapaki jalan panjang menjadi seorang penulis, di masa awal memulai karirnya ia sering kali mendapatkan penolakan. Namun hal itu tak mematahkan semangatnya untuk terus menulis. Tulisan yang ditolak itu kemudian diperbaikinya hingga ada penerbit yang mau memuatnya. Buah kerja keras serta semangat pantang menyerahnya kini dapat dipetiknya. Keadaan telah berbalik, jika dulu penerbit yang telah menolak karyanya yang bernafaskan Islam, kini malah mengejarnya dan minta satu naskah buku.
Sejak dikenal sebagai penulis bernuansa Islam, ia sering diundang ke sejumlah tempat. Hampir seluruh Indonesia pernah ia sambangi untuk mengisi pelatihan sampai masuk ke hutan, ke pabrik, dan ke kelompok anak petani. Kepiawaiannya menulisnya bahkan menghantarkan namanya terdengar hingga ke luar negeri, Mesir sampai ke Amerika Serikat yang penduduknya non muslim mengundang pendiri Teater Bening itu lantaran tertarik dengan karya Islami. Helvy telah memenangkan sedikitnya 20 kejuaraan tingkat nasional, di antaranya sebuah lomba esai yang memberinya hadiah Rp100 juta.
Disinggung mengenai dua profesi yang dijalaninya, yakni penulis dan dosen, Helvy mengakui kedua profesi itu sangat mendukung. Karena, kebanyakan orang tidak mengira bahwa kegiatan menulis sudah menjadi profesinya sekarang ini. "Sampai sekarang ini saya kalau ditanya pekerjaannya apa, pasti saya langsung jawab sebagai pengarang. Menjadi dosen itu bagi saya adalah hobi. Karena, penghasilan yang paling besar yang saya dapat adalah dari mengarang. Untuk kualifikasi S2, untuk gaji dosen, golongan III B itu sangat kecil sekali. Itu tak akan cukup. Tapi, dengan menjadi dosen, saya dapat mengajar yang merupakan hobi saya. Dua-duanya saya senang menjalaninya. Saya merasa sayang sekali kalau ilmu yang saya miliki tidak dimanfaatkan dan dikembangkan," ujarnya menjelaskan.
Dalam proses kreatifnya membuat suatu karya tulis, ia mengaku tidak pernah membuat kerangka tulisan. Alasannya sederhana saja, capai. "Selama ini saya hampir tak pernah menulis kerangka. Tapi, kalau untuk penulis pemula seharusnya membuat kerangka tulisan terlebih dahulu. Tapi, ketika sudah mahir menulis, sebaiknya lepaskanlah kerangka-kerangka itu," nasihat Helvy.
Helvy juga mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap nasib dan kesejahteraan para penulis, terlebih di masa tuanya. Ia berharap agar pemerintah lebih memerhatikan dan melindungi karya anak bangsa. Selain itu, seharusnya pajak terhadap penulis sudah selayaknya dihapuskan.
Menurutnya, sudah sepantasnya juga kreativitas lebih dihargai lagi. Memperbanyak penghargaan terhadap karya sastra, penulis sastrawan baik yang tua dan muda. Pemerintah juga perlu menyosialisasikan buku sastra ke sekolah. Terakhir, sebaiknya pemerintah memperbanyak rumah baca demi menggalakkan kebiasaan membaca.
Obsesinya yang lain adalah ingin membuat sebuah buku, novel, atau kumpulan cerpen yang diterjemahkan ke dalam semua bahasa di dunia. Sejauh ini cerpen-cerpen karangannya sudah diterjemahkan ke dalam 10 bahasa. Ia ingin punya satu buku khusus yang diterjemahkan ke lebih dari 100 bahasa. Selain itu, pemerintah sebaiknya mempermudah penerjemahan karya sastra. Sehingga, buku Indonesia juga dapat dijual ke luar negeri. Jadi, jangan hanya karya orang luar saja yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tapi karya anak bangsa Indonesia juga diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain di dunia.
Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/286-direktori/2422-ingin-mencerahkan-sesama
Copyright © tokohindonesia.com
Saturday, January 30, 2016
Tokoh Inspiratif
No comments:
Post a Comment