Disebutkan dalam kitab “Umar bin Al-Khaththab Al-Watsiqah
Al-Khalidah lid-Din Al-Khalid”, Abdul Karim Al-Khathib. Bahwa Khalifah Umar
berkhutbah di hadapan manusia untuk pertama kalinya sejak mendapat amanah sebagai
khalifah, “Aku mendapatkan kabar bahwa sebagian orang takut akan ketegasanku
dan takut terhadap kekerasanku.”
Mereka mengatakan, “Umar bersikap keras ketika Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam masih berada di tengah-tengah kita. Kemudian dia
bersikap keras ketika Abu Bakar menjadi pemimpin kita; lalu bagaimana halnya
jika dia menjadi pemimpin?”
Siapa yang mengatakan demikian, maka ia berkata benar.
Sesungguhnya aku bersama Rasulullah sebagai pembantu dan pelayan beliau, dan
beliau adalah orang yang sifatnya lembut dan kasih sayang.
Allah telah memberinya nama demikian, dan memberikan
kepadanya dua nama dari nama-nama-Nya, Ra’uf Rahim (yang belas kasih dan
penyayang). Sedangkan aku adalah pedang yang terhunus, hingga beliau
menyarungkan aku atau membiarkanku. Aku terus seperti itu hingga Rasulullah
wafat dalam keadaan beliau ridha kepadaku, alhamdulillah.
Dan aku sangat berbahagia dengan hal itu. Kemudian Abu Bakar
memimpin urusan kaum muslimin, dan dia adalah orang yang tidak kalian pungkiri
kemurahan dan kelembutannya. Aku sebagai pembantunya dan pembelanya, aku
campurkan kekerasanku pada kelembutannya. Aku adalah pedang yang terhunus
hingga dia menyarungkanku atau membiarkanku, dan aku terus seperti itu. Aku
tetap demikian bersamanya hingga dia wafat dalam keadaan ridha kepadaku, dan
aku sangat bahagia dengan hal itu.
Kemudian aku memimpin urusan kalian, wahai manusia, dan
ketahuilah bahwa kekerasan ini bisa jadi semakin berlipat, tetapi itu hanyalah
berlaku atas kezhaliman dan bagi yang melampui batas terhadap kaum muslimin.
Adapun terhadap orang yang lurus, menjaga agama dan
keutamaan, maka aku berusaha lebih lembut kepada mereka daripada sebagian
mereka atas sebagian yang lain. Aku tidak membiarkan seseorang menzhalimi
selainnya atau melampui batas terhadapnya, hingga aku meletakkan pipinya di
atas tanah dan aku meletakkan telapak kakiku di atas pipinya yang lain hingga
ia tunduk kepada kebenaran…”
Begitulah sisi unggul Umar bin Khathab yang mampu memadukan
dengan serasi; ketegasan dalam menegakkan kebenaran dan kelembutan dalam
pergaulan. Selayaknya kita belajar kepada tokoh ini, karena beliau telah
dikabarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam akan masuk jannah. Bahkan istana
megah di jannah telah dibangun untuk beliau. Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda,
“Aku masuk jannah,
dan aku mendapati ada istana dari emas, lalu aku bertanya, “Milik siapakah
istana ini?” Dijawab, “Ini milik seorang pemuda dari Quraisy”, saya mengira itu
adalah istana untukku, lalu saya bertanya, “Siapakah pemuda itu?” Dijawab,
“Umar bin Khattab.” (HR Tirmidzi dan Ahmad)
Tegas dalam Kebenaran
Para sahabat memiliki unggulan amal yang berbeda-beda, dan
nabi shallallahu alaihi wasallam menyebut sisi unggul Umar bin Khathab adalah
pada ketegasannya dalam menegakkan agama Allah. Beliau bersabda,
“Umatku yang paling
penyayang adalah Abu Bakar dan yang paling tegas dalam menegakkan agama Allah
adalah Umar.” (HR. Tirmidzi(
Bahkan saking tegasnya, membuat setan pun lari dari beliau,
sebagaimana tersebut dalam banyak hadits tentang hal ini.
Poin penting yang bisa kita ambil dari karakter beliau
adalah, bahwa ketegasan dalam kebenaran adalah unggulan amal yang bisa
mengantarkan pemiliknya ke dalam jannah. Alangkah pentingnya karakter ini
disandang oleh umat, dan alangkah mendesaknya kebutuhan umat ini akan sosok
pemimpin semisal Umar yang tanpa tedeng aling-aling menyuarakan kebenaran dan
menegakkannya, menolak kebatilan dan memeranginya.
Terlebih kita hidup di zaman, di mana orang yang berpegang
kepada agamanya seperti qabidhul jamr, menggenggam bara api, digenggam terasa
panas tapi jika dilepaskan akan mati.
Tak hanya para pemimpin yang harus memiliki ketegasan.
Masing-masing diri bahkan membutuhkan ketegasan untuk membimbing nafsunya di
atas ketaatan, dan ketegasan dalam mengambil keputusan untuk konsisten di atas
kebenaran. Meskipun harus berbeda dengan kebanyakan orang, atau bahkan menjadi
sasaran kecurigaan atau olok-olokan. Karena alam pikir dan keberpihakan
mayoritas belum condong kepada syariat. Sifat gamang dan mental ‘tempe’ tak
akan sanggup menahan beban ketaatan di zaman fitnah.
Karena itulah, Allah menggambarkan karakter generasi terbaik
yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, sekaligus Allah dan rasul-Nya mencintai
mereka, yang salah satu karakternya adalah “wa laa yakhaafuuna lau mata la’im”,
tidak takut akan celaan dari orang yang suka mencela.(Lihat QS al-Maidah 54)
Ibnu Katsier dalam tafsirnya menjelaskan makna dari sifat
tersebut, “Yakni tak ada sesuatu yang menjadikan mereka mundur dari ketaatan
kepada Allah, memerangi musuh-musuh Allah, menegakkan hukum-Nya, menyuruh yang
ma’ruf dan mencegah yang munkar. Tak ada sesuatupun yang bisa menghalangi
mereka, dan tidak pula menggoyahkan pendirian mereka meski celaan dan hinaan
tertuju atas mereka.”
Ketegasan lebih dibutuhkan lagi untuk menolak kemaksiatan
dan kebatilan. Padahal kebatilan sering datang dengan wajah menawan,
menyenangkan dan menggiurkan. Belum lagi, untuk menolaknya kerap berlawanan
dengan budaya masyarakat luas. Sehingga rasa sungkan menghantui seseorang untuk
meninggalkan kemaksiatan.
Rasa sungkan bukan saja menghalangi banyak kebaikan, tapi
juga menjadi penyebab terjadinya banyak pelanggaran. Banyak orang yang secara
ilmu sudah paham tentang haramnya sesuatu, tapi ia tidak bisa meninggalkannya
karena sungkan, takut menyinggung perasaan orang, atau khawatir penghargaan
orang kepadanya menjadi berkurang. Maka dibutuhkan ketegasan yang mampu
mengalahkan rasa takut atau sungkan untuk mengatakan ‘Tidak’ kepada
kemaksiatan.
Tapi, Lembutlah dalam Pergaulan
Sifat tegas tidak mengharuskan hilangnya sifat kelembutan,
keduanya tak harus bertentangan. Masing-masing dibutuhkan sesuai tuntutan
kondisional. Seperti Umar bin Khathab yang dikenal tegas itu juga sekaligus
sebagai orang yang sangat lembut hatinya. Beliau mudah meneteskan air mata
karena takut kepada Allah. Hingga tampak jelas garis di wajah beliau bekas
banyaknya menangis karena takut kepada Allah.
Beliau juga sangat mengasihi rakyatnya ketika menjadi
khalifah, dan berlaku lembut kepada mereka.
Ketika menjadi khalifah, banyak kisah yang menunjukkan
kelembutan hatinya. Hatinya sangat tergerak setiap melihat berbagai keadaan
yang mengusik kenyamanan rakyatnya. Beliau sering meronda di malam hari untuk
melihat secara langsung, apakah masih ada rakyat yang belum tersejahterakan.
Dan kisah tentang hal ini tersebar dalam riwayat-riwayat yang shahih tentang
beliau.
Maka jika kita memahami diri memiliki sifat tegas dan peka
terhadap adanya penyimpangan, maka jangan hilangkan sisi kelembutan dalam
dakwah dan pergaulan.
Akan sangat indah ketika kelembutan menjadi hiasan dalam
keluarga yang dilukis dalam bingkai taat. Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda,
“Ketika Allah Azza wa
Jalla menghendaki kebaikan pada sebuah keluarga, maka Allah akan memasukkan
kelembutan atas mereka.” (HR Ahmad)
Kelembutan juga menjadi sarana dakwah yang paling mudah.
Karena manusia cenderung suka dihargai dan diperlakukan dengan lembut.
Kelembutan Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam dakwah adalah contoh yang
paling ideal untuk ditiru.
Begitupun ukhuwah akan terjalin indah ketika sesama muslim
berlaku lembut dan saling menyayangi. Karena ada kalanya, seseorang yang
dikenal sebagai aktivis Islam militant, tapi sifat kerasnya tertuju pula
terhadap keluarganya. Sifat temperamennya juga dilampiaskan pula kepada sesama
muslim saat berbeda pendapat dengannya, baik dalam ucapan maupun sikap dan
perbuatan.
Gambaran indah tentang kelembutan dan ketegasan tercermin
pada generasi pertama islam. Bahwa sifat tegas dan lembut itu dibutuhkan pada
saatnya yang tepat. Ketika aturan agama dilanggar, maka sifat ketegasan harus
ditegakkan. Adapun kelembutan sangat penting dalam dakwah dan menjalin ukhuwah
Islamiyah. Sangat pas sekali gambaran ketika al-Qur’an menggambarkan para
sahabat,
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka”(Al-Fath: 29).
disadur dari majalah ar-risalah dalam rubrik muthola'ah
No comments:
Post a Comment