Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Sunday, March 18, 2018

    Setia dan Berlepas Diri

    DALAM film Kingdom of Heaven garapan Ridley Scott, adegan menegangkan itu berakhir menakjubkan.

    “Aku tawarkan kepadamu”, ujar Shalahuddin kepada Balian dari Ibelin, “Jaminan keselamatan bagi seluruh penduduk Jerusalem; Ratumu, Uskup, para Ksatria, pria, wanita, dewasa, maupun anak-anak untuk keluar dengan damai dalam pengawalan kami ke daerah aman yang dikuasai teman-teman Kristen kalian. Takkan ada yang diganggu atau disakiti.”

    “Tapi”, sahut Balian yang setengah terkejut, “Ketika orang-orang Kristen merebut kota ini, mereka membantai semua penduduknya dan menjadikan jalanannya digenangi darah.”

    “Aku bukan orang seperti mereka”, tukas Sang Sultan. “Aku Shalahuddin. Shalahuddin. Orang yang berkebaikan untuk memuliakan agama.”

    Lebih lima abad sebelum Shalahuddin berdiri di tempat itu, seperti dikisahkan Imam Malik, sahabat Nabi yang digelari Aminu Hadzihil Ummah, Abu ‘Ubaidah ibn Al Jarrah, memimpin sahabat-sahabat Rasulullah yang membuat warga Nasrani di Al Quds berkata, “Mereka ini lebih utama daripada Hawariyyun murid-murid ‘Isa Al Masih.”

    Ketika dia harus mundur dari serbuan Romawi di salah satu jabhah, dia meminta maaf kepada penduduknya sebab tak lagi bisa melindungi mereka. Orang-orang Kristen Syam itupun menangisinya dan berkata, “Kalian berbeda agama, tapi lebih kami cintai daripada orang Romawi yang seagama. Hidup di bawah pemerintahan kalian jauh lebih kami sukai daripada mereka.”

    Hari ini kita sulit membayangkan bagaimanakah akhlaq generasi Abu ‘Ubaidah dan generasi Shalahuddin; yang bahkan membuat musuh terpesona. Hari ini kita mungkin harus bersabar lebih panjang; jika ternyata para pembebas Masjidil Aqsha nanti harus sekualitas mereka ini.

    Ini kita belum menyebut bagaimana Sang Khalifah yang naik unta bergantian dengan Aslam budaknya, memasuki Kota Al Quds tepat ketika giliran sang Amirul Mukminin menuntun dan sahayanya berkendara. Patriak Sophronius dan warga kota ternganga akan kebersahajaannya, juga alasannya menolak ketika disilakan shalat di gereja, “Aku khawatir kelak orang akan mengubah gerejamu menjadi Masjid dan beralasan, “‘Umar pernah shalat di sini.”

    Salah satu simpul keimanan dalam Islam adalah Al Wala’ dan Al Bara’. Al Wala’ dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, antara lain; setia, mencintai, menolong, mengikuti, dan mendekat kepada sesuatu. Sedangkan kata Al Bara’ antara lain menjauhi, membersihkan diri, melepaskan diri, dan berada di pihak serta keadaan yang berbeda.

    Dalam syari’at, wala’ seorang mukmin kepada Allah, RasulNya, dan orang-orang mukmin berarti setia, cinta, serta mengutamakan segala hal yang mendatangkan keridhaanNya.

    Nah, yang sering kurang pas diterjemahkan adalah Al Bara’ sebagai semata-mata benci. Ya, di dalamnya memang ada unsur benci karena Allah. Tetapi tidak dikatakan memiliki Al Bara’ jika seseorang membenci orang kafir, tapi dalam perilaku dan akhlaq dirinya sama atau bahkan lebih buruk.

    Sesuai maknanya, Shalahuddin dan Abu ‘Ubaidah meneladankan pada kita bahwa yang akan dirasakan manusia dari adanya Al Bara’ adalah betapa berbedanya antara seorang muslim dengan yang bukan dalam kejujuran, keadilan, sikap amanah, belas kasih, dan akhlaq mulia yang ditampilkan.

    “I’m not those men“, ujar aktor Ghassan Massoud yang memerankan Sang Sultan. Di kalangan pesantren Salafiyah dikenal ungkapan, “Lastu kahaiatikum“, yang harfiahnya bermakna “Aku tak seperti polah kalian.”

    Terang benderang tampak, mereka membantai, dia berbelas kasih. Mereka aniaya, dia adil. Jika ditambahkan tentang kedatangan ‘Umar; mereka bermewah, dia bersahaja. Mereka tercela, dia terpuji.

    Maka jika Al Wala’ tak hanya berarti cinta, namun juga mendidik diri untuk menjadi seperti yang diinginkan oleh yang tercinta, yakni Allah dan RasulNya; maka Al Bara’ juga menjadi sempurna dengan menunjukkan keunggulan imani dalam hati yang teterjemahkan dalam laku sehari-hari.

    Pekerjaan Rumah kita untuk menghadirkan pemimpin dengan Al Wala’ dan Al Bara’ sedahsyat Shalahuddin dan Abu ‘Ubaidah pastilah masih panjang. Tapi jangan hilang harap lalu bermudah-mudah dalam menyerahkan jutaan jiwa beriman pada yang tak berwala’ pada Allah dan RasulNya.

    Ayat berikut ini tetap akan menjadi panduan kita, tiada yang membatalkannya; sebab memilih pemimpin shalih adalah hajat dunia akhirat.

    لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللّهِ الْمَصِيرُ

    “Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kalian terhadap siksaNya. Dan hanya kepada Allah kembali kalian.” (QS Ali Imran [3]: 28).*

    Twitter @Salimafillah

    No comments:

    Post a Comment