Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Sunday, March 18, 2018

    Kekuatan di Pagi Hari

    Selain Sang Nabi ﷺ, kita tak harus selalu setuju pada seseorang, tapi kitapun senantiasa dapat mengambil pelajaran darinya.

    Hal ini berlaku juga pada ‘alim yang banyak dipuji namun juga punya pencaci, Taqiyyuddin ibn Taimiyah, rahimahullah. Memanglah beliau manusia, semestinya punya pendukung, dan wajar pula ada yang tak suka.

    “Syaikhul Islam, semoga Allah merahmatinya”, demikian Ibn Qayyim sang murid kesayangan bertutur, “Amat kami cintai. Tapi kebenaran lebih besar haknya untuk dicinta daripada beliau.”

    Para ‘ulama panutan yang datang kemudian, antara lain Imam Adz Dzahabi yang juga muridnya sendiri, Ibn Rajab Al Hanbali, hingga Imam Ibn Hajar Al ‘Asqalani telah menyampaikan catatan keras pada beliau. Ini utamanya tentang ternisbatkannya faham tajsim dan terlalu menggebunya beliau membantah kaum Rafidhah yang mengesankannya jatuh ke kutub seberang; mencederai martabat Ahli Bait Rasulillah ﷺ dalam kitabnya, Minhajus Sunnah fi Naqdhi Kalamisy Syi’ah wal Qadariyyah.

    Entah karena tajamnya lisan-tulisan serta kurangnya penghargaan beliau pada para ‘ulama pendahulu, atau bersebab dengki dari sebagian ‘alim lain, dan atau paduan keduanya, membuat mahaguru ini berulangkali dipenjara dan menjalani hukuman para Sultan.

    Menakjubkannya, tiap kali pula, di sela penjerujian itu, dia berangkat berjihad dengan gagah dan gigih di bawah panji penguasa yang menghukumnya.

    Maka selain kerasnya pendirian dan tajamnya hujjah sang syaikh pada para lawan, perlu kita simak satu kisah langka yang dituturkan lagi oleh Ibn Qayyim Al Jauziyah.

    Pada suatu hari, wafatlah salah seorang ‘alim yang dengan fatwa dan aduannya beberapa kali membuat Ibn Taimiyah dipenjara. Maka Ibn Qayyim dengan lugu berkata, “Berbahagialah wahai guru, telah binasa musuhmu itu.”

    Tetiba sang guru bangkit dan berkata, “Ayo ikut aku!”

    “Ke mana?”, tanya Ibn Qayyim.

    “Ke mana lagi? Tentu saja mengurus jenazahnya.”

    Dan dengan penuh kesungguhan Ibn Taimiyah memandikan, mengafani, menshalati, dan turut menguburkan orang yang pernah membuatnya sengsara itu.

    “Kita pulang Syaikh?” ujar Ibn Qayyim di kala semua usai.

    “Belum. Ada satu urusan lagi.”

    Ternyata, sang guru mengajaknya kembali ke rumah si mati, lalu berbicara dan menghibur keluarganya. Kepada mereka dia sampaikan santunan nafkah sembari berkata, “Mulai sekarang, jika kalian memiliki hajat dan keperluan sampaikanlah kepadaku. Aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk memenuhi semua.”

    Di balik perseteruannya dengan nyaris semua pemuka madzhab pada zamannya, dia punya kemampuan membalas hal buruk dengan kebajikan. Dan pantaslah kalau dia pernah berkata, “Apa yang dilakukan musuh padaku? Jiwaku bebas merdeka. Dipenjara adalah rehatnya. Dibuang ke negeri jauh adalah tamasya. Dan dibunuh adalah bertemu Kekasih Tercinta.”

    Duhai, perilaku dan kata-kata itu pasti bersandar sebuah jiwa yang kukuh. Dari mana kekuatannya?
    Adalah lelaki ‘alim dari Harran yang tak sempat berrumahtangga ini selalu duduk di Masjid seusai shubuh untuk berdzikir, hingga mentari muncul dan waktu dhuha bermula. Itulah duduk senilai ziarah suci, dan itulah duduk yang lebih baik dari dunia beserta isi.

    “Allahumma barik li ummati fi bukuriha”, pinta Rasulullah ﷺ. “Ya Allah, limpahkan berkah bagi ummatku pada pagi-pagi mereka.” []

    Sumber: Fanpage Salim A Fillah

    No comments:

    Post a Comment