TERKISAH seorang Pemuda suatu waktu melaksanakan shalat dzuhur di Masjidil Haram, usai melaksanakan Shalat Jamaah, dia keluar dari Masjidil Haram. Ketika melangkahkan kaki keluar dari masjid, dia melihat sebuah kantong kain berwarna biru. Diambilnya kantong itu, lalu ia buka.
Di dalamnya ada batu zamrud berwarna hijau nan indah dan
barang berharga lainnya. Pemuda itu pun kaget. Ia kemudian berinisiatif untuk
mengumumkan temuannya tersebut.
“Wahai penduduk Makkah, saya menemukan kantong warna biru
ini, siapakah pemiliknya?” kata pemuda itu sambil memperlihatkan kantong biru
temuannya.
Tidak ada satu orang pun yang menjawab seruannya, padahal di
halaman masjid saat itu banyak sekali orang. Di halaman itu juga terlihat
beberapa pedagang yang sedang menjajakan dagangannya.
Pemuda itu sekali lagi berteriak, “Wahai penduduk Makkah,
siapakah gerangan pemilik kantong biru ini?”
Lagi-lagi tidak ada yang menjawab seruannya.
Hingga sepuluh kali pemuda itu berseru di halaman masjid.
Namun, tidak ada seorang pun yang datang mengaku sebagai pemilik kantong
berwarna biru tersebut.
Akhirnya dia berseru untuk terakhir kalinya, “Kalian tahu di
mana letak rumah saya, kalau ada orang yang bertanya tentang kantong biru yang
hilang, sudah saya temukan. Maka segera
tunjukkan rumah saya.”
Menjelang waktu ashar, ada seorang kakek datang. Ia kemudian
naik di batu yang ada di pelataran masjid, sama seperti yang dilakukan pemuda
di waktu ba’da Dzuhur tadi.
Kemudian kakek tua itu berteriak, “Wahai penduduk Mekah,
adakah yang menemukan sebuah kantong berwarna biru yang tergeletak di halaman
masjid, itu adalah kantong saya. Kalau ada sekalian penduduk Makkah yang
menemukannya, akan saya hadiahi 500 dirham.”
Mendengar pengumuman itu, seorang pedagang jujur menghampiri
sang kakek dan berkata, “Tadi sehabis sholat dzhuhur ada seorang pemuda
penduduk Makkah mengaku menemukan kantong berwarna biru, rumahnya ada di sana,
silakan anda ke sana.”
Maka, sang kakek pun beranjak menuju rumah sang pemuda.
Disana ia bertemu dengan pemuda tadi.
“Apakah kamu temukan
kantong saya yang sebelumnya tergeletak di halaman masjidil haram?” tanya sang
kakek.
Pemuda itu langsung menjawab, “Iya betul,” namun, untuk
memastikan, ia pun bertanya pada sang kakek, “Bisakah kakek sebutkan ciri-ciri
kantong tersebut?”
Kakek itu kemudian menerangkan dengan tepat ciri-ciri kantong itu, detail beserta isinya,
termasuk ada batu zamrud, warnanya dan barang berharga lainnya.
Sang pemuda pun tak ragu mengembalikan kantong milik kakak
tersebut yang ia temukan sebelumnya.
Usai menerima kembali kantong miliknya, sang kakek teringat
janjinya. Ia pun bermaksud memberikan hadiah yang dia janjikan kepada pemuda
tadi.
“Ini adalah hadiah, karena kamu sudah menemukan kantong
saya.”
“Tidak kek, saya niat mengembalikan kantong ini karena Allah
swt, tidak ada yang lain,” tolak pemuda itu.
Kakek tua dengan setengah memaksa melanjutkan, “sudah kau
ambil saja, karena itu janji saya kepada penemu kantong.”
Pemuda ini bersikeras, “Tidak, saya tidak bisa menerimanya
dan saya tidak memiliki urusan dengan uang ini.”
Mereka pun sempat bersitegang karena masing-masing
bersikukuh dengan pendiriannya. Namun, akhirnya sang kakek mengalah.
Singkat cerita, tiga bulan sejak kejadian itu, sang pemuda
berangkat dari Mekkah karena mendapatkan kesulitan ekonomi. Ia bermaksud untuk
bekerja di kota lain. Maka, ia berangkat menuju pelabuhan Jeddah. Ia bermaksud
menaiki kapal laut di sana.
Sayangnya, saat perjalanan di tengah laut, kapal yang ia
tumpangi dihantam ombak hingga karam. Untunglah, pemuda itu berhasil selamat.
Namun, ia terdampar di sebuah pulau tak dikenal.
Ketika ia tersadar, dalam keadaan letih, ia paksakan diri
menuju sebuah masjid sebab waktu sudah memasuki subuh. Ia pun mengumandangkan
adzan di masjid yang rupanya sudah tak terurus tersebut.
Masyarakat setempat pun datang.
“Anda ini siapa?” tanya mereka.
“Saya musafir. Kapal saya dihantam ombak keras dan saya
terdampar di pantai ini.” jawab pemuda tadi dengan jujur.
Karena kefasihan dan keshalihannya, ia pun kemudian
dipercaya menjadi imam di masjid tersebut.
Setelah tiga bulan lamanya ia menetap di kampung tersebut,
masyarakat setempat menawarinya jodoh.
“Wahai anak muda, sebagai ungkapan syukur kami, dan agar
menambatkan hati mu tetap di desa ini, maukah kau kami nikahkan dengan anak
gadis terbaik desa ini?”
Lalu di panggillah anak gadis di kampung itu yang menurut
mereka paling baik, datang dengan mengenakan pakain tertutup sempurna, dan
bercadar, tentu gadis yang akan dinikahkan tersebut sudah mendapatkan
persetujuan walinya untuk menikah.
Begitu datang di masjid, pemuda itu duduk di mihrab,
sementara gadis calon istrinya ini duduk di hadapannya agar dapat dilihat
wajahnya.
Pemuda ini seolah tak percaya melihat perempuan itu.
Sebab, ia mengenakan kalung dengan
hiasan batu zamrud yang rasanya tidak asing bagi pemuda tadi.
“Saya memiliki kisah dengan batu permata yang
dikenakannya itu,” ungkap sang pemuda.
Dia kemudian mulai menceritakan kejadiannya perihal penemuan
kantong biru dan pertemuannya dengan kakek tua itu,
“Di Makkah saya bertemu seorang kakek pemilik batu ini.”
Begitu dia bilang seorang kakek, tiba-tiba masyarakat yang
berada di masjid memekikkan takbir,
“Allahu Akbar!”
“Kenapa kalian bertakbir?” pemuda ini terkaget dengan takbir
yang tiba-tiba terdengar.
Mereka menjawab, “Apa
kamu tahu siapa kakek yang bertemu denganmu? Yang kemudian kamu tidak bersedia
menerima imabalan hadiah dirhamnya dan kau kembalikan kantong berisi batu
zamrudnya?.”
Pemuda itu menjawab, “Saya benar-benar tidak tahu.”
“Kakek itu adalah ayah dari gadis dihadapanmu ini. Dan beliau adalah pemimpin kami di pulau ini. Dialah imam masjid kami yang sudah meninggal. Dan sewaktu dia pulang dari Makkah 6 bulan lalu, dia menceritakan kebaikan seorang pemuda yang tidak bersedia menerima imbalannya. Dan tahukah kamu, sebelum meninggal dia sempat berdoa, Ya Allah jadikanlah anak muda di Makkah itu jodoh anak saya.”
[]
No comments:
Post a Comment