Mereka bilang bahwa mengkritik penguasa secara terang-terangan haram hukumnya. Menurut mereka, menasihati penguasa itu harus sembunyi-sembunyi (saya sembari bertanya-tanya; sudahkah mereka melakukannya?). bahkan tak segan mereka bilang ulama yang menasihati penguasa secara terang-terangan sebagai khawarij dan anjing neraka.
Dalil apa yang mereka bawa?
Dalilnya adalah Hadits yang di riwayatkan Ibnu Abi Ashim dalam kitab As-Sunnah, riwayat Ahmad dalam kitab Musnadnya, dan riwayat Al Hakim dalam kitab Mustadraknya yang menyatakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
"Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa, maka janganlah menyatakannya di depan umum dengan terang-terangan. Hendaklah ia memegang tangan penguasa itu (dan mengajaknya ke tempat tersembunyi). Maka bila penguasa itu mau mendengar nasehat tersebut, itulah memang yang diharapkan. Tetapi bila tidak mau mendengar nasehat itu, sungguh penasehat itu telah menunaikan apa yang diwajibkan atasnya."
Inilah dalil yang sering dijadikan hujjah bahwa tidak boleh menasehati penguasa di tempat umum yakni secara terang-terangan.
HADITS INI DHA’IF.
Silahkan baca kitab Adh-Dhu’afa’ Al-Kabir karya Al-Imam Al-‘Uqaili.
Sehingga gugurlah hujjah orang-orang yang mengatakan bahwa tidak boleh mengoreksi penguasa di tempat umum secara mutlak tanpa perincian (tafshil).
Muncul pertanyaan, apakah ketika dalil mengoreksi/mengkritisi penguasa di tempat umum itu dha'if (lemah), kemudian boleh mengoreksi penguasa di hadapan umum (secara terbuka)?
Jawabannya: BOLEH jika dapat mendatangkan maslahat.
Contoh kasus, Ahok penista agama dibiarkan oleh pengusa dan terkesan di lindungi. Penista agama yang harusnya di penjara, justru terkesan dibela. Melindungi penista agama adalah kezoliman yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam. Lalu, perwakilan ummat dari kalangan tokoh dan ulama pun mendatangi penguasa dengan cara yang terhormat, tetapi tidak diindahkan dan tidak mendatangkan maslahat buat ummat.
Ulama dan ummat pun semakin marah dan kecewa karena agama mereka di hina, kitab suci mereka di nista. Akhirnya para ulama, tokoh ummat, dan aktivis dakwah secara bersamaan melakukan KRITIK TERBUKA terhadap pemerintah yang ada. Menuntut keadilan atas penista agama. Mengkritik rezim penguasa lewat sarana yang ada; dengan pembentukan opini, lewat medsos, ceramah-ceramah, tabligh akbar, seminar, tulisan-tulisan, aksi-aksi damai, dst.
Akhirnya, pemerintah pun sedikit mulai peduli dengan SUARA UMMAT. setidaknya si penista agama di periksa, di adili, dst. Tentu mendatangkan maslahat. Maslahat lainnya adalah, ummat menjadi sadar akan pentingnya persatuan dan berlapang dada dalam menyikapi perbedaan. Dalam kasus-kasus besar dan urgent seperti ini maka BOLEH MENGOREKSI ATAU MENGKRITISI PEMERINTAH SECARA TERBUKA selama hal itu dapat mendatangkan maslahat. Bahkan termasuk JIHAD YANG PALING AFDHOL.
Adakah dalil shahih yang membolehkan hal tersebut?
Jawabannya, ADA. dalilnya adalah Sabda Rasulullah ‘alaihi shalawatu wa salam:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
”Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (yang haq) kepada penguasa (sulthan) yang zalim.”
(HR Abu Dawud 4346, Tirmidzi no 2265, dan Ibnu Majah no 4011).
Dalil ini mutlak, artinya disyari’atkan mengkritik penguasa yakni tanpa menyebut batasan tertentu mengenai caranya, apakah secara terbuka atau tertutup. Maka boleh hukumnya mengkritik penguasa secara terbuka, berdasarkan kemutlakan dalil tersebut, sesuai kaidah ushuliyah yang berbunyi: “al-ithlaq yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalilun yadullu ‘ala taqyiid” (dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan batasan/syarat yang mengikatnya).
Intinya, menasehati atau mengkritik penguasa itu memang HARUS DENGAN MA’RUF, SANTUN, DAN BERADAB. Karena memang demikian hukum asal dalam amar ma’ruf (menyampaikan kebenaran); baik kepada penguasa (umaro’) atau bukan. Hukum asal memberi nasehat adalah dengan cara ma’ruf, tetapi tidak berarti ada batasan syar’i harus sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Segala sesuatunya dikembalikan kepada kondisi dan ditimbang mashlahat dan madharrat. Sedangkan maslahat-madharrat ini kaitannya untuk kepentingan ummat secara menyeluruh, bukan untuk kepentingan satu kelompok saja atau kalangan tertentu saja.
Menasihati/mengkritik penguasa (baik secara sembunyi atau terbuka) bukan soal salah benarnya, tetapi soal efektifitas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Utsaimin Rahimahullah. Bisa jadi ada penguasa yang hanya bisa dirubah kezhalimannya dengan tekanan moral dan mental dari rakyatnya sehingga cara ini lebih efektif, dan ada model penguasa (pemerintah) yang bisa dirubah dengan cara tertutup, dinasihati oleh orang terdekatnya secara rahasia misalnya, dst.
TETAPI, TIDAK ADA SATUPUN ulama Ahlus Sunnah yang mengatakan bahwa mengkritik penguasa secara terbuka adalah bentuk pemberontakan bahkan Khawarij. Sampai-sampai disamakan dengan aksi-aksi bakar diri. Ini adalah pengertian yang amat jauh dan sangat dipaksakan. Doktrin ngawur yang membodohi ummat secara massal.
Menasehati/mengkritik penguasa dan mengingkari penguasa BUKAN BERARTI MENGAJAK MEMBERONTAK, karena memberontak penguasa (revolusi) ini memiliki syarat yang sangat ketat di dalam syari’at yang mulia ini. Mengingkari penguasa dengan ma’ruf adalah manhaj Ahlus Sunnah. Bukan dengan bakar-bakar diri di hadapan publik. Jadi anda tidak perlu lebay; nasehat kepada penguasa anda samakan dengan pemberontakan dan aksi bakar diri. Tidak usah membodohi ummat dengan retorika usang yang demikian konyol.
Kalangan yang memvonis bahwa mengkritik penguasa hukumnya haram secara terbuka adalah TREND kelompok mulukiyyah (sekte murji’ah modern yang memang dipelihara oleh penguasa). Sejatinya, mereka tidak terima dianggap mulukiyyah, tetapi begitu gampang memvonis kalangan lain dengan “khawarij”, “hizbi”, “takfiri”, dst. Wal-‘Iyaadzubillah. Sedangkan Ahlus Sunnah menimbang segala sesuatunya dengan timbangan syariat yang bersumber dari dalil naqli dan aqli. Bukan dengan kepentingan kelompok (hizbiyyah) dan hawa nafsu. Wallahu A’lam bis Shawab.
Saatnya mencerdaskan ummat dengan teladan salaf, mari bangkit dari kebodohan dan taqlid buta yang membinasakan.
“Cahaya Salaf Group”
http://salafymazum.blogspot.com/2017/01/menasehati-pemimpin-penguasa-boleh.html
Benarkah Mengkritik Penguasa di Muka Umum Hukumnya Haram dan Termasuk Ghibah?
Mengkritik penguasa di muka umum hukumnya boleh dan tidak termasuk ghibah yang dilarang dalam Islam. Dalilnya ada dua yaitu Pertama, dalil mutlak tentang mengenai kritik terhadap penguasa. Kedua, adanya dalil-dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tidaklah termasuk ghibah yang diharamkan dalam Islam.
Dalil pertama, adalah dalil-dalil mutlak mengenai amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa. Misalnya sabda Nabi Saw, “Seutama-utamanya jihad adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa (sulthan) atau pemimpin (amiir) yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dalil ini mutlak, yakni tanpa menyebut batasan tertentu mengenai cara mengkritik penguasa, apakah mengkritik secara terbuka atau tertutup. Maka boleh hukumnya mengkritik penguasa secara terbuka, berdasarkan kemutlakan dalil tersebut, sesuai dengan kaidah ushuliyah: al-ithlaq yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalil yadullu ‘ala al-taqyiid (dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan batasan/syarat). (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhasabah Al Hukkam, hlm.60)
Bolehnya mengkritik secara terbuka juga diperkuat dengan praktik para sahabat Nabi Saw, yang sering mengkritik para khalifah secara terbuka.
Diriwayatkan dari Ikrimah ra. khalifah Ali bin Thalib ra. telah membakar kaum zindiq, berita ini sampai kepada Ibnu Abbas ra. maka berkatalah beliau, “Kalau aku, niscaya tidak akan membakar mereka karena Nabi Saw telah bersabda, “Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api).” dan niscaya aku akan membunuh mereka karena sabda Nabi Saw, “Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR Bukhari no. 6524)
Hadits ini jelas menunjukkan Ibnu Abbas telah mengkritik Khalifah Ali bin Thalib secara terbuka di muka umum. (Ziyad Ghazzal, Masyu’ Qanun Wasa’il Al-I’lam Ad-Daulah Al-Islamiyah, hlm.25).
Adapun dalil kedua, adalah dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tidak termasuk ghibah yang diharamkan Islam. Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin telah menjelaskan banyak hadits Nabi Saw yang membolehkan ghibah-ghibah tertentu sebagai perkecualian dari asal hukum ghibah (haram).
Misalnya, hadits dari A’isyah ra. Bahwa seorang laki-laki minta izin kepada Nabi Saw, kemudian Nabi Saw. bersabda, “Berilah izin kepada orang itu, dia adalah orang yang paling jahat di tengah-tengah keluarganya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan Nabi SAW, telah melakukan ghibah, yaitu menyebut nama seseorang di hadapan umum lantaran kejahatan orang itu.
Berdasarkan dalil-dalil semacam ini, para ulama telah menjelaskan bahwa ghibah dihadapan umum kepada orang yang jahat, termasuk juga penguasa yang zalim, hukumnya boleh. Imam Ibnu Dunya meriwayatkan pendapat Ibrahim An-Nakha’i (seorang tabi’in) yang berkata, “Ada tiga perkara yang tidak dianggap ghibah oleh mereka (para sahabat), yaitu; imam yang zalim, orang yang berbuat bid’ah, dan orang fasik yang terang-terangan dengan perbuatan fasiknya.” Hasan Al-Bashri (seorang tab’in) juga berkata, “Ada tiga orang yang boleh ghibah padanya, yaitu; orang yang mengikuti hawa nafsu, orang fasik yang terang-terangan dengan kefasikannya, dan imam yang zalim.” (Ibnu Abi Dunya, Al-Shumtu wa Adabul Lisan, hlm. 337 & 343).
Memang ada ulama yang mengharamkan mengkritik pemimpin secara terbuka berdasarkan hadits Iyadh bin Ghanam, bahwa Nabi Saw. bersabda, “Barangsiapa hendak menasihati penguasa akan suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasihatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu.” (HR Ahmad, Al-Musnad, Juz III no.15369).
Namun hadits ini dha’if (lemah) sehingga tidak boleh dijadikan hujjah (dasar hukum) karena dua alasan: (1) sanadnya terputus (inqitha’), dan (2) ada periwayat hadits yang lemah, yaitu Muhammad bin Ismail bin ‘Ayyaasy. (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhasabah Al-Hukkam, hlm. 41-43). Wallahu a’lam.
https://mediaumat.news/benarkah-mengkritik-penguasa-di-muka-umum-hukumnya-haram-dan-termasuk-ghibah/
Umar bin Khattab pernah diprotes kebijakannya tentang pembatasan mahar secara terang-terangan.
Kisah para salaf dan ulama terpercaya pun tidak sepi dari kisah bagaimana mereka bersikap tegas degan kezaliman penguasa.
Amirul Mukminin Mu’awiyyah –radhiyaLlâhu ’anhu- berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta beberapa kaum Muslim, lalu ia berkata, “Dengarlah dan taatilah..”. Lalu, berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah, “Kami tidak akan mendengar dan taat wahai Mu’awiyyah!”. Mu’awiyyah berkata, “Mengapa wahai Abu Muslim?”. Abu Muslim menjawab, “Wahai Mu’awiyyah, mengapa engkau memotong jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ibu bapakmu?” Mu’awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata kepada hadirin, “Tetaplah kalian di tempat”. Lalu, dia menghilang sebentar dari pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi. Mu’awiyyah berkata, “Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku marah. Saya mendengar Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda, “Kemarahan itu termasuk perbuatan setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi”. Sebenarnya saya masuk untuk mandi. Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih payahku dan bukan pula jerih payah ayahku, maka ambillah jatah kalian”.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berdiri di atas mimbar untuk mengkritik dan memberikan nasihat kepada Gubernur Yahya bin Sa’id yang terkenal dengan julukan Ibnu Mazâhim Al-Dzâlim Al-Qadha. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata, “Semoga orang Islam tidak dipimpin oleh orang yang paling dzalim; maka apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan semesta alam yang paling pengasih? Gubernur itu gemetar dan langsung meninggalkan apa yang dinasihatkan kepadanya”.[13] Dalam keterangan lainnya, beliau mengoreksi Khalifah al-Muqtafi terang-terangan di atas mimbar masjid karena mengamanahkan jabatan hakim peradilan kepada orang yang berbuat kezaliman-kezaliman.
Sulthan al-‘Ulama, Imam Al-‘Izz bin Abdus Salam telah mengkritik Sulthan Ismail yang telah bersekongkol dengan orang-orang Eropa Kristen untuk memerangi Najmuddin bin Ayyub. Ulama besar ini tidak hanya membuat fatwa, tetapi juga mengkritik tindakan Ismail di atas mimbar Jum’at di hadapan penduduk Damaskus. Saat itu Ismail tidak ada di Damaskus. Akibat fatwa dan khuthbahnya yang tegas dan lurus, Al-’Izz bin ‘Abdus Salam dipecat dari jabatannya dan dipenjara di rumahnya.
Bahkan di Saudi saya lihat di media-media sudah mulai lumrah memberitakan kritikan-kritikan dari berbagai pihak atas kebijakan-kebijakan yang dianggap layak diluruskan.
Bahkan belum lama beberapa ulama di Saudi rame-rame mendatangi beberapa departemen, seperti departemen pendidikan dan departemen tenaga kerja atas beberapa kebijakannya yang dianggap sebagai bertentangan dengan syariat.
Mereka sih tidak menganggapnya demonstasi, tapi sebagai bentuk nasehat… Bahkan dibentuknya majelis syura Saudi salah satunya untuk mengontrol kebijakan pemerintah.
Saya sering baca di media misalnya, majelis syura menyampaikan beberapa kritikannya terhadap kinerja pemerintah... Apakah mereka dapat disebut khawarij karena hal itu.
Intinya masalah politik adalah masalah yang sangat dinamis dan luas dimensinya, mengandalkan dalil-dalil normatif begitu saja tanpa mempertimbangkan kasus perkasus, akan jadi rumit sendiri.
Dan jangan sampai pembicaraan siyasah syar’iah kita hanya seputar “Apa hukum demonstrasi” lalu mangambil semua kesimpulan hukum dari sana.
Sekali-kali dibahas juga lah “Apa hukum penguasa yang diam atau bahkan mendukung kezaliman.”
Atau “Apa hukum penguasa muslim yang berkolaborasi dengan kekuatan kufur untuk memberangus gerakan Islam..”
atau “Apa hukum ulama yang diam saja melihat pembantaian terhadap kaum muslimin.” atau semacamnya....
tugas kita memang bukan hanya mengajak umat agar tidak menyembah kuburan, tapi juga agar mereka tidak menyembah AS dan sekutu-sekutunya.
Kedua-duanya adalah syirik yang harus dibasmi. Inilah Tauhid!!
No comments:
Post a Comment