@salimafillah
Pernahkah ada yang menghitung; kiranya ada berapa perbedaan fiqih yang terjadi di Masjidil Haram ini? Tentang melafal niat, tentang sedekap, tentang iftitah, tentang letak tangan saat i'tidal, tentang telapak atau lutut dulu yang turun sujud, tentang letak kaki saat duduk, hingga tentang berapa kali salam yang termasuk rukun?
Dan dapatkah kita pulang ke tanah air dengan tetap selapang dada ketika di sini?
Bukankah sesuatu yang ikhtilaf, apalagi jika bertolak belakang, meniscayakan yang satu benar sedangkan yang lain keliru? Dalam soal pokok-pokok agama dan dasar-dasar ‘aqidah yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, demikianlah adanya. Tetapi dalam perkara furu’iyah fiqhiyah, para ‘ulama memiliki penjelasan. Berikut ini sebuah contoh yang sering dikutip.
Adalah Nabi ﷺ bersabda kepada rombongan pasukan yang akan berangkat ke Benteng Bani Quraizhah setelah perang Ahzab, “Jangan kalian shalat ‘Ashr kecuali di Bani Quraizhah!” Kemudian sariyah inipun bergerak menuju perkampungan Yahudi di bagian atas Kota Madinah itu.
Ternyata, sebelum barisan ini sampai ke Bani Quraizhah, waktu ‘Ashr telah hampir habis. Maka merekapun terbelah dalam silang pendapat. Sebagian sahabat memutuskan berhenti untuk shalat ‘Ashr. Sebagian yang lain jalan terus.
Yang berhenti beranggapan bahwa sabda Nabi, “Jangan shalat ‘Ashr kecuali di Bani Quraizhah” mengandung makna kiasan bahwa mereka harus segera berangkat dan bergegas dalam berjalan agar cepat sampai ke tujuan. Makna itu tak menghapus ketentuan bahwa shalat ‘Ashr harus ditunaikan pada waktunya.
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang beriman.” (QS An Nisaa’ [4]: 103)
Bagi para sahabat yang berhenti, adalah tidak mungkin melanggar batas waktu ‘Ashr dengan menunaikannya nanti. Mereka telah memperhitungkan, secepat apapun mereka gesakan, Benteng Bani Quraizhah baru akan mereka capai jauh setelah mentari terbenam. Andai menjama’ shalat ‘Ashr dengan Maghrib ada dalilnya, tentu mereka akan maju terus. Tapi tidak. Mereka memutuskan harus shalat sekarang.
Adapun para sahabat yang terus berjalan berpendapat bahwa sabda Rasulullah ﷺ itu mutlak sebagai perintah seorang panglima. Mereka tidak boleh shalat ‘Ashr kecuali di Bani Quraizhah. Dalam perintah tersebut, yang ditentukan dan ditetapkan oleh Sang Nabi adalah tempatnya, bukan waktunya. Bagi mereka, menyelisihi perintah Rasulullah ﷺ adalah kedurhakaan dan pelanggaran berat. Maka merekapun jalan terus meski belum shalat ‘Ashr dan waktunya sudah habis.
Mari perhatikan bahwa bagi mereka yang berhenti, anggota pasukan yang berjalan terus itu berdosa karena tidak shalat ‘Ashr pada waktunya. Pun sebaliknya, bagi yang melanjutkan perjalanan, para prajurit yang berhenti itu berdosa karena menyelisihi perintah Rasulullah ﷺ dengan shalat tidak di tempat yang telah beliau tentukan. Betapa rumit kedua fahaman.
Tapi apa yang terjadi ketika seusai tuntasnya tugas mereka menghadap Rasulullah ﷺ dan saling melaporkan? Nabi tak menyalahkan siapapun. Sama sekali.
Perbedaan hatta dalam hal sedahsyat ini tak terletak pada ranah "haq" dan "bathil". Yang dibicarakan adalah mana yang "tepat" dan mana yang "lebih tepat menurut kami".
Hatta jika kita sangat yakin bahwa pendapat kita yang benar, dalam kesantunan akhlaq selalu ada cara untuk mengamalkannya tanpa menyinggung hati sesama.
Adalah KH. AR. Fachruddin pada suatu ketika setelah menyampaikan kuliah tarawih yang memikat diminta untuk mengimami shalat Tarawih. Beliau, seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, termasuk yang berdalil pada hadits 'Aisyah yang menyatakan shalat malam Rasulullah di rumahnya tak pernah lebih dari 11 raka'at. Tapi jangan tanyakan panjang dan bagusnya.
Sedangkan Masjid ini berada di sebuah kota di Jawa Timur, para jama'ahnya yang kebanyakan Nahdliyyin mengamalkan pendapat jumhur sahabat yang menyatakan tiadanya batasan raka'at sebab Nabi suka meringankan bagi para sahabat dengan mengurangi lama berdirinya dan menambah jumlah raka'atnya; yang mana nanti Sayyidina 'Umar memilih bilangan 23 raka'at.
Maka Pak AR bertanya pada hadirin, "Bapak dan Ibu sekalian. Biasanya tarawihnya berapa raka'at di sini; sebelas atau dua puluh tiga?"
"Dua puluh tigaaa", jawab mereka serempak.
"Baik, bismillah. Semoga dapat kita laksanakan seperti biasanya."
Shalatpun beliau imami dengan bacaan yang empuk. Tidak terlalu mendayu tapi enak didengar. Nah, biasanya di Masjid ini, meski 23 raka'at jumlahnya, pada pukul 20.00 shalat sudah akan usai karena memang cepat gerakannya. Tapi Pak AR mengimami dengan sangat santai hingga pada pukul 20.30, baru 8 raka'at yang mereka dapatkan.
"Bapak dan Ibu sekalian", ujar Pak AR saat berdiri lagi, "Mengingat waktu, kita lanjutkan sampai 20 atau witir saja ya?"
Jama'ah menjawab dengan sangat kompak, "Witirrr!"
Gus Dur menanggapi kejadian itu bahwa, hanya bersebab kecerdikan dan kesantunan Pak AR-lah, warga Nahdliyyin rela raka'at shalat Tarawihnya didiskon 60 persen.
Sebagai penutup, kata sahibul hikayat, satu saat ada jama'ah haji Indonesia bernama Pak Jumadi sedang melaksanakan shalat sunnah. Jama'ah dari Pakistan yang ada di sampingnya memperhatikan dengan sangat serius. Dilihatnya ada beberapa perbedaan tatacara dibanding Madzhab Hanafi yang dianutnya.
Maka seusai shalat dia bertanya, "Enta Syafi'i?"
Jama'ah Indonesia kita menjawab dengan sangat mantap sambil menjabat tangannya dengan erat, "Laa. Ana Jumadi."
Dan sang Pakistani pergi sambil berdecak-decak dan menggelengkan kepala. Mungkin dia pikir, "Madzhab macam mana pula lagi itu Jumadi?"
Sumber: Fanpage Salim A Fillah
Sunday, March 18, 2018
Salim A Fillah
No comments:
Post a Comment