A : “Duh aku apes banget hari ini. Ban motor bocor, kena tilang, gak jadi masuk ke kelas.”
B : “Derita loe.”
Ketika seorang pengirim pesan berinisiatif mengawali suatu proses komunikasi dengan cara memberi pesan, di saat yang sama ia berharap si penerima pesan akan merespon pesannya dengan memberi jawaban atau tanggapan yang sesuai. Akan tetapi, manakala deviasi respon yang didapatnya, maka si pengirim pesan bisa saja menafsirkan bahwa si penerima pesan kurang kooperatif dan pertanda kegagalan proses komunikasi sedang terjadi.
Tanggapan B dalam kutipan percakapan di atas dapat ditafsirkan demikian. “Saya tidak peduli!”, “Itu bukan urusan saya!” -demikian versi baku dari jawaban si B. Sikap zero empathy begitu kental terasa yakni bagaimana si B menganggap bahwa kondisi yang dialami A adalah bagian penderitaan A saja dan B tidak atau tidak mau terlibat dalam penderitaan itu. “Kasian deh loe!” yang sempat ngetren beberapa tahun lalu adalah tuturan lain yang senada dengan respon si B di atas. Kata “kasihan” dalam “kasian deh loe” hanya sebatas basa basi yang betul-betul basi karena sudah kehilangan ruhnya. Maksudnya adalah “kasihan” yang seharusnya digunakan dalam konteks ekspresi rasa empati, ketika disandingkan dengan “deh” dan diikuti bahasa tubuh yang acuh tak acuh, maka ruhnya telah berubah menjadi ungkapan untuk memperolok saja.
Selain “derita loe” dan “kasian deh loe”, belakangan ini ada lagi ungkapan yang sedang tenar-tenarnya- “trus gue harus bilang WOW gitu?”. Ungkapan ini seperti epidemi – suatu “penyakit” apatis yang tidak jauh berbeda dari dua ungkapan sebelumnya, dan telah menjangkiti banyak orang. Peran propaganda media massa audiovisual (televisi) memang cukup signifikan dalam penyebaran epidemi ini. Contoh pada sebuah iklan salah satu provider yang tayang di televisi hampir setiap lima menit sekali. Dalam iklan itu, nampak seorang gadis dengan antusiasnya memperlihatkan sebuah CD Kpop kepada seorang temannya. Tetapi, antusiasme itu hanya ditanggapi dengan “Trus gue harus koprol dan bilang wow gitu?”. Dari respon nonverbal si gadis pemilik CD Kpop, tanggapan rekannya itu dinilai cukup tidak menyenangkan. Apakah ketidaktertarikannya pada topik Kpop harus diekspresikan secara vulgar dengan dibarengi bahasa tubuh yang tidak acuh?
Dari “emang gue pikirin” (sempat menjadi tren tahun 1990an), lalu “kasian deh loe’, “derita loe”, “masalah loe”, hingga “trus gue harus bilang WOW gitu?”, inilah yang disebut dengan gejala bahasa atau peristiwa bahasa bahwa bahasa selalu berkembang dan berubah sesuai dengan dinamisasi masyarakat bahasanya. Hanya saja gejala ini kurang berdampak positif dalam dimensi sosial psikologis. Bayangkan saja ketika Anda dengan penuh suka cita menceritakan pengalaman gembira atau dengan memelas dan rasa lelah menceritakan kemalangan, tiba-tiba dengan entengnya hanya ditanggapi “trus gue harus bilang WOW gitu?” Manusiawikah?
Mengutip tesis Santoso dalam artikelnya yang berjudul Jadi Gue Mesti Bilang Wow! bahwa bahasa menjadi penanda bagi seseorang tentang karakternya (www.mustariaulia.blogspot.com), maka dapat dinyatakan bahwa bahasa-bahasa yang tidak simpatik itu menandakan masyarakat kini cenderung telah semakin apatis dan rasa empatinya pun makin terkikis. Barangkali egoisme ini berawal dari makin tingginya mobilitas kehidupan manusia terutama di kota besar, sehingga manusia tidak sempat memperhatikan dan mengurusi masalah yang ada di sekitar atau tidak sempat untuk sekedar prihatin. Alhasil, lambat laun muncul pikiran bahwa itu bukan wilayah urusannya. Dari pikiran ini kemudian lahirlah sikap tidak mau tahu/masa bodoh yang betul-betul enggan mengurusi. Lama kelamaan si manusia akan sulit untuk merasakan bagaimana perasaan orang lain. Maka tak heran bila kemudian muncul tuturan-tuturan apatis yang disebabkan oleh cara hidup dan gaya hidup masyarakat yang seperti tadi. Jadi cara hidup dan berperilaku menentukan bahasa. Hipotesis ini melawan hipotesis Sapir Whorf yang menyatakan bahwa bahasa menentukan cara berpikir dan berperilaku manusia.
Perilaku berbahasa yang tidak karuan ini tentunya hanya akan mengakibatkan konflik. Adapun konflik ini dapat dihindari apabila penutur bahasa memahami prinsip kesopanan dalam berbahasa. Dalam kajian pragmatik teori prinsip kesopanan dicetuskan oleh Geoffrey Leech (1983) yang terdiri dari enam maksim – maksim kebijaksanaan, penerimaan, kemurahan hati, kerendahan hati, kecocokan dan kesimpatian. Secara khusus, maksim yang erat kaitannya dengan pokok bahasan ini adalah maksim kesimpatian. Menurut maksim kesimpatian, kesopanan berbahasa adalah ketika kita memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tutur. Oleh karena itu respon “trus gue harus bilang WOW gitu” termasukrespon yang tidak sopan karena memaksimalkan rasa antipati terhadap suka cita atau duka cita yang menimpa lawan tutur.
Jauh sebelum Geoffrey Leech, Al-Quran telah menyuruh kita untuk sopan dalam berbahasa. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 83, “…Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat…”(QS Al-Baqarah: 83). Dari ayat ini dapat dilihat urgensi bertutur kata yang baik dalam rangka habluminannas, sehingga saking urgennya ia disejajarkan dengan perintah shalat dan zakat. Dalam dimensi habluminannas/relasi interpersonal, bersikap sopan bertujuan untuk terwujudnya hubungan sosial yang baik dan harmonis serta terhindarnya konflik, sedangkan dalam dimensi intrapersonal, sopan dalam berbahasa mencerminkan karakter.
No comments:
Post a Comment