Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Saturday, January 30, 2016

    Fiksi Islami: Antara Label dan Substansi

    Oleh Afifah Afra

    Part # 1 Awalan
    Bergenta-genta pertanyaan ini terdengar di benak. Kian menggerincing saat berbagai tanya menggempur otak.
    “Seperti apa sih, fiksi Islami itu?”
    “Mbak, aku mohon wejangan, bagaimana cara menulis novel yang Islami.”
    “Mbak, orang seperti aku, apa bisa menulis novel yang Islami. Soalnya, pengetahuan keislaman saya minim.”
    Pertanyaan itu bagi saya tidak biasa. Seberat tanya terlontar, seberat itu juga jawaban yang harus saya pikirkan. Tapi, baiklah ... sependek pengalaman saya bergelut dengan dunia kepenulisan, yang sering dilabeli (dan mudah-mudahan juga beririsan dengan substansi) ‘sastra dakwah’, mungkin saya memang punya jawaban.
    Namun, saya tetap membuka ruang diskursus atas pemahaman saya ini. Jika salah mohon diluruskan, jika kurang mohon ditambahi. Dan jika sudah benar, silakan untuk disebarkan—dan semoga menjadi salah satu ladang kebaikan penyumbang royalti pahala, yang menyelusup ke alam kubur saya kelak.

    Part # 2 Apa Itu Fiksi
    Mari kita awali dari definisi fiksi. Dalam kbbi.web.id fiksi secara bahasa dimaknai sebagai cerita rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan.
    Adapun secara istilah, beberapa pakar memiliki definisi masing-masing sebagai berikut:
    Istilah fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah tetapi suatu yang benar ada dan terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris. Yang membedakan karya fiksi dengan karya non fiksi yaitu tokoh, peristiwa dan tempat yang disebut – sebut dalam karya fiksi bersifat imajinatif sedangkan pada karya nonfiksi bersifat faktual (Abrams, 1981 : 61).
    Fiksi adalah prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasi hubungan-hubungan antar manusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukan unsur hubungan dan dengan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia. Altenbernd  dan Lewis (1966 : 14).
    Jadi, memang secara istilah, fiksi itu bukan melulu sebuah rekaan, tetapi memang ada kebenaran yang diungkapkan. Beberapa penulis bahkan berpendapat, bahwa yang membedakan antara fiksi dengan non fiksi, sebenarnya hanya pada kemasan. Fiksi membingkai sebuah informasi dalam kemasan sedemikian rupa, sehingga kebenaran yang disampaikan memiliki greget yang lebih. Pembaca tak sekadar mendapatkan informasi dari tulisan tersebut, tetapi juga digerakkan, dimotivasi, dibangkitkan emosinya.
    Tepat sekali tulisan sastrawan senior Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. “Jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya, namun kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri. Buku Sastra bisa dibredel, tetapi kebenaran dan kesustraan menyatu bersama udara, tak tergugat dan tak tertahankan.” Begitu tulisan Seno Gumira Ajidarma.
    Karena kita berbicara dalam ranah keislaman, tentunya kita tak bisa lepas dari bagaimana Islam memandang sebuah karya fiksi. Saya cuplikkan tulisan salah seorang sahabat sekaligus guru saya, Hatta Syamsuddin, Lc. Dalam blognya yang sangat inspiratif, www.indonesiaoptimis.com.
    Sebagian ulama lain berfatwa tentang kebolehan penulisan kisah fiksi, tentunya dengan syarat dan ketentuan tertentu.  Mereka yang membolehkan diantaranya  Syeikh Ibnu Jibrin, Ibnu Utsaimin, Sholih Showy dan Syeikh Muhammad Mazrul.  Beberapa hujjah yang diajukan mereka yang membolehkan antara lain :
    1.   Bahwa dalam cerita tersebut tidak ada yang disebut kedustaan, karena pembaca pun mengetahui jika hal tersebut tidak terjadi. Maka lebih tepat disebut dengan pengandaian atau perumpamaan, yang bahkan juga menjadi metode al-Quran dalam menjelaskan sesuatu. Di antaranya Allah SWT berfirman:
    Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus? (QS An-Nahl : 76)
    2.    Sebuah riwayat dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa” (HR Ahmad, Abu Daud dll). Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah terdapat tambahan, “Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita Bani Israil terkandung cerita-cerita yang menarik”. Tambahan Ibnu Abi Syaibah ini dinilai sahih oleh Al Albani.
    Hadits di atas dijadikan dalil oleh sebagian ulama untuk menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita yang unik dan menarik dengan tujuan hiburan dengan syarat cerita tersebut tidak diketahui secara pasti kebohongannya. Sedangkan jika cerita tersebut sudah diketahui secara pasti kebohongannya maka boleh diceritakan dengan syarat maksud dari membawakan cerita tersebut untuk membuat permisalan, sebagai nasihat dan menanamkan sifat berani baik tokoh dalam cerita tersebut manusia ataupun hewan asalkan semua orang yang membacanya pasti faham bahwa cerita tersebut hanya sekedar imajinasi atau karangan semata. Inilah pendapat Ibnu Hajar al Haitaimi, seorang ulama bermazhab syafii.
    3.       Para ulama (terdahulu) membolehkan kisah-kisah fiktif yang ada dalam buku Maqamat karya Badiuz Zaman al-Hamdzani dan al Maqamat karya al Hariri dan buku-buku sejenis, dan tidak ada dari mereka menentang dan mengkritisi karya tersebut.
    Untuk lebih lengkap mengunyah dan menelaah fiksi dalam pandangan Islam, silakan Anda meluncur ke situs resmi beliau, khususnya di artikel ini !
    http://www.indonesiaoptimis.com/2011/02/menggagas-fiqh-kepenulisan-2.html
    Part  # 3. Apa Itu Islami?
    Definisi kedua, adalah kata Islami itu sendiri. Merujuk dari KBBI, islami artinya bersifat keislaman, atau akhlak. Atau menyifatkan tentang Al-Islam. Oleh karena itu, Fiksi Islami bisa disebut sebagai fiksi yang menyifatkan nilai-nilai keislaman.
    Kalau begitu, masih bisa dikejar lagi. Apa itu Islam? Kita tak akan bisa menyifatkan sesuatu yang kita tak mengerti, bukan? Islam berasal dari kata Arab aslama-yuslimu-islaman yang secara kebahasaan berarti 'menyelamatkan'. Syaikh Hasan Al-Banna memiliki definisi yang menarik untuk menggambarkan universalitas Islam sebagai berikut:
    “Islam adalah negara dan tanah air, atau pemerintahan dan umat, ia adalah akhlak dan kekuatan, atau kasih sayang dan keadilan, ia adalah wawasan dan perundang-undangan, atau ilmu pengetahuan dan peradilan, ia adalah materi dan kekayaan, atau kerja dan penghasilan, ia adalah jihad dan dakwah, atau tentara dan fikrah, sebagaimana ia adalah akidah yang bersih dan ibadah yang benar.”
    Dari pengertian itu, kita bisa mendapatkan gambaran tentang karakteristik Al-Islam sebagai berikut:
    1.      Rabbaniyah, bersumber langsung dari Allah, dan ini harus diimani secara mutlak.
    2.  Insaniyah (humanism), yakni diturunkan kepada manusia dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
    3.   Syamil Mutakamil (integral, menyeluruh dan sempurna), alias mengajarkan seluruh sisi kehidupan manusia, mulai dari yang masalah kecil sampai dengan masalah yang besar.
    4.    Al-Basathah (elastis, fleksibel, mudah), karena itu, prinsip dalam berislam adalah yassir wa laa tu'assir (mudahkan, jangan dipersulit).
    5.  Al-’Adalah (keadilan), yakni diturunkan untuk mewujudkan keadilan yang sebenar-benarnya, maka Islam mengajarkan persaudaraan, persamaan hak, kesetaraaan, antifeodalisme, serta memelihara darah (jiwa), kehormatan, harta, dan akal manusia.
    6.   Al-Wasathan, yakni seimbang, balance, moderat, equilibrium—baik antara material dan spiritual, dunia dan akhirat, bahkan juga dalam sikap. Misalnya, akhlak yang Islami, adalah titik tengah dari  dua hal yang ekstrim. Misalnya, hemat adalah titik tengah dari boros dan pelit. Pemberani adalah titik tengah dari nekad dan pengecut. Dan sebagainya.
    7. Perpaduan antara Ats-Tsawabit Wal-Mutaghayyirat. Keteguhan Prinsip (Tsawabit) dan Fleksibilitas/elastisitas (Mutaghayyirat). Yakni adanya hal-hal yang bersifat prinsip (tidak berubah oleh apapun), namun juga siap menerima perubahan sepanjang tidak menyimpang dari batas.
    8.     Diturunkan secara berangsur-angsur, sesuai dengan kesiapan dan fitrah manusia. Jadi, tidak radikal dan bersifat revolutif. Demikian pula, untuk berislam dengan baik, kita membutuhkan proses yang terus berkesinambungan. Sehingga, amalan yang paling dicintai Allah adalah yang rutin, meski sedikit.
    9.    Argumentatif Filosofis, yakni tidak doktriner. Bahkan, syariat Islam sendiri, turun karena ada aspek historisnya. Aspek historis turunnya Al-Quran disebut sebagai asbabun nuzul, sedangkan aspek historis turunnya hadits disebut sebagai asbabul wurud. Jika kita membuka Al-Quran, kita juga bisa melihat, bahwa setiap persoalan senantiasa diiringi dengan bukti-bukti atau keterangan-keterangan yang argumentatif dan dapat diterima dengan akal pikiran yang sehat (rasional religius).
    Part # 4. Jadi Seperti Apa Fiksi Islami Itu?
    Jika demikian, saya berani mengambil sebuah kesimpulan, bahwa fiksi Islami adalah sebuah kebenaran yang dikemas dalam imajinasi, yang menyifatkan ajaran Al-Islam dengan karakteristik tersebut di atas, baik sebagian atau keseluruhan. Namun, tentu saja tidak dibarengi karakteristik yang bertentangan dengan sifat-sifat lain.
    Terkadang, kita juga bisa melihat adanya tulisan-tulisan non muslim yang ternyata sesuai dengan karakteristik tersebut. Misal, saya pernah berkesempatan bertemu dengan Camilla Gibbs, dan bahkan menjadi salah satu pembedah novel beliau, Sweetness in The Belly. Gibbs bukan seorang muslim, tetapi tulisannya sangat pro Islam, dan memerperlihatkan bagaimana Islam sesungguhnya. Namun sebaliknya, bisa kita temui seorang penulis yang muslim, lahir dari keluarga yang memegang teguh nilai agama, justru menulis karya-karya yang tidak mencerminkan karakteristik dari Islam.
    Part # 5. Antara Substansi dan Label
    Ini adalah topik yang terberat dari tulisan sederhana saya ini. Karena, mau tidak mau, saya pasti harus bicara soal tekstual (literer) vs kontekstual (berhubungan dengan konteks/substansi). Dan perdebatan antara Islam tekstual dan kontekstual, telah menjadi perdebatan klasik yang usianya menginjak berabad-abad, bahkan beribu tahun.
    Misalnya, di Indonesia sendiri, ternyata Walisongo, yang menyebarkan ajaran Al-Islam, terpecah menjadi dua aliran tersebut. Misalnya, Sunan Giri, cenderung menyebarkan Al-Islam secara apa adanya, sedangkan Sunan Kalijaga mencoba melakukan terobosan dengan melakukan pendekatan-pendekatan kultural, seperti dengan wayang. Sunan Giri tidak setuju dengan wayang, karena dalil tekstual, gambar manusia itu haram.  Akhirnya, agar terjadi kesepakatan, Sunan Kalijaga pun memodifikasi gambar wayang sedemikian rupa, sehingga lebih berbentuk karikatur. Sunan Giri pun mengizinkan.
    Pada kenyataannya, dakwah dengan dua cara itu, ternyata masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Dakwah cara Sunan Giri, memang akan mencetak kaum muslim yang fudamentalis, kuat secara akidah, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Sedangkan metode dakwah seperti Sunan Kalijaga, terbukti efektif menjadikan Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini. Tetapi, nyatanya lebih banyak yang Islamnya hanya sekadar KTP.
    Jadi, apa solusinya?
    Tentu kembali kepada manhaj sebenarnya yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Islam adalah pertengahan antara pendekatan tekstual dan kontekstual. Dalam hal tertentu, ada sesuatu yang sifatnya tsawabit (baku, mutlak), tetapi dalam hal yang lain, sifatnya mutaghayyirat (elastis). Hal ini juga berlaku ketika kita berkecimpung di dalam dunia fiksi Islami.
    Fiksi Islami, mestinya bisa mencerminkan substansi Islam secara utuh. Label, terkadang perlu, tetapi terjebak pada labeling justru mengerikan. Karena, terkadang labeling justru bisa mengerdilkan makna Islam itu sendiri. Misal, karena para penerbit memberikan cap ‘novel islami’, dengan aneka derivat dan ragam nama, akhirnya pembaca pun kehilangan kekritisannya dengan merasa terlindungi dari label tersebut. Jika penerbit sebagai ‘produsen’ benar-benar memahami konsep apa yang disebut dengan Islami, tentu tak ada masalah. Tetapi, jika penerbit tertarik dengan ‘label’ tersebut semata-mata karena industri, karena pangsa pasar muslim itu sangat luas, ini menjadi bahaya tersendiri. Tak elok bukan, jika kita membaca sebuah novel dengan label semacam itu, yang tokohnya berjilbab, berbaju koko dan aktivitasnya di masjid, tetapi konflik percintaannya sebenarnya sama dengan sinetron picisan?
    Sebaliknya, label semacam itu juga seakan-akan memunculkan sebuah dikotomi, bahwa ketika ada novel islami, maka akan ada novel yang tidak Islami. Lalu pembaca akan men-judge bahwa novel tanpa label, adalah tidak Islami. Padahal, isinya sebenarnya sangat Islami, misalnya mengajarkan semangat juang, kerja keras, kesabaran, kesetiaan, keadilan, kejujuran, dan sebagainya.
    Lepas dari itu semua, kita merindukan buku-buku yang cerdas, memberikan semangat, serta selalu mengingatkan kita untuk berubah menjadi lebih baik. Apapun label yang menempel, saya kira tidak jadi masalah. Bukan sebaliknya, buku-buku yang justru membuat kita malas beribadah, terimajinasi negatif, atau justru membodohi pembacanya dengan hal-hal yang tak bermanfaat, meskipun label dari buku itu (mungkin) ‘islami’.
    Mari jadi pembaca kritis! Juga jika kita jadi seorang penulis, mari jadi penulis yang ‘menggerakkan’ pembacanya dalam kebaikan.

    No comments:

    Post a Comment