Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Monday, March 19, 2018

    Pertaubatan Sang Ayah Tersebab Sang Anak


    Ini adalah kisah nyata tentang seorang pria bernama Rashid. Ia menceritakan kisahnya :
    "Usiaku tidak lebih dari 30 tahun, saat istriku melahirkan anak kami yang pertama. Aku masih ingat malam itu. Aku begadang bersama teman-temanku, kebiasaanku sejak lama. Malam yang dipenuhi dengan obrolan tanpa arti. Aku membuat mereka tertawa. Aku dapat meniru-niru orang lain seperti aslinya. Aku dapat mengubah suaraku sampai betul-betul mirip dengan orang yang kuejek. Tak ada yang selamat dari ejekanku, bahkan teman-temanku sendiri. Beberapa orang mulai menjauhiku hanya agar dapat selamat dari gangguan lisanku. Malam itu, aku mempermainkan seorang pengemis buta yang kutemui di pasar. Hal terburuk yang kulakukan yaitu, aku menjegalnya dengan kakiku hingga ia terjatuh dan tak tahu harus berkata apa.
    Aku pulang telat seperti biasanya, dan kulihat istriku menungguku. Dia sangat khawatir, dan dengan suara bergetar dia berkata, "Rashid.. dari mana saja kau?"
    "Dari Mars" Ku jawab dengan sinis, "Dengan teman-temanku tentu saja."
    Dia terlihat kelelahan dan menahan air matanya, dia bilang, "Rashid, aku sangat lelah. Sepertinya aku akan melahirkan." Air mata mulai menetes di pipinya.
    Aku merasa aku telah menyia-nyiakan istriku. Seharusnya aku menjaganya dan tidak begadang semalaman dengan teman-temanku, khususnya di usia kehamilannya yang masuk bulan ke 9.
    Segera ku bawa dia ke rumah sakit; dia masuk ke ruang bersalin, dan mengalami kesakitan selama berjam-jam untuk melahirkan.
    Aku menunggunya dengan sabar sampai dia melahirkan ... tapi kelahiran anak kami sangat sulit, dan aku telah menunggu cukup lama hingga aku merasa lelah.
    Jadi, aku pulang dan meninggalkan nomor telfonku di rumah sakit agar mereka dapat menghubungiku jika ada kabar baik.

    Akhirnya mereka menghubungiku dan mengucapkan selamat atas kelahiran anakku, Salim.
    Segera setelah mereka melihatku, mereka memintaku untuk menemui dokter yang menangani persalinan istriku
    "Apa, dokter?" Aku berteriak, "Aku hanya ingin melihat anakku, Salim!"
    "Temui dulu dokternya," kata mereka.
    Aku bertemu dengan dokter dan dia merasa sedih saat berbicara denganku.
    Aku sangat terpukul mengetahui bahwa anakku memiliki kelainan penglihatan yang serius dimatanya, dan sepertinya anakku tidak dapat melihat. Aku ingat pengemis buta di pasar yang telah kupermainkan hingga semua orang saat itu tertawa.
    SubhanAllah, siapa yang menabur benih dialah yang menanam!

    Istriku tidak sedih. Dia percaya dan menerima keputusan Allah. Berapa kali ia memperingatkanku agar berhenti mengejek orang lain!
    Istriku tidak menyebutnya dengan mengejek tapi menggunjing, dan dia benar.

    Aku tidak banyak menaruh perhatian terhadap Salim. Aku berpura-pura dia tidak ada dirumah bersama kami. Saat dia menangis keras, aku akan meninggalkannya dan tidur di ruang tamu. Istriku sangat menyayangi dan menjaga anak kami dengan penuh kasih sayang. Namun bagiku, aku tidak membencinya tapi aku juga tidak mampu untuk mencintainya. Istriku sangat bahagia saat anakku mulai belajar merangkak. Saat dia hampir berusia 2 tahun, dia mulai belajar berjalan dan dia merasakan bahwa dia harus meraba saat berjalan. Semakin aku menjauhinya, istriku malah semakin menyayanginya. Bahkan setelah kelahiran anak kami berikutnya, Umar dan Khalid.

    Tahun-tahun berlalu…
    Istriku tidak pernah menyerah untuk perubahan diriku. Dia selalu berdoa agar aku memperoleh hidayah. Istriku tidak pernah marah dengan tingkah lakuku yang sembrono tapi hal yang justru membuatnya sedih adalah apabila dia melihatku mengabaikan Salim dan tidak memberikan perhatian kepada anak-anakku yang lain.

    Salim mulai tumbuh besar. Aku tidak keberatan saat istriku mendaftarkannya ke sekolah khusus penyandang cacat. Aku benar-benar tidak merasakan tahun-tahun berlalu. Hari-hariku monoton begitu saja, seperti biasa. Bekerja, tidur, makan, dan nongkrong bersama teman-teman.

    Hingga suatu hari. Hari Jum'at, aku bangun jam 11 siang. Bagiku ini masih terlalu pagi. Aku diundang pada suatu pertemuan, aku berpakain rapi dan menggunakan parfum, bersiap-siap untuk pergi. Saat aku melintas, aku terkejut melihat Salim .... Dia menangis sesegukan.
    Ini baru pertama kalinya aku melihat Salim menangis sejak dia masih bayi.
    “Salim, kenapa kau menangis?” tanyaku
    Saat dia mendengar suaraku, dia berhenti menangis.
    Salim merasakan ada orang disekitarnya, “Ada apa dengannya”, batinku.
    Tapi dia mencoba menjauh dariku, seolah-olah dia berkata, "Sekarang, baru kau putuskan untuk memperhatikanku ? Dimana kau selama 10 tahun terakhir ?"
    Ku ikuti dia, dia masuk ke dalam kamarnya.
    Awalnya, dia menolak untuk menceritakannya kepadaku, mengapa dia menangis.
    Aku mencoba lembut terhadapnya, aku tahu ada yang tidak beres
    Adiknya Umar, yang selalu mengantarnya kemasjid , terlambat datang. Dan karena saat itu waktunya Sholat Jum'at, Salim merasa sedih kalau dia tidak mendapatkan shaf pertama.
    Dia memanggil ibunya, tapi tidak ada jawaban.
    Kutaruh tanganku di mulutnya seolah ingin kukatakan padanya "Inikah alasan engkau menangis, Salim?"

    "Salim anakku.. -Aku tidak tahu apa yang membuatku mengatakan hal ini-, "Salim, jangan sedih. Tahukah kau siapa yang akan mengantarmu ke masjid hari ini?"
    "Umar, tentu saja," dia berkata, "Seandainya aku tahu kemana dia pergi"
    "Tidak, Salim" kubilang . "Aku yang akan mengantarmu"
    Salim sangat terkejut, dia tidak mempercayainya. Dia mengira aku mengejeknya. Dan dia malah menangis. Ku hapus air matanya dengan tanganku dan mulai menggandeng tangannya. Aku ingin mengantarkannya ke masjid menggunakan mobil. Tapi dia menolak dan berkata, "Ayah, masjidnya dekat, aku ingin berjalan kaki menuju masjid karena setiap langkah kaki kita akan dicatat."
    Aku tidak dapat mengingat kapan terakhir kali aku pergi ke masjid dan kapan terakhir kali aku bersujud di hadapan Allah. Untuk pertama kalinya aku merasa takut dan menyesal. Menyesal karena aku telah menyia-nyiakan waktuku selama bertahun-tahun.

    Masjid penuh dengan jam'ah, tapi aku masih mendapatkan tempat untuk Salim di shaf pertama. Kami mendengarkan khutbah Jum'at bersama, dan aku sholat disebelahnya. Setelah sholat, Salim meminta Qur'an dariku. Aku terkejut, bagaimana dia akan membacanya sementara dia buta ?
    Aku hampir mengabaikan permintaannya, jadi ku ajak dia bercanda agar tidak melukai perasaannya. Tapi dia memintaku untuk membuka Qur'an surat al-Kahfi. Aku melakukan apa yang ia minta, dia mengambil Qur'an dariku, menaruhnya di hadapannya dan mulai membaca surat tersebut. Ya Allah!, dia telah mengingat keseluruhan surat itu. Aku merasa malu. Ku ambil Qur'an itu, anggota badanku terasa bergetar .. ku baca dan kubaca
    Aku memohon ampunan dan bimbingan dari Allah. Kali ini, akulah yang menangis. Aku menangis karena kesedihan dan penyesalan atas apa yang telah ku sia-siakan. Satu hal yang kurasakan saat itu, sebuah tangan kecil… meraih wajahku dan menghapus air mataku. Salim anakku, dia menghapus air mataku !

    Kami kembali pulang. Istriku sangat khawatir terhadap Salim, tapi kekhawatirannya berubah menjadi bahagia saat dia tahu bahwa aku sholat Jum'at bersama Salim. Mulai hari itu, aku tak pernah tinggalkan sholat berjamaah di masjid. Kutinggalkan teman-temanku yang buruk... dan aku mulai berkawan dengan orang-orang sholeh yang kutemui di masjid. Aku merasakan manisnya iman bersama mereka. Aku selalu hadir di majelis ilmu. Aku khatamkan Qur'an beberapa kali dalam 1 bulan. Aku membasahi lidahku dengan berdzikir, memohon agar Allah mengampuni dosa ku karena senang menggunjing dan mengejek orang lain.

    Aku mulai merasa dekat dengan keluargaku. Kesedihan yang sebelumnya tampak di mata istriku kini telah hilang, digantikan dengan senyuman di wajahnya. Aku memuji dan bersyukur kepada Allah atas rahmatnya.

    Suatu hari, temanku yang sholeh mengajakku berpergian jauh untuk tujuan da'wah. Aku merasa ragu untuk pergi. aku shalat istikharah dan mendiskusikannya dengan istriku. Kukira dia akan menolak, tapi kebalikannya, dia sangat senang, dan bahkan menyemangatiku.
    Aku menemui Salim, dan mengatakan padanya bahwa aku akan berpergian. Kemudian dia memelukku dengan tangannya yang kecil dan jika mampu dia ingin mengecup keningku.

    Selama 3 bulan aku jauh dari rumah, kapanpun ada kesempatan aku akan menelfon istriku dan berbicara dengan anak-anakku. Aku sangat merindukan mereka, dan betapa aku merindukan Salim. Aku ingin mendengar suaranya, hanya dia yang belum berbicara denganku sejak aku pergi, kalau tidak sedang berada di sekolah dia ada di masjid kapanpun aku tengah menelfon mereka.
    Aku selalu mengatakan pada istriku untuk mencium Salim dan menyampaikan salamku untuknya.

    Istriku tertawa bahagia, dan penuh kesenangan, kecuali terakhir kali saat aku menelfonnya, aku tidak mendengarnya tertawa seperti biasa. suaranya berubah. Kukatakan padanya, "Sampaikan salamku kepada Salim," dan dia bilang, "Insha Allah"
    Akhirnya aku kembali ke rumah. Ku ketuk pintu, berharap, Salim anakku yang akan membukakan pintu untukku. Tapi ternyata Khalid anakku, yang masih berusia 4 tahun yang membukakan pintu, ku gendong dia sementara dia berguman, "Baba! Baba!"
    Aku tidak tahu mengapa perasaanku tidak enak saat aku masuk rumah. Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk
    Aku menghampiri istriku, ada sesuatu yang telah terjadi. Aku melihat wajahnya terlihat sedih.
    "Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?"
    "Tidak ada" jawabnya
    Tiba-tiba aku teringat Salim, "Dimana Salim?" aku bertanya
    Istriku menundukkan kepalanya. dia tidak menjawab. Saat itu, suara yang kudengar hanya suara Khalid anakku, suara yang masih tergiang ditelingaku hingga hari ini.
    Dia berkata: "Baba, Salim berada di Surga bersama Allah"
    Istriku tidak dapat membendung air matanya dan pergi ke kamar.

    Salim mengalami demam, 2 minggu sebelum aku kembali. Istriku membawanya ke rumah sakit, tapi demamnya semakin tinggi hingga maut menjemputnya.

    Aku merasakan bahwa ini ujian dan cobaan dari Allah. Aku masih dapat merasakan tangannya menghapus air mataku dan saat dia memelukku. Betapa sedihnya aku mengingat Salim, anakku yang buta.
    Tidak … dia tidak buta.
    Akulah yang buta! saat aku berteman dengan teman-teman yang buruk.
    Aku masih ingat apa yang biasa ia katakan, "Sesungguhnya Allah memiliki ampunan yang tak terhingga"

    Salim ... yang dulunya tak pernah kusayangi. Sekarang aku menemukan bahwa aku sangat menyayanginya melebihi saudara-saudaranya. Aku menangis dan aku masih merasa sedih (hingga hari ini)!

    Bagaimana aku tidak bersedih? … lewat dia-Salim anakku- aku memperoleh hidayah dari Allah.
    lewat dia-Salim anakku- aku memperoleh hidayah dari Allah. ….

    "Ya Allah terimalah Salim dan rahmatilah dia”

    No comments:

    Post a Comment