Menyajikan Informasi dan Inspirasi


  • News

    Sunday, December 10, 2017

    Cerita Dibalik Intifadah Pertama; 'Wanita-Wanita Perkasa'

    Khadijah Abu Shreifa, 65, kamp Jalazone, Ramallah


    Khadijah berjalan perlahan, menyeret kakinya yang lumpuh setelah ditembak oleh tentara Israel.

    Anak-anaknya dan cucu-cucunya berkumpul di sekelilingnya di rumahnya di kamp Jalazone, sebelah utara Ramallah, dan dia menceritakan kisah perjuangannya selama Intifadah pertama.

    Dia adalah seorang yang selamat ketika penindasan yang mengerikan itu terjadi. Ketika itu tentara Israel melakukan berbagai macam cara untuk membendung perlawanan Intifadah. Parahnya mereka tidak membedakan antara pria dan wanita, anak-anak dan orang tua. Semua diperlakukan sama sadisnya.

    Khadijah Abu Shreifa adalah pengungsi Palestina. Keluarganya dipaksa keluar dari rumah mereka di desa Safriyya pada tahun 1948. Mereka pindah ke kamp Aqabat Jabr di Yerikho, lalu ke kamp Wahdat di Yordania, dan akhirnya ke kamp Jalazone setelah perang pada bulan September 1970.

    Khadijah (65) tidak ingat tanggal pastinya, tapi dia ingat setiap detailnya hingga hari ini. Dia mengingat bagaimana warga Palestina di kamp Jalazone memimpin sebuah demonstrasi besar, yang berakhir dengan penindakan secara keras oleh pasukan Israel yang menyebar ke seluruh kamp.

    "Saya mendengar salah satu tentara melecehkan sekelompok gadis muda secara verbal, mereka mengatakan hal-hal seksual kepada mereka. Hal itu membuat saya marah, jadi saya mencoba untuk menghadapinya. Tentara itu mulai mengutuk saya dan bergerak ke arah saya untuk memukul saya."

    Khadijah mengatakan kepada Al Jazeera seluruh pasukan militer Israel menyerangnya, tentara tersebut memukulinya dan menarik rambutnya. Salah satu tentara menembaknya dari jarak dekat, berniat membunuhnya. Tapi ternyata dua peluru yang mereka tembakan hanya bisa melukainya, satu di bahu dan yang lainnya di kaki. Hal ini membuatnya menjadi orang pertama yang terluka di kamp Jalazone selama Intifadah pertama.

    Para wanita kamp bergegas untuk menyelamatkan Khadijah dari tentara Israel. "Salah satu wanita merobek jilbabnya untuk mengikat luka saya. Kemudian orang-orang di kamp tersebut membawa saya ke rumah sakit di Ramallah, di mana seorang perwira Israel datang untuk mencoba menangkap saya.

    "Tapi saya diselundupkan keluar dari rumah sakit," kenangnya.

    Khadijah menambahkan bahwa para wanita kamp berangkat untuk menunjukkan dan mengungkapkan kemarahan mereka atas serangan tersebut. Pasukan Israel menekan demonstrasi dengan perlakuan keras, dan 40 perempuan terluka oleh peluru karet.

    Begitu Khadijah kembali ke Jalazone, dia disambut oleh warga dengan parade besar yang mengaraknya ke seluruh kamp.

    Dia dibawa di pundak mereka sembari meneriakkan "Kita tidak akan takut!" dan penduduk bernyanyi bersamanya.

    Ini bukan akhir dari keterlibatan Khadijah; Dia melanjutkan perjuangannya bersama dengan wanita kamp lainnya.

    "Tentara Israel selalu mengejar anak-anak, mereka akan menangkap mereka dan memukul mereka. Setiap kali saya melihat mereka menangkap seorang anak, saya akan menariknya menjauh dari mereka, dengan mengklaim bahwa dia adalah anak saya."

    Selama Intifadah pertama, pasukan Israel sering memberlakukan jam malam, kadang selama 40 hari berturut-turut. Ketika jam malam itu lama, warga akan kehabisan makanan di rumah mereka, dan saat itulah Khadijah akan keluar dari kamp untuk mengambil makanan dan mendistribusikannya.

    "Saya mengatakan kepada tentara Israel bahwa anak perempuan saya sakit dan membutuhkan obat-obatan, dan saya mendapat izin untuk pergi menggunakan mobil keluarga kami. Dalam perjalanan pulang, saya mengisi mobil dengan makanan dan sayuran dan membagikannya kepada penduduk di kamp tersebut."


    Apa yang diceritakan Khadijah diaminkan oleh Presiden Uni Komite Wanita Palestina, Khitam Saafin. Khitam Saafin mengatakan kepada Al Jazeera bahwa perempuan Palestina memainkan peran penting selama Intifadah pertama.

    Yang terpenting di antara peran ini adalah pembentukan komite, di berbagai lingkungan, yang mendidik anak-anak selama serangan umum yang terjadi pada tahun pertama Intifadah.

    Perempuan memainkan peran sentral dalam demonstrasi dan konfrontasi dengan pasukan pendudukan Israel. Saafin menceritakan banyak perempuan yang mengangkut batu dan berdiri  di garis depan. Kemudian melemparkan batu-batu tersebut ke arah tentara Israel.

    "Wanita juga berhasil mencegah pasukan Israel menahan pemuda dan anak-anak, tanpa rasa takut, para wanita palestina akan menyerang tentara dan menarik anak atau pemuda itu dengan paksa, sehingga mereka bisa lolos dari cengkeraman tentara israel."

    Saafin menambahkan bahwa para wanita Palestina juga berhasil dalam menggerakan pemboikotan produk israel sehingga menghasilkan produk alternatif Palestina. Ia juga berbicara tentang sekelompok tetangga wanita yang akan bertemu secara teratur untuk menghasilkan produk buatan tangan lokal, sebagai pengganti orang-orang Israel.

    "Produk Israel stagnan di toko-toko, tidak ada yang membelinya. sementara produk Palestina mulai menggantikannya."

    "Jika seseorang memiliki sebidang tanah kecil, mereka akan memberikannya secara sukarela kepada wanita yang akan menanamnya dan memanfaatkannya. Para wanita akan melakukan penanaman dan pemanenan dan membagikan hasil panen mereka kepada orang-orang di lingkungan mereka," jelasnya.

    No comments:

    Post a Comment