Modal manusia di dunia untuk ‘membeli’ kenikmatan jannah yang abadi hanyalah berupa waktu atau umur yang singkat. Umur rata-rata umat ini berkisar antara 60 hingga 70 tahun saja, seperti yang disabdakan Nabi shallallahu alaihi wasallam,
أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ، وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ
“Umur umatku berkisar antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun, dan hanya sedikit yang melampaui itu.” (HR Tirmidzi, hasan)
Sejatinya, umur yang panjang tidak menjadi jaminan bahwa seseorang lebih banyak pahala kebaikannya. Seberapa banyak pahala yang bisa dkumpulkan manusia tak hanya dipengaruhi oleh banyaknya waktu dan tenaga yang dikerahkan, banyaknya harta yang dikeluarkan, atau banyaknya pekerjaan yang dilakukan. Justru yang paling penting adalah bagaimana manusia memberdayakan potensi yang dimilikinya sesuai dengan porsi yang pas, waktu yang tepat dan cara yang efektif pula.
Agar Pahala Lebih Optimal
Satu jenis amal, pahalaya berbeda antara satu dengan yang lain. Shalat misalnya, seberapa pahala yang didapatkan sangat bervariasi; tingkat kekhusyukannya, berjamaah atau sendiri, kadar kesesuaiannya dengan sunnah, tempat mengerjakannya maupun waktu pelaksanaannya. Begitu juga dengan faktor lain yang mempengaruhi besar kecinya kelipatan pahala.
Orang yang melakukan shaum, lalu dia juga memberi buka kepada orang lain yang shaum, maka ia mendapatkan pahala shaumnya sendiri dan pahala shaum sebanyak orang yang diberi buka olehnya. Karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” (HR Tirmidzi, Shahih)
Ada beberapa cara yang bisa di tempuh agar kita bisa sukses mengumpulkan pahala secara optimal, memperbanyak bekal menuju Allah sehingga termasuk dalam kategori,
“maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS al-A’raf 8)
Amalan yang paling besar pahalanya adalah yang paling sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Cukup bagi kita ittiba dengan apa yang disunnahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam, tak perlu menambah dengan bid’ah yang diada-adakan. Karena apa yang dikerjakan oleh Nabi adalah amal yang paling ideal dan paling besar pahalanya. Sedangkan bid’ah yang diada-adakan tidak menambah pahala sedikitpun karena tertolak, meskipun untuk melakukannya seseorang mencurahkan banyak tenaga, waktu dan biaya.
Membaca tasbih setelah shalat fardhu sebanyak 33 kali jelas lebih utama dan banyak pahalanya daripada membacaya sebanyak 3333 kali, karena lebih sesuai dengan sunnah. Secara waktu dan tenaga jelas lebih efisien. Bukankah shalat Shubuh 2 rekaat pahalanya lebih besar daripada 3 rekaat? Bahkan ketika penambahan itu dilakukan secara sengaja maka akan tertolak, tidak diterima oleh Allah. Begitupun dengan ibadah dan amaliah yang lain, yang paling utama adalah yang paling sesuai dengan sunnah.
Contoh lainnya adalah Shalat fardhu berjamaah di masjid. Cara ini sangat ditekankan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, utamanya bagi kaum laki-laki. Perbandingan pahalanya pun sangat signifikan, yakni 1 : 27. Maka bisa dihitung, seseorang yang menjalankan shalat sendirian di rumah dalam tempo 27 tahun, itu bisa disamai oleh orang yang menjaga shalat jamaahnya di masjid hanya dengan satu tahun saja. Belum lagi dari keutamaan-keutamaan lain yang terkait dengan masjid dan berjalan menuju masjid.
Menjadi Pelopor Kebaikan
Menjadi pemula atau pelopor kebaikan juga merupakan faktor penting untuk melipatgandakan pahala kebaikan. Allah telah menyebutkan perbedaan infak yang dilakukan sebelum dan sesudah Fathul Makkah,
“Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah).Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu.Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik.Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hadid 10)
Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan targhib (motivasi) untuk bersedekah, pada awalnya mereka tampak berlambat-lambat, lalu beberapa orang sahabat dari kaum Anshar bersegera menyambut motivasi tersebut hingga diikuti oleh sahabat-sahabat yang lain, lalu beliau bersabda,
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang mempelopori suatu sunnah yang baik dalam Islam, lalu diikuti oleh orang-orang setelahnya maka dicatat baginya pahala kebaikan orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala ereka sedikitpun.” (HR Muslim)
Pahala bisa juga diperoleh secara lebih optimal ketika seseorang sudi mengajarkan kebaikan kepada orang lain. Sisi keutamaan para sahabat Nabi dibanding kita di antaranya juga disebabkan oleh peran mereka dalam menyebarkan ilmu.
Tidak ada satu kaum pun setelah mereka melainkan harus menimba ilmu dari mereka, dan tatkala ilmu mereka dimanfaatkan orang sesudah mereka, maka mereka mendapatkan pahala dari amal orang-orang yang mengambil ilu darinya. Inilah yang disebut denga ‘al-‘ilmu yuntafa’u bih’, ilmu yang diambil manfaatnya oleh orang banyak sehingga pahalanya terus mengalir. Tidak heran ketika Ibnu al-Jauzi mengatakan, “Karya ulama adalah (ibarat)anak yang kekal sepanjang zaman.” Karena karya ulama bisa dimanfaatkan oleh orang lain hingga lintas generasi dan zaman. Maka pahala bagi penulisnya juga sejauh jangkauan penyebarannya, baik jangkaun tempat maupun zamannya.
Dengan memahami ini, kita akan betul-betul memperhatikan setiap peluang kebaikan yang bisa terus mengalir, bertambah dan berlipat ganda meski ajal telah tiba. Dari hal yang sederhana misalnya, seorang ibu yang mengajarkan kepada anaknya bacaan al-Fatihah dan membimbingnya hingga hafal, maka nantinya si anak akan membaca al-Fatihah minimal setiap harinya tujuh belas kali. Setiap kali anak itu membaca, maka orang yang mengajarkan kepadanya turut mendapatkan pahala perhurufnya. Baik di saat sang ibu masih hidup aupun setelah meninggalnya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِه
“Orang yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala seperti orang yang melakukannya.” (HR Muslim)
Tertib dalam Amal
Pengetahuan tentang tertib amal, akan mempengaruhi banyaknya perolehan pahala. Secara umum, amal yang dihukumi fardhu harus lebih diutamakan dibandingkan daripada amal yang bersifat mustahab atau sunnah. Hal yang selayaknya menjadi bahan renungan dan sekaligus untuk intropeksi diri adalah, kecenderungan orang yang mengutamakan yang sunnah daripada yang wajib. Seperti orang yangbegitu menikmati dan memperhatikan ibadah-ibadah sunnah, namun kurang memperhatikan kualitas ibadah wajibnya. Padahal Allah berfirman dalam hadits qudsi,
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّه
“Tidaklah hamba-Ku bertaqarrub kepadaKu dengan amal ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku tiada henti-hentinya bertaqarrub kepada-Ku dengan segala yang sunnah hingga Aku mencintainya.” (HR Bukhari)
Tak ada yang lebih dicintai oleh Allah melebihi apa-apa yang Allah wajibkan, sedangkan amal-amal yang sunnah adalah penyempurna.
Situasi dan kondisi juga mempengaruhi prioritas amal yang berefek pada besar kecilnya pahala yang didapatkan. Sehingga pengetahuan tentang prioritas amal dalam setiap kondisi dan situasi menjadi sangat penting bagi orang yang ingin memenuhi pundi-pundi pahalanya, dan memperberat timbangan kebaikannya di akhirat. Karena tidak setiap amal yang secara jenisnya merupakan amal yang paling utama itu selalu menempati tingkat paling utama dalam setiap kondisi. Membaca al-Qur’an misalnya, itu termasuk dzikir yang paling utama secara jenisnya. Akan tetapi dalam kondisi-kondisi membaca al-Qur’an justru makruh, seperti membacanya saat rukuk dan sujud, karena saat itu yang lebih utama dilakukan adalah bertasbih dan bertahmid. Bahkan ada saatnya al-Qur’an dilarang untuk dibaca, yakni tatkala seseorang berada di dalam WC. Begitulah, setiap kondisi ada jenis amal yang lebih afdhal dibanding amal yang lain, dan bahkan perbedaan pelaku juga mempengaruhi jenis ibadah apa yang paling utama baginya.
Yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah perhatian seseorang terhadap perkara-perkara yang bisa mengurangi pahala dan merusaknya. Jangan sampai kita mengumpulkan banyak pahala, namun di sisi lain kita terjerumus kepada perkara-perkara yang menggerus dan mengurangi pahala yang telah kita kumpulkan. Wallahul muwaffiq.
[Sumber: ar-Risalah.net]
No comments:
Post a Comment