Kesempitan, kesulitan, dan kesedihan betapapun manusia tidak menginginkan, namun sedikit banyak semua pernah mengalaminya. Dan semua manusia tentu cenderung untuk menjauhi kondisi yang tidak disukai. Pada saat terjadi, di antara masalah bisa diatasi secara spontan meski tanpa persiapan.
Namun, ada kesempitan dan kesedihan yang hanya bisa diatasi dengan modal yang telah disiapkan sebelumnya. Itulah kesulitan yang terjadi di akhirat. Kesulitan ini jauh lebih pelik dan lebih panjang dari apa yang terjadi di dunia.
Dari sempitnya kubur dan kegelapannya, kesulitan saat digiring ke makhsyar, kegundahan menunggu hari keputusan, kegelisahan saat pembagian kitab, ditimbangnya amal maupun penghitungannya di yaumul hisab, juga ketakutan dan kengerian saat melintas shirath, hingga aneka siksa dan derita yang dialami di neraka. Semua itu tak bisa di atasi secara spontan. Ia hanya bisa terhindari atau terlewati dengan aman ketika telah ada persiapan atau modal yang dimiliki sebelumnya.
Di Dunia Menolong.
Di antara modal yang bisa menyelamatkan dari kesulitan akhirat adalah membantu saudaranya muslim dari kesulitan dan kesempitan. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ، نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ ، يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan, maka Allah Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat.” (HR Muslim).
Ini sesuai dengan kaidah al-jaza’ min jinsil ‘amal, balasan itu sesuai dengan jenis amal yang dilakukan. Namun kesamaan di sini adalah dari sisi jenisnya, bukan dari kadar atau derajatnya. Karena dari sisi kadar maupun durasi waktunya, kesulitan dunia tidak ada apa-apanya dibandingkan kesulitan akhirat.
Di Akhikrat Tertolong.
Maka alangkah pemurahnya Allah, amal yang ringan, namun bisa menghindarkan dari kesulitan dan kesusahan akhirat yang begitu dahsyat. Di antaranya yang disabdakan Nabi shallallahu alaihi wasallam,
يَـجْمَعُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْأَوَّلِيْنَ… وَالْآخِرِيْنَ فِـيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ ، فَيُسْمِعُهُمُ الدَّاعِي ، وَيَنْفُذُهُمُ الْبَصَرُ ، وَتَدْنُو الشَّمْسُ مِنْهُمْ ، فَيَبْلُغُ النَّاسَ مِنَ الْغَمِّ وَالْكَرْبِ مَالاَ يُطِيْقُوْنَ ، وَمَالاَ يَحْتَمِلُوْنَ. فَيَقُوْلُ بَعْضُ النَّاسِ لِبَعْضٍ : أَلاَتَرَوْنَ مَا أَنْتُمْ فِيْهِ ؟ أَلاَتَرَوْنَ مَاقَدْ بَلَغَكُمْ ؟ أَلاَتَنْظُرُوْنَ مَنْ يَشْفَعُ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ ؟
“Allah mengumpulkan manusia dari generasi pertama hingga generasi terakhir di satu tempat, kemudian penyeru memperdengarkan suara kepada mereka, penglihatannya dapat meliputi mereka seluruhnya, matahari mendekat ke mereka, dan manusia menanggung kegelisahan dan kesempitan yang tak tertahankan. Sebagian manusia berkata kepada sebagian yang lain, ‘Tidakkah kalian lihat apa yang terjadi atas kalian? Tidak adakah yang bisa meminta syafa’at untuk kalian kepada Rabb kalian…” (HR. Bukhari).
Begitu beratnya kesusahan dan ketakutan pada hari itu, hingga mereka tak memikirkan apa-apa selain terlepas dari kegundahan. Aisyah Radhiyallahu anhuma menuturkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
تُحْشَرُوْنَ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا. قَالَتْ : فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ ؟ قَالَ : اَلْأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ يُهِمَّهُمْ ذَاكَ
“Kalian akan dikumpulkan (pada hari Kiamat) dalam keadaan telanjang kaki, telanjang (tidak berpakaian) dan tidak berkhitan.” Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah! Bagaimana jika kaum laki-laki dan perempuan saling melihat (aurat)?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Masalah yang mereka hadapi terlampau dahsyat daripada apa yang mereka inginkan.” (HR Muslim).
Itu baru kesulitan di makhsyar, belum lagi pada perjalanan akhirat berikutnya yang lebih panjang dan bahayanya lebih besar bagi orang yang tidak memiliki bekal dan persiapan. Terlebih bagi orang kafir, akhirat menjadi hari-hari sulit yang tak berujung bagi mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَكَانَ يَوْمًا عَلَى الْكَافِرِينَ عَسِيرًا
“Dan itulah hari yang sulit bagi orang-orang kafir.” (QS al-Furqan: 26).
Oleh karenanya, tidakkah kita ingin terhindar dari semua kesulitan di akhirat?
Syariat telah menjelaskan caranya, yakni dengan melapangkan kesempitan atau kesusahan (al-kurbah) sesama muslim di dunia. Semakian banyak kita melakukannya, semakin banyak pula rintangan teratasi ketika di akhirat.
Ibnu Rajab al-Hambali dalam Jami’ul Ulum wal Hikam menjelaskan maksud dari al-Kurbah atau kesempitan ialah beban berat yang mengakibatkan seseorang sangat menderita dan sedih. Sedangkan maksud meringankan di sini adalah usaha untuk meringankan beban tersebut dari penderita. Sedangkan at-tafriij adalah usaha untuk menghilangkan beban penderitaan dari penderita sehingga kesedihan dan kesusahannya sirna. Balasan bagi yang meringankan beban orang lain ialah Allah akan meringankan kesulitannya. Dan balasan menghilangkan kesulitan adalah Allah akan menghilangkan kesulitannya.
Seorang Muslim hendaknya berupaya untuk membantu meringankan atau menghilagkan kesulitan muslim lainnya. Banyak jenis kesulitan yang dialami manusia, maka banyak pula cara untuk menolongnya.
Jika seseorang kesulitan untuk memahami ilmu syar’i, maka cara membantunya adalah dengan mengajarkan ilmu syar’i kepadanya. Atau menunjukkan tempat, memberikan fasilitas dan sarana yang diperlukan sementara dia masih kesulitan. Dengan cara itu semoga Allah menolongnya di akhirat sehingga tidak tersesat jalan ketika di akhirat dengan sebab membantu orang lain menunjukkan jalan hidayah.
Jika seseorang mengalami kesulitan dalam hal harta, atau kesulitan untuk memenuhi hajat hidupnya seperti makan, minum dan pakaian maka cara menghilangkan kesusahannya adalah dengan memenuhi kebutuhannya. Ketika kita menolong mereka, sesungguhnya kita sedang menolong diri kita sendiri. Di akhirat, alangkah butuhnya kita akan pertolongan Allah agar terlepas dari kehausan, kelaparan maupun panasnya terik yang menyengat badan. Bukankah tak ada lagi harta dunia kita yang bisa dibawa untuk memenuhi kebutuhan di akhirat, selain harta yang telah kita sedekahkan? Kemana lagi kita akan mencari makan, mendapatkan minuman, menikmati buah-buahan, pakaian dan tempat tinggal? Tak ada lagi yang bisa memberi pinjaman atau mengirimkan bantuan selain Allah. Pertolongan Allah itu akan datang jika di dunia kita sudi membantu saudara kita yang kesulitan. Rasulullah bersabda:
وَاللهُ فِـي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Dan Allah senantiasa menolong hamban-Nya selagi hamba itu sudi menolong saudaranya.” (HR Muslim).
Membantu saudara yang kesulitan tidak dibatasi oleh sekat nasab, dikenal atau belum, maupun sekat wilyayah dan negara. Karena orang-orang mukmin itu bersaudara.
Para salaf dahulu, karena rasa takutnya terhadap derita akhirat dan karena besarnya pengharapkan mereka untuk bisa selamat di akhirat, mereka berusaha menolong orang-orang yang dalam kesulitan meski tanpa sepengetahuan orang yang ditolongnya.
Disebutkan dalam Hilyatul Auliya bahwa Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu sering mendatangi seorang janda tua dan mengambilkan air untuknya menjelang malam. Pada suatu malam Thalhah Radhiyallahu anhu memergoki beliau sedang masuk ke rumah janda tersbut. Kemudian Thalhah Radhiyallahu anhu masuk ke rumah janda tersebut di siang harinya. Ternyata wanita itu sudah sangat tua, buta, dan lumpuh. Thalhah Radhiyallahu anhu bertanya, “Apa yang diperbuat laki-laki yang datang kemari tadi malam?” Wanita itu menjawab, “Sudah lama orang itu datang kepadaku dengan membawa sesuatu yang bermanfaat bagiku dan mengeluarkanku dari kesulitan.”
Anas Radhiyallahu anhu juga pernah mengisahkan, “Suatu hari kami bersama Rasulullah di perjalanan. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak. Di hari yang panas kami berhenti di suatu tempat. Orang yang paling terlindung dari panas adalah pemilik pakaian dan ada di antara kami yang melindungi dirinya dari terik matahari dengan tangannya. Orang-orang yang berpuasa pun jatuh, sedang orang-orang yang tidak berpuasa tetap kokoh. Mereka memasang kemah dan memberi minum kepada para pengendara kemudian Rasulullah bersabda, “Pada hari ini, orang-orang yang tidak berpuasa pergi dengan membawa pahala.” (HR Bukhari]
Semoga Allah hindarkan kita dari kesulitan di dunia dan akhirat. Aaamiin (Abu Umar Abdillah)
No comments:
Post a Comment